Pasal tentang masyarakat adat dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, menurut dosen IPB Universiy, Dr A Faroby Falatehan dapat membantu menjamin ketahanan pangan masyarakat adat.
Menurut Faroby, salah satu isu menarik dalam UU itu adalah pasal 69 ayat (1) huruf h, yang menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, selanjutnya pada ayat (2) disebutkan bahwa hal ini dikecualikan bagi masyarakat yang melakukan kegiatan dimaksud dengan memperhatikan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.
"Di sinilah menariknya UU pada pasal ini, dimana isi dari pasal ini merupakan kondisi yang menjadi tantangan bagi Indonesia, khususnya dalam menghadapi kebakaran hutan, khususnya di wilayah lahan gambut," kata Faroby dalam keterangan IPB University yang diterima di Jakarta, Senin.
Hal ini, katanya, merupakan isu bersama dalam menangani kebakaran hutan dan lahan yang terjadi. Biasanya yang menjadi alasan salah satunya adalah dengan adanya ladang berpindah dan membuka ladang dengan cara membakar yang dilakukan oleh masyarakat adat.
Menurut dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen (ESL-FEM) itu, kriminalisasi masyarakat adat atas pembakaran lahan membuat mereka tidak memperoleh hak mereka yang sudah dijamin konstitusi. Hal itu berbanding lurus dengan hilangnya rasa keadilan karena masyarakat adat dapat dituduh menjadi pelaku, padahal mereka menjalankan hak tradisional yang sudah dijamin.
Dalam praktiknya, masyarakat adat saat ini sulit melaksanakan kegiatan ladang berpindah karena telah mengetahui dan memiliki batas wilayah kepemilikan. Faroby meyakini hal itu akan membuat mereka berpikir ulang dalam melakukan ladang berpindah, karena akan memakai lahan milik orang lain jika menjalankannya.
Dia menegaskan tidak selalu benar kegiatan ladang berpindah merupakan salah satu penyebab kebakaran lahan, karena masyarakat adat telah menyadari tentang isu kepemilikan lahan dan jika melakukan perpindahan ladang, akan memastikan menggunakan lahan dengan izin dari teman atau kerabat untuk menghindari konflik internal.
Faroby menyatakan pembakaran lahan tradisional yang dilakukan masyarakat adat sudah dilakukan dengan penuh perhitungan. Masyarakat adat akan berbicara terlebih dahulu dengan pemilik lahan di sekitarnya terkait kegiatan pembersihan lahan itu dan mengantisipasi dengan kearifan lokal yang mereka miliki untuk menghindari peluang terjadinya kebakaran besar.
Alasan masyarakat adat melakukan pembersihan lahan dengan cara itu karena kesulitan dalam melakukan mekanisasi dalam pengolahan lahan. Belum lagi jika dilakukan dengan mekanisasi, mereka pun memiliki keterbatasan biaya, sehingga sulit dilakukan.
Mereka juga sering menjadi korban dari kebakaran yang ada, karena tidak sedikit lahan perkebunan mereka yang sebagian besar kebun karet ikut terbakar. Hal inilah yang membuat mereka trauma jika membakar lahan secara sembarangan, karena nantinya dapat menjadi korban.
Faroby mengatakan larangan membuka ladang dengan kearifan lokal untuk masyarakat adat dapat berdampak negatif, selain bagi mereka juga untuk negara. Karena larangan itu akan memiliki efek kepada ketahanan pangan masyarakat adat.
"Dengan adanya pelarangan membakar lahan dalam membuka ladang mengakibatkan mereka tidak dapat berladang. Mereka tidak memiliki lahan untuk dijadikan sumber pangan mereka. Akibatnya, mereka harus berbelanja untuk mendapatkan beras," ujarnya.
Sementara itu, lahan yang biasa digunakan sebagai tempat bercocok tanam akan menjadi kosong, yang memperbesar peluang kebakaran karena tidak adanya pengawasan. Kebakaran itu berimbas tidak hanya kepada pemilik lahan, tapi juga secara umum.
Dia menegaskan jika itu terjadi, masyarakat adat dapat menjadi kambing hitam dari kebakaran, padahal belum tentu mereka yang menjadi penyebabnya.
Dia mengharapkan UU Cipta Kerja itu dapat menjawab segala potensi masalah tersebut, meski masih ada beberapa hal yang perlu diperjelas dalam aturannya.
"Tentu hal ini tidak mudah dalam pelaksanaannya, apalagi jika ada yang memanfaatkan aturan ini untuk kepentingan sendiri dalam melakukan pembersihan lahan. Oleh karena itu, dengan dimasukkannya permasalahan ini dalam UU Cipta Kerja, diharapkan masyarakat dapat terjamin ketahanan pangannya, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan mereka," kata Faroby.
Selain itu, dengan adanya pasal tersebut di UU Cipta Kerja diharapkan dapat membuat masyarakat adat bisa membantu pemerintah dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan.
"Beberapa hal mesti diperjelas dalam pelaksanaan pembersihan ladang ini. Seperti keterkaitannya dengan administrasi pemerintah desa. Jadi, bukan saja pihak adat yang mengetahui hal ini, tetapi juga pihak desa, sehingga jika terjadi sesuatu hal, akan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum," ujar Faroby.
