Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memfasilitasi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) untuk mengoptimalkan teknologi dan inovasi guna meningkatkan daya saing di tengah pandemi Covid-19, salah satunya dalam pengembangan material tekstil dengan fungsi khusus untuk medis.
Permintaan konsumen ketika pandemi terhadap produk tekstil yang memiliki fungsi anti bakteri dan anti virus terus meningkat.
“Guna terus melakukan perubahan, perlu menerapkan dan memanfaatkan teknologi terbaru,” kata Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kemenperin Doddy Rahadi di Jakarta, Jumat.
Doddy memaparkan salah satu satuan kerja Kemenperin di bidang standardisasi dan jasa industri, yakni Balai Besar Tekstil (BBT) Bandung, mengembangkan fasilitas laboratorium melt spinning.
Fasilitas tersebut bisa dimanfaatkan oleh industri TPT nasional yang tengah melakukan pengembangan bahan baku benang dengan fungsi khusus, termasuk untuk keperluan medis.
“Pengembangan material akan berdampak pada peningkatan daya saing industri tekstil dan produk tekstil nasional,” tutur Doddy melalui keterangan tertulis.
Ia menambahkan teknologi melt spinning mampu mendesain benang dengan fungsi khusus yang langsung ditanamkan pada seratnya.
Dengan adanya proses rekayasa serat menggunakan teknologi melt spinning, dapat dihasilkan produk tekstil fungsional yang memiliki tingkat durabilitas lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penyempurnaan tekstil secara kimia.
“Kami menyiapkan melt spinning untuk mendukung industri. Kami mempersilakan industri memanfaatkan teknologi dan peralatan ini. Salah satu keunggulannya adalah bisa mencari bahan terbaik seperti yang diinginkan,” ujarnya.
Penerapan teknologi melt spinning juga bertujuan untuk mendukung substitusi impor bahan baku tekstil dan produk tekstil fungsional.
Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kemenperin Elis Masitoh memberikan apresiasi terhadap percepatan pengadaan alat melt spinning untuk pengembangan teknologi industri.
“Besar harapan kami kepada BBT Bandung untuk menjadi jembatan inovasi bagi industri tekstil dan produk tekstil dalam mengembangkan produknya,” Imbuhnya.
Kepala BBT Bandung Wibowo Dwi Hartoto menyampaikan balai besar tersebut juga siap berkontribusi dalam melakukan kajian standardisasi produk-produk tekstil fungsional serta melayani industri dalam pengujian mutu produk yang dihasilkan.
Terkait layanan uji di segmen produk tekstil medis, BBT Bandung bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mendirikan fasilitas laboratorium pengujian masker medis.
Pengujian yang dapat dilakukan di laboratorium tersebut antara lain uji bacteria filtration efficiency (BFE), particle filtration efficiency (PFE), breathing resistance, synthetic blood penetration test atau splash resistance, differential pressure, dan uji flammability.
“Fasilitas ini disiapkan dalam rangka menjawab tantangan untuk menciptakan produk tekstil yang berkualitas dan memadai, seperti pada saat pandemi seperti ini,” sebutnya.
Ia menambahkan, laboratorium pengujian masker di BBT Bandung mengacu pada parameter yang telah direkomendasikan organisasi kesehatan dunia (WHO) dan telah diadopsi identik oleh Badan Standardisasi Nasional menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI), yakni SNI EN 149:2001+A1:2009 (standar masker N95) dan SNI EN 14683:2019+AC:2019 (standar masker medis). Kemudian, ada pula SNI 8488:2018 (standar masker medis) serta SNI 8914:2020 yang merupakan standar masker kain.
"Melalui fasilitas pengujian masker di BBT Bandung, pemerintah menyiapkan agar masker yang diproduksi di tanah air nantinya sesuai dengan SNI serta standar yang ditetapkan WHO,” ujar Kepala BBT.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021
Permintaan konsumen ketika pandemi terhadap produk tekstil yang memiliki fungsi anti bakteri dan anti virus terus meningkat.
“Guna terus melakukan perubahan, perlu menerapkan dan memanfaatkan teknologi terbaru,” kata Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kemenperin Doddy Rahadi di Jakarta, Jumat.
Doddy memaparkan salah satu satuan kerja Kemenperin di bidang standardisasi dan jasa industri, yakni Balai Besar Tekstil (BBT) Bandung, mengembangkan fasilitas laboratorium melt spinning.
Fasilitas tersebut bisa dimanfaatkan oleh industri TPT nasional yang tengah melakukan pengembangan bahan baku benang dengan fungsi khusus, termasuk untuk keperluan medis.
“Pengembangan material akan berdampak pada peningkatan daya saing industri tekstil dan produk tekstil nasional,” tutur Doddy melalui keterangan tertulis.
Ia menambahkan teknologi melt spinning mampu mendesain benang dengan fungsi khusus yang langsung ditanamkan pada seratnya.
Dengan adanya proses rekayasa serat menggunakan teknologi melt spinning, dapat dihasilkan produk tekstil fungsional yang memiliki tingkat durabilitas lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penyempurnaan tekstil secara kimia.
“Kami menyiapkan melt spinning untuk mendukung industri. Kami mempersilakan industri memanfaatkan teknologi dan peralatan ini. Salah satu keunggulannya adalah bisa mencari bahan terbaik seperti yang diinginkan,” ujarnya.
Penerapan teknologi melt spinning juga bertujuan untuk mendukung substitusi impor bahan baku tekstil dan produk tekstil fungsional.
Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kemenperin Elis Masitoh memberikan apresiasi terhadap percepatan pengadaan alat melt spinning untuk pengembangan teknologi industri.
“Besar harapan kami kepada BBT Bandung untuk menjadi jembatan inovasi bagi industri tekstil dan produk tekstil dalam mengembangkan produknya,” Imbuhnya.
Kepala BBT Bandung Wibowo Dwi Hartoto menyampaikan balai besar tersebut juga siap berkontribusi dalam melakukan kajian standardisasi produk-produk tekstil fungsional serta melayani industri dalam pengujian mutu produk yang dihasilkan.
Terkait layanan uji di segmen produk tekstil medis, BBT Bandung bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mendirikan fasilitas laboratorium pengujian masker medis.
Pengujian yang dapat dilakukan di laboratorium tersebut antara lain uji bacteria filtration efficiency (BFE), particle filtration efficiency (PFE), breathing resistance, synthetic blood penetration test atau splash resistance, differential pressure, dan uji flammability.
“Fasilitas ini disiapkan dalam rangka menjawab tantangan untuk menciptakan produk tekstil yang berkualitas dan memadai, seperti pada saat pandemi seperti ini,” sebutnya.
Ia menambahkan, laboratorium pengujian masker di BBT Bandung mengacu pada parameter yang telah direkomendasikan organisasi kesehatan dunia (WHO) dan telah diadopsi identik oleh Badan Standardisasi Nasional menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI), yakni SNI EN 149:2001+A1:2009 (standar masker N95) dan SNI EN 14683:2019+AC:2019 (standar masker medis). Kemudian, ada pula SNI 8488:2018 (standar masker medis) serta SNI 8914:2020 yang merupakan standar masker kain.
"Melalui fasilitas pengujian masker di BBT Bandung, pemerintah menyiapkan agar masker yang diproduksi di tanah air nantinya sesuai dengan SNI serta standar yang ditetapkan WHO,” ujar Kepala BBT.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021