Ketua Umum Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir menyebutkan hanya 43 persen petani yang berhak mendapatkan pupuk bersubsidi, dari total usulan kebutuhan yang diajukan petani dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK).
Seperti diketahui, berdasarkan usulan sistem elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK) dari seluruh daerah, kebutuhan pupuk bersubsidi tahun 2021 mencapai 23,4 juta ton dengan luas lahan baku 7,46 juta hektar.
Jumlah ini jauh lebih besar dari kemampuan APBN 2021 yang hanya mampu memenuhi sekitar 9 juta ton ditambah 1,5 juta liter pupuk organik cair. Besarnya perbedaan antara kebutuhan dengan alokasi ini berpotensi terjadinya kelangkaan pupuk subsidi tahun ini.
"Kalau RDKK kan seluruh petani memang disuruh membuat dari luas lahan baku yang ada. Tapi yang perlu diingat, bahwa yang berhak mendapat subsidi maksimal luasan 2 hektar. Dari pengajuan RDKK itu, yang berhak mendapatkan pupuk bersubsidi hanya 43 persen," kata Winarno saat dihubungi Antara di Jakarta, Rabu.
Winarno menilai bahwa kebutuhan pupuk subsidi yang mencapai 23,4 juta ton tersebut belum sepenuhnya diverifikasi oleh Kementerian Pertanian jika dilihat dari ketentuan penerima pupuk bersubsidi.
Dalam Permentan Nomor 1 Tahun 2020, pupuk bersubsidi diperuntukkan bagi petani, pekebun, peternak yang mengusahakan lahan dengan total luasan maksimal 2 (dua) hektar.
Winarno menjelaskan bahwa dari pengajuan RDKK tersebut, hanya 43 persen saja atau sekitar 10 juta ton kebutuhan pupuk subsidi yang diperlukan bagi petani dengan luas garapan maksimal 2 hektar.
Selain itu, dalam pengajuan RDKK, terjadi pembulatan luas garapan. Contohnya, petani yang memiliki luas garapan lahan 0,37 hektar dibulatkan dalam RDKK menjadi 1 hektar, sehingga memudahkan dalam pembagian atau distribusi pupuk di kios.
Berdasarkan realisasinya, Winarno menyebutkan bahwa rata-rata penyerapan pupuk bersubsidi pada 2014--2020 setiap tahunnya hanya mencapai 8,9 juta ton.
PT Pupuk Indonesia (Persero) selaku produsen dan BUMN yang ditugaskan dalam penyaluran pupuk bersubsidi, juga memiliki kapasitas produksi hingga 14 juta ton setiap tahunnya.
"Dengan alokasi pupuk subsidi sebesar 9 juta ton, Pupuk Indonesia masih memiliki stok 5 juta ton untuk pupuk non subsidi, sehingga seharusnya tidak terjadi kelangkaan," kata Winarno.
Ia menambahkan bahwa kelangkaan pupuk subsidi pada tahun 2020 terjadi karena turunnya alokasi pupuk subsidi menjadi hanya 7,9 juta ton. Namun demikian, pada September 2020, Kementerian Pertanian menambah alokasi pupuk subsidi sebesar 1 juta ton sehingga total subsidi tahun 2020 menjadi 8,9 juta ton.
Baca juga: KTNA Jawa Barat minta pemerintah daerah segera terbitkan SK pupuk subsidi
Baca juga: Polisi tangkap dua penyelundup pupuk subsidi di Indramayu
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021
Seperti diketahui, berdasarkan usulan sistem elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK) dari seluruh daerah, kebutuhan pupuk bersubsidi tahun 2021 mencapai 23,4 juta ton dengan luas lahan baku 7,46 juta hektar.
Jumlah ini jauh lebih besar dari kemampuan APBN 2021 yang hanya mampu memenuhi sekitar 9 juta ton ditambah 1,5 juta liter pupuk organik cair. Besarnya perbedaan antara kebutuhan dengan alokasi ini berpotensi terjadinya kelangkaan pupuk subsidi tahun ini.
"Kalau RDKK kan seluruh petani memang disuruh membuat dari luas lahan baku yang ada. Tapi yang perlu diingat, bahwa yang berhak mendapat subsidi maksimal luasan 2 hektar. Dari pengajuan RDKK itu, yang berhak mendapatkan pupuk bersubsidi hanya 43 persen," kata Winarno saat dihubungi Antara di Jakarta, Rabu.
Winarno menilai bahwa kebutuhan pupuk subsidi yang mencapai 23,4 juta ton tersebut belum sepenuhnya diverifikasi oleh Kementerian Pertanian jika dilihat dari ketentuan penerima pupuk bersubsidi.
Dalam Permentan Nomor 1 Tahun 2020, pupuk bersubsidi diperuntukkan bagi petani, pekebun, peternak yang mengusahakan lahan dengan total luasan maksimal 2 (dua) hektar.
Winarno menjelaskan bahwa dari pengajuan RDKK tersebut, hanya 43 persen saja atau sekitar 10 juta ton kebutuhan pupuk subsidi yang diperlukan bagi petani dengan luas garapan maksimal 2 hektar.
Selain itu, dalam pengajuan RDKK, terjadi pembulatan luas garapan. Contohnya, petani yang memiliki luas garapan lahan 0,37 hektar dibulatkan dalam RDKK menjadi 1 hektar, sehingga memudahkan dalam pembagian atau distribusi pupuk di kios.
Berdasarkan realisasinya, Winarno menyebutkan bahwa rata-rata penyerapan pupuk bersubsidi pada 2014--2020 setiap tahunnya hanya mencapai 8,9 juta ton.
PT Pupuk Indonesia (Persero) selaku produsen dan BUMN yang ditugaskan dalam penyaluran pupuk bersubsidi, juga memiliki kapasitas produksi hingga 14 juta ton setiap tahunnya.
"Dengan alokasi pupuk subsidi sebesar 9 juta ton, Pupuk Indonesia masih memiliki stok 5 juta ton untuk pupuk non subsidi, sehingga seharusnya tidak terjadi kelangkaan," kata Winarno.
Ia menambahkan bahwa kelangkaan pupuk subsidi pada tahun 2020 terjadi karena turunnya alokasi pupuk subsidi menjadi hanya 7,9 juta ton. Namun demikian, pada September 2020, Kementerian Pertanian menambah alokasi pupuk subsidi sebesar 1 juta ton sehingga total subsidi tahun 2020 menjadi 8,9 juta ton.
Baca juga: KTNA Jawa Barat minta pemerintah daerah segera terbitkan SK pupuk subsidi
Baca juga: Polisi tangkap dua penyelundup pupuk subsidi di Indramayu
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021