Kepala Pusat Laboratorium Narkotika Badan Narkotika Nasional (BNN), Brigjen (Pol) Mufti Djusnir mengatakan narkoba jenis sintetis ini efeknya lebih buruk dibandingkan narkotika alami seperti ganja, heroin dan kokain.
"Yang jelas, narkoba jenis sintetis ini seperti derivate methamphetamine, derivate chatinone; (sabu, methylone, tembakau gorila, dan lainnya), efek yang ditimbulkan lebih buruk dibandingkan narkotika alami (ganja, heroin, cocain)," kata dia kepada ANTARA belum lama ini.
Zat psikoaktif baru (New Psychoactive Substance) atau NPS dengan potensi membahayakan kesehatan tubuh.
NPS secara kimiawi mirip dengan obat psikoaktif kuat dan adiktif lainnya seperti metamfetamin, heroin, ganja dan kokain, menurut Dr. Mohamed Zakir Karuvetil, seorang konsultan di The National Addictions Management Service, Institute of Mental Health, di Singapura.
Dia mengatakan dalam kebanyakan kasus, penggunaan rutin NPS bisa menyebabkan sakit kepala, agitasi, tremor dan insomnia ketika dihentikan.
Dalam kasus lain, mