Dokter Spesialis Paru RSUI, dr. RR. Diah Handayani, Sp.P(K) mengatakan upaya pencegahan Tuberkulosis seharusnya bisa lebih digalakkan seperti pada penanganan kasus COVID-19.
"Upaya ini memerlukan kerja sama dan kolaborasi dari banyak pihak seperti kader, fasilitas layanan kesehatan, praktik sejawat, pemerintah, serta masyarakat," dr. Diah dalam keterangannya, Rabu.
Menurut dia program TB saat ini masih jauh dari target. Adanya pandemi COVID-19 sedikit menggeser program TB, karena fokus dari tenaga kesehatan dan masyarakat saat ini lebih kepada COVID-19.
"Upaya penanganan ini bisa kita contoh dan pelajari dari upaya penanganan COVID-19, dimana pelacakan kontak, identifikasi terapi, serta pencegahan dilakukan dengan agresif oleh banyak pihak. Sehingga, upaya pencegahan TB juga harus radikal," katanya.
Diah menjelaskan beberapa terapi pencegahan TB meliputi pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI), skrining, active case finding, TPT (Terapi Pencegahan Tuberkulosis), pencegahan serta terapi HIV dan komorbid lain, akses ke layanan kesehatan dan dukungan sosial serta pengentasan kemiskinan. Upaya eliminasi TB ini dilakukan mulai dari pencegahan TB laten dan infeksi TB sebelum sakit.
Sementara itu Ketua Perhimpunan Perkumpulan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) Kota Depok dr. Rulliana Agustin, M.Med.Ed, mengatakan di masa pandemi COVID-19 ini, para kader TB berperan dalam upaya memberikan pendampingan dan edukasi terbaik kepada masyarakat terhadap kewaspadaan akan TB dan pengobatannya.
Dalam menjalankan perannya beberapa tantangan yang dihadapi para kader, seperti diantaranya risiko tertular, cara memotivasi pasien, dan sebagainya. Dengan tantangan yang besar, para kader perlu terus menjaga semangat dengan meniatkan kegiatannya sebagai bagian dari ibadah.
"Tentunya kerja sama dengan berbagai pihak perlu terus dijalin karena TB adalah masalah kita bersama yang cukup besar; salah satu yang diharapkan misalnya penyediaan APD yang terjamin (minimal masker) bagi para kader," kata dr. Rilliana.
dr. Rulli berharap semua pihak dapat bersemangat dan berkolaborasi dalam menemukan dan mengatasi secara tuntas penyakit tuberkulosis sesuai dengan protokol kesehatan di era Pandemi COVID-19. Selain itu diharapkan pula layanan pengobatan dan laboratorium TB dapat dipertahankan berdampingan dengan layanan COVID-19.
Sedangkan dr. Cynthia Centauri, Sp.A menyampaikan bahwa mendeteksi TB pada Anak lebih sulit dibandingkan pada orang dewasa. Tidak seperti pada TB dewasa yang permasalahannya kebanyakan ada pada saluran pernafasan. Pada anak yang menderita TB jarang sekali yang mengalami batuk.
“Gejala yang sering terjadi yaitu pada berat badan anak yang tak kunjung naik naik dan demam terus menerus” katanya.
Terdapat empat prinsip pengobatan TB pada anak, antara lain minum obat TB (OAT) secara teratur sampai dengan tuntas/sembuh serta rutin untuk berobat dan kontrol ke dokter dan mencegah penularan lebih lanjut.
Baca juga: Presiden Jokowi ingin penanganan TBC dan COVID-19 dilakukan bersamaan
Baca juga: Estimasi kasus TB di Indonesia capai 845.000
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021
"Upaya ini memerlukan kerja sama dan kolaborasi dari banyak pihak seperti kader, fasilitas layanan kesehatan, praktik sejawat, pemerintah, serta masyarakat," dr. Diah dalam keterangannya, Rabu.
Menurut dia program TB saat ini masih jauh dari target. Adanya pandemi COVID-19 sedikit menggeser program TB, karena fokus dari tenaga kesehatan dan masyarakat saat ini lebih kepada COVID-19.
"Upaya penanganan ini bisa kita contoh dan pelajari dari upaya penanganan COVID-19, dimana pelacakan kontak, identifikasi terapi, serta pencegahan dilakukan dengan agresif oleh banyak pihak. Sehingga, upaya pencegahan TB juga harus radikal," katanya.
Diah menjelaskan beberapa terapi pencegahan TB meliputi pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI), skrining, active case finding, TPT (Terapi Pencegahan Tuberkulosis), pencegahan serta terapi HIV dan komorbid lain, akses ke layanan kesehatan dan dukungan sosial serta pengentasan kemiskinan. Upaya eliminasi TB ini dilakukan mulai dari pencegahan TB laten dan infeksi TB sebelum sakit.
Sementara itu Ketua Perhimpunan Perkumpulan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) Kota Depok dr. Rulliana Agustin, M.Med.Ed, mengatakan di masa pandemi COVID-19 ini, para kader TB berperan dalam upaya memberikan pendampingan dan edukasi terbaik kepada masyarakat terhadap kewaspadaan akan TB dan pengobatannya.
Dalam menjalankan perannya beberapa tantangan yang dihadapi para kader, seperti diantaranya risiko tertular, cara memotivasi pasien, dan sebagainya. Dengan tantangan yang besar, para kader perlu terus menjaga semangat dengan meniatkan kegiatannya sebagai bagian dari ibadah.
"Tentunya kerja sama dengan berbagai pihak perlu terus dijalin karena TB adalah masalah kita bersama yang cukup besar; salah satu yang diharapkan misalnya penyediaan APD yang terjamin (minimal masker) bagi para kader," kata dr. Rilliana.
dr. Rulli berharap semua pihak dapat bersemangat dan berkolaborasi dalam menemukan dan mengatasi secara tuntas penyakit tuberkulosis sesuai dengan protokol kesehatan di era Pandemi COVID-19. Selain itu diharapkan pula layanan pengobatan dan laboratorium TB dapat dipertahankan berdampingan dengan layanan COVID-19.
Sedangkan dr. Cynthia Centauri, Sp.A menyampaikan bahwa mendeteksi TB pada Anak lebih sulit dibandingkan pada orang dewasa. Tidak seperti pada TB dewasa yang permasalahannya kebanyakan ada pada saluran pernafasan. Pada anak yang menderita TB jarang sekali yang mengalami batuk.
“Gejala yang sering terjadi yaitu pada berat badan anak yang tak kunjung naik naik dan demam terus menerus” katanya.
Terdapat empat prinsip pengobatan TB pada anak, antara lain minum obat TB (OAT) secara teratur sampai dengan tuntas/sembuh serta rutin untuk berobat dan kontrol ke dokter dan mencegah penularan lebih lanjut.
Baca juga: Presiden Jokowi ingin penanganan TBC dan COVID-19 dilakukan bersamaan
Baca juga: Estimasi kasus TB di Indonesia capai 845.000
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021