Politeknik Kesejahteraan Sosial (Poltekesos) Bandung Provinsi Jawa Barat meneken kerja sama untuk berkolaborasi dengan Tanoto Foundation dalam upaya menekan angka kekerdilan (stunting) yang menjadi masalah kesehatan di Indonesia.

Direktur Poltekesos Dr Marjuki di Bandung, Selasa mengatakan pendidikan di Poltekesos kini lebih banyak bermuatan praktik dari pada hanya teori setelah berganti status dari sebelumnya yakni Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS). Kasus stunting juga masuk ke dalam masalah kesejahteraan sosial yang jadi tantangan untuk mahasiswa Poltekesos.

"Maka dari itu kita sekarang harus banyak berkolaborasi, bagaimana mahasiswa menerapkan praktiknya dengan kerja sama lembaga, termasuk dengan Balai Pemasyarakatan (Bapas) juga," kata Marjuki.

Hasil Riset kesehatan dasar (Riskesdas) yang dilakukan Kementerian Kesehatan tahun 2018 menunjukkan bahwa prevalensi stunting di Indonesia mencapai 30,8 persen. Artinya, sekitar tujuh juta balita di Indonesia mengalami stunting.

Head of Early Childhood Education and Development Tanoto Foundation Eddy Henry mengatakan kerja sama itu dilakukan melalui program "Siapkan generasi anak berprestasi" (Sigap) untuk meningkatkan sumber daya manusia sejak usia dini.

Salah satu strategi besar program Sigap, kata dia, adalah menjalin kesepakatan bersama dengan Kementerian Sosial Republik Indonesia dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM) dalam rangka pengurangan dan pencegahan stunting.

"Hal yang ingin kita kerjasamakan tidak jauh dari tri dharma universitas, kita ingin buat suatu modul untuk mengajar mahasiswa, kemudian riset, dan pengabdian masyarakat dengan unsur praktiknya," kata Eddy.

Dia berharap, kolaborasi ini berdampak positif untuk mencegah angka stunting di Indonesia, sehingga dapat menjadi contoh pihaknya dalam bekerja sama dengan instansi lainnya.

"Sehingga SDM Indonesia bisa bertambah kualitasnya dengan sekolah yang berkualitas untuk meningkatkan kesejahteraan masa depan," katanya.

Sementara itu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI Dr Brian Sriprahastuti mengatakan penanganan stunting harus dilakukan secara holistik melalui peningkatan pola asuh, pola pangan, dan sanitasi.

"Tiga hal tersebut berkaitan dengan akses ke layanan kesehatan dan stimulasi tumbuh kembang anak, akses gizi dan pangan beragam, dan akses sarana sanitasi, juga terkait dengan edukasi perubahan perilaku," kata Brian.

Pasalnya, kata dia, kasus stunting itu tidak memandang kelas di masyarakat.

Stunting, kata dia, bisa terjadi kepada balita dari kelas masyarakat apapun, karena angka stunting di perkotaan juga cukup tinggi.

"Setiap orang itu memiliki risiko, maka cegah sejak dalam kandungan, karena stunting itu tidak memandang ekonomi, maka pencegahan itu menjadi penting," kata Brian.

Baca juga: Pemkab Bekasi komitmen turunkan stunting secara terintegrasi

Baca juga: Kabupaten Bogor tentukan 14 wilayah prioritas penanganan "stunting"

Baca juga: Pencegahan dan penanganan "stunting" di Kota Bogor melalui puskesmas

Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi

Editor : Yuniardi Ferdinan


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020