Ketua Umum Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (PERSAKMI) sekaligus epidemiolog Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Ridwan Amiruddin menyebut, sejumlah kesalahan yang disadarai atau tidak saat orang dengan COVID-19 melakukan isolasi mandiri menjadi penyebab munculnya kluster keluarga dan transmisi di komunitas.
Dia mengatakan, seiring bertambahnya kasus COVID-19 beberapa waktu terakhir, proporsi orang yang melakukan isolasi mandiri menjadi sekitar 35-40 persen.
"Ada beberapa kebocoran memang diisolasi mandiri sehingga terbentuk kluster keluarga, transmisi di komunitas, pergerakan populasi di tempat-tempat umum sebenarnya menjadi pemicu kasus naik," kata Ridwan dalam webinar yang digelar Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi, Jumat (5/2) malam.
Isolasi mandiri dilakukan dengan memisahkan si sakit agar dia tidak menjadi sumber penularan. Selama isolasi mandiri, pasien perlu berada di dalam rumah atau ruangan selama 14 hari, namun harus memeriksakan diri ke klinik atau rumah sakit jika gejala memburuk.
Tetapi pada kenyataannya, pasien masih keliru mengenai hal ini, salah satunya tidak berdiam di rumah atau ruangan selama 14 hari. Dia tetap berinteraksi sosial secara langsung dengan anggota keluarga lain sehingga dia menjadi sumber penularan bagi keluarganya atau tetangga.
"Semakin tinggi tingkat pertemuan seperti makan bersama maka tingkat penularan makin tinggi. Apabila mobilitas penduduk naik satu persen maka kasus COVID-19 bisa naik 8-15 persen," tutur Ridwan.
Masalahnya, selain pasien tidak disiplin, kurangnya pengawasan dari petugas puskesmas atau layanan medis menyebabkan kebocoran dalam pelaksanaan isolasi mandiri.
"Karena ketidakdisiplinan dalam melakukan isolasi mandiri maka terbentuk kluster keluarga, tetangga, kantor. Karena itu beberapa provinsi mendorong supaya isolasi mandiri dapat dikontrol oleh RT, RW atau dilaksanakan secara terpusat," kata Ridwan.
Isolasi mandiri, merujuk pada pedoman pencegahan dan pengendalian COVID-19 revisi kelima, dilakukan mereka dengan kasus gejala ringan, orang tanpa gejala (OTG), kasus suspect sampai keluar hasil tes (dia tidak boleh berinteraksi sosial sambil menunggu hasil tes) dan kontak erat dari pasien positif.
Sebelum mengisolasi diri, pasien sebaiknya menghubungi dinas kesehatan menyampaikan dia melaksanakan isolasi mandiri. Anggota keluarga segera mengungsikan mereka yang memiliki daya tahan tubuh rendah misalnya lansia, atau sedang dalam pengobatan penyakit kronik seperti diabetes atau kanker, penyakit auto imun, kondisi pernapasan tidak prima, karena mereka berisiko lebih tinggi terpapar COVID-19.
Kemudian, selama isolasi, pasien sebaiknya mengembangkan aktivitas yang memungkinkannya berdiam di ruangan seperti membaca atau kegiatan produktif lainnya, dilarang melakukan kegiatan bersama termasuk makan dengan anggota keluarga lainnya, tidak menyentuh wajah.
Dia juga harus rutin mencuci tangan menggunakan air dan sabun, selalu berpikiran positif untuk menjaga imunitas, mengontak nomor kontak layanan psikolog jika merasa perlu berbicara tentang kesehatan mental selama isolasi mandiri.
Hal penting lainnya, dia harus memeriksakan kondisi status kesehatan setiap pagi, apakah terjadi perburukan, sesak napas, demam, dan memahami risiko penularan saat berada di luar rumah.
Di sisi lain, ruangan selama isolasi perlu diatur sesuai pedoman, antara lain memiliki ventilasi baik (jendela dibuka setiap pagi agar sirkulasi udara terjaga). Ruangan ini sebaiknya tidak dimasuki orang lain termasuk anggota keluarga yang sehat.
Kemudian, terkait penggunaan kamar mandi, Ridwan menyarankan pemisahan kamar mandi untuk orang yang melakukan isolasi mandiri.
Jika tidak memungkinkan, kamar mandi bisa digunakan bergantian asalkan dibersihkan dengan disinfektan rutin setelah dipakai. Cairan kimia pembersih kamar mandi seperti yang mengandung accelerated hydrogen perixode (0,5 persen), Benzalkonium chloride (0,05 persen) dan Chloroxylenol (0,12 persen) bisa digunakan.
"Sisi lemah virus penyebab COVID-19, rentan terhadap bahan kimia pembersih kamar mandi," kata Ridwan.
Mereka yang bergejala harus diisolasi mandiri minimal selama 10 hari setelah hari pertama mengembangkan gejala, ditambah 3 hari setelah gejala berakhir atau saat mereka tidak demam dan tanpa gejala pernapasan. Sementara orang tanpa gejala (OTG) OTG disarankan melakukan isolasi mandiri selama minimal 10 hari setelah dites positif.
Ketua Terpilih PB IDI sekaligus Ketua Tim Mitigasi COVID-19 PB IDI, Dr. Muhammad Adib Khumaidi menambahkan, jika setelah isolasi mandiri lalu hasil tes swab PCR menunjukkan positif, orang perlu tetap melanjutkan isolasi mandiri. Setelah hari ke-21, dia dinyatakan dua kali negatif, maka baru bisa dikatakan negatif virus corona dan bisa kembali beraktivitas.
Kemudian, usai melakukan isolasi mandiri, orang-orang tetap harus menerapkan protokol kesehatan dan ini kerap diabaikan. Menurut Ridwan, orang menganggap setelah isolasi mandiri, maka sudah aman sehingga abai melaksanakan protokol kesehatan seperti meninggalkan masker dan tidak menjaga jarak dengan orang lain.
Baca juga: Kabupaten Cirebon siapkan hotel bagi pasien COVID-19 tanpa gejala
Baca juga: Rumah sakit penuh, lima warga Karawang jalani isolasi mandiri
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021
Dia mengatakan, seiring bertambahnya kasus COVID-19 beberapa waktu terakhir, proporsi orang yang melakukan isolasi mandiri menjadi sekitar 35-40 persen.
"Ada beberapa kebocoran memang diisolasi mandiri sehingga terbentuk kluster keluarga, transmisi di komunitas, pergerakan populasi di tempat-tempat umum sebenarnya menjadi pemicu kasus naik," kata Ridwan dalam webinar yang digelar Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi, Jumat (5/2) malam.
Isolasi mandiri dilakukan dengan memisahkan si sakit agar dia tidak menjadi sumber penularan. Selama isolasi mandiri, pasien perlu berada di dalam rumah atau ruangan selama 14 hari, namun harus memeriksakan diri ke klinik atau rumah sakit jika gejala memburuk.
Tetapi pada kenyataannya, pasien masih keliru mengenai hal ini, salah satunya tidak berdiam di rumah atau ruangan selama 14 hari. Dia tetap berinteraksi sosial secara langsung dengan anggota keluarga lain sehingga dia menjadi sumber penularan bagi keluarganya atau tetangga.
"Semakin tinggi tingkat pertemuan seperti makan bersama maka tingkat penularan makin tinggi. Apabila mobilitas penduduk naik satu persen maka kasus COVID-19 bisa naik 8-15 persen," tutur Ridwan.
Masalahnya, selain pasien tidak disiplin, kurangnya pengawasan dari petugas puskesmas atau layanan medis menyebabkan kebocoran dalam pelaksanaan isolasi mandiri.
"Karena ketidakdisiplinan dalam melakukan isolasi mandiri maka terbentuk kluster keluarga, tetangga, kantor. Karena itu beberapa provinsi mendorong supaya isolasi mandiri dapat dikontrol oleh RT, RW atau dilaksanakan secara terpusat," kata Ridwan.
Isolasi mandiri, merujuk pada pedoman pencegahan dan pengendalian COVID-19 revisi kelima, dilakukan mereka dengan kasus gejala ringan, orang tanpa gejala (OTG), kasus suspect sampai keluar hasil tes (dia tidak boleh berinteraksi sosial sambil menunggu hasil tes) dan kontak erat dari pasien positif.
Sebelum mengisolasi diri, pasien sebaiknya menghubungi dinas kesehatan menyampaikan dia melaksanakan isolasi mandiri. Anggota keluarga segera mengungsikan mereka yang memiliki daya tahan tubuh rendah misalnya lansia, atau sedang dalam pengobatan penyakit kronik seperti diabetes atau kanker, penyakit auto imun, kondisi pernapasan tidak prima, karena mereka berisiko lebih tinggi terpapar COVID-19.
Kemudian, selama isolasi, pasien sebaiknya mengembangkan aktivitas yang memungkinkannya berdiam di ruangan seperti membaca atau kegiatan produktif lainnya, dilarang melakukan kegiatan bersama termasuk makan dengan anggota keluarga lainnya, tidak menyentuh wajah.
Dia juga harus rutin mencuci tangan menggunakan air dan sabun, selalu berpikiran positif untuk menjaga imunitas, mengontak nomor kontak layanan psikolog jika merasa perlu berbicara tentang kesehatan mental selama isolasi mandiri.
Hal penting lainnya, dia harus memeriksakan kondisi status kesehatan setiap pagi, apakah terjadi perburukan, sesak napas, demam, dan memahami risiko penularan saat berada di luar rumah.
Di sisi lain, ruangan selama isolasi perlu diatur sesuai pedoman, antara lain memiliki ventilasi baik (jendela dibuka setiap pagi agar sirkulasi udara terjaga). Ruangan ini sebaiknya tidak dimasuki orang lain termasuk anggota keluarga yang sehat.
Kemudian, terkait penggunaan kamar mandi, Ridwan menyarankan pemisahan kamar mandi untuk orang yang melakukan isolasi mandiri.
Jika tidak memungkinkan, kamar mandi bisa digunakan bergantian asalkan dibersihkan dengan disinfektan rutin setelah dipakai. Cairan kimia pembersih kamar mandi seperti yang mengandung accelerated hydrogen perixode (0,5 persen), Benzalkonium chloride (0,05 persen) dan Chloroxylenol (0,12 persen) bisa digunakan.
"Sisi lemah virus penyebab COVID-19, rentan terhadap bahan kimia pembersih kamar mandi," kata Ridwan.
Mereka yang bergejala harus diisolasi mandiri minimal selama 10 hari setelah hari pertama mengembangkan gejala, ditambah 3 hari setelah gejala berakhir atau saat mereka tidak demam dan tanpa gejala pernapasan. Sementara orang tanpa gejala (OTG) OTG disarankan melakukan isolasi mandiri selama minimal 10 hari setelah dites positif.
Ketua Terpilih PB IDI sekaligus Ketua Tim Mitigasi COVID-19 PB IDI, Dr. Muhammad Adib Khumaidi menambahkan, jika setelah isolasi mandiri lalu hasil tes swab PCR menunjukkan positif, orang perlu tetap melanjutkan isolasi mandiri. Setelah hari ke-21, dia dinyatakan dua kali negatif, maka baru bisa dikatakan negatif virus corona dan bisa kembali beraktivitas.
Kemudian, usai melakukan isolasi mandiri, orang-orang tetap harus menerapkan protokol kesehatan dan ini kerap diabaikan. Menurut Ridwan, orang menganggap setelah isolasi mandiri, maka sudah aman sehingga abai melaksanakan protokol kesehatan seperti meninggalkan masker dan tidak menjaga jarak dengan orang lain.
Baca juga: Kabupaten Cirebon siapkan hotel bagi pasien COVID-19 tanpa gejala
Baca juga: Rumah sakit penuh, lima warga Karawang jalani isolasi mandiri
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021