Baca juga: Moeldoko: Banyak tokoh belum pahami isi UU Cipta Kerja namun keburu menolak
Baca juga: Moeldoko sebut Presiden Jokowi impikan wajah baru Indonesia
Baca juga: Survei sebut hanya 31,2 persen publik tahu "Omnibus Law" UU Ciptaker
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020
Menurut Faroby, salah satu isu menarik dalam UU itu adalah pasal 69 ayat (1) huruf h, yang menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, selanjutnya pada ayat (2) disebutkan bahwa hal ini dikecualikan bagi masyarakat yang melakukan kegiatan dimaksud dengan memperhatikan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.
"Di sinilah menariknya UU pada pasal ini, dimana isi dari pasal ini merupakan kondisi yang menjadi tantangan bagi Indonesia, khususnya dalam menghadapi kebakaran hutan, khususnya di wilayah lahan gambut," kata Faroby dalam keterangan IPB University yang diterima di Jakarta, Senin.
Hal ini, katanya, merupakan isu bersama dalam menangani kebakaran hutan dan lahan yang terjadi. Biasanya yang menjadi alasan salah satunya adalah dengan adanya ladang berpindah dan membuka ladang dengan cara membakar yang dilakukan oleh masyarakat adat.
Menurut dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen (ESL-FEM) itu, kriminalisasi masyarakat adat atas pembakaran lahan membuat mereka tidak memperoleh hak mereka yang sudah dijamin konstitusi. Hal itu berbanding lurus dengan hilangnya rasa keadilan karena masyarakat adat dapat dituduh menjadi pelaku, padahal mereka menjalankan hak tradisional yang sudah dijamin.
Dalam praktiknya, masyarakat adat saat ini sulit melaksanakan kegiatan ladang berpindah karena telah mengetahui dan memiliki batas wilayah kepemilikan. Faroby meyakini hal itu akan membuat mereka berpikir ulang dalam melakukan ladang berpindah, karena akan memakai lahan milik orang lain jika menjalankannya.
Dia menegaskan tidak selalu benar kegiatan ladang berpindah merupakan salah satu penyebab kebakaran lahan, karena masyarakat adat telah menyadari tentang isu kepemilikan lahan dan jika melakukan perpindahan ladang, akan memastikan menggunakan lahan dengan izin dari teman atau kerabat untuk menghindari konflik internal.
Faroby menyatakan pembakaran lahan tradisional yang dilakukan masyarakat adat sudah dilakukan dengan penuh perhitungan. Masyarakat adat akan berbicara terlebih dahulu dengan pemilik lahan di sekitarnya terkait kegiatan pembersihan lahan itu dan mengantisipasi dengan kearifan lokal yang mereka miliki untuk menghindari peluang terjadinya kebakaran besar.
Alasan masyarakat adat melakukan pembersihan lahan dengan cara itu karena kesulitan dalam melakukan mekanisasi dalam pengolahan lahan. Belum lagi jika dilakukan dengan mekanisasi, mereka pun memiliki keterbatasan biaya, sehingga sulit dilakukan.
Mereka juga sering menjadi korban dari kebakaran yang ada, karena tidak sedikit lahan perkebunan mereka yang sebagian besar kebun karet ikut terbakar. Hal inilah yang membuat mereka trauma jika membakar lahan secara sembarangan, karena nantinya dapat menjadi korban.
Faroby mengatakan larangan membuka ladang dengan kearifan lokal untuk masyarakat adat dapat berdampak negatif, selain bagi mereka juga untuk negara. Karena larangan itu akan memiliki efek kepada ketahanan pangan masyarakat adat.
"Dengan adanya pelarangan membakar lahan dalam membuka ladang mengakibatkan mereka tidak dapat berladang. Mereka tidak memiliki lahan untuk dijadikan sumber pangan mereka. Akibatnya, mereka harus berbelanja untuk mendapatkan beras," ujarnya.
Sementara itu, lahan yang biasa digunakan sebagai tempat bercocok tanam akan menjadi kosong, yang memperbesar peluang kebakaran karena tidak adanya pengawasan. Kebakaran itu berimbas tidak hanya kepada pemilik lahan, tapi juga secara umum.
Dia menegaskan jika itu terjadi, masyarakat adat dapat menjadi kambing hitam dari kebakaran, padahal belum tentu mereka yang menjadi penyebabnya.
Dia mengharapkan UU Cipta Kerja itu dapat menjawab segala potensi masalah tersebut, meski masih ada beberapa hal yang perlu diperjelas dalam aturannya.
"Tentu hal ini tidak mudah dalam pelaksanaannya, apalagi jika ada yang memanfaatkan aturan ini untuk kepentingan sendiri dalam melakukan pembersihan lahan. Oleh karena itu, dengan dimasukkannya permasalahan ini dalam UU Cipta Kerja, diharapkan masyarakat dapat terjamin ketahanan pangannya, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan mereka," kata Faroby.
Selain itu, dengan adanya pasal tersebut di UU Cipta Kerja diharapkan dapat membuat masyarakat adat bisa membantu pemerintah dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan.
"Beberapa hal mesti diperjelas dalam pelaksanaan pembersihan ladang ini. Seperti keterkaitannya dengan administrasi pemerintah desa. Jadi, bukan saja pihak adat yang mengetahui hal ini, tetapi juga pihak desa, sehingga jika terjadi sesuatu hal, akan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum," ujar Faroby.
Baca juga: Moeldoko: Banyak tokoh belum pahami isi UU Cipta Kerja namun keburu menolak
Baca juga: Moeldoko sebut Presiden Jokowi impikan wajah baru Indonesia
Baca juga: Survei sebut hanya 31,2 persen publik tahu "Omnibus Law" UU Ciptaker
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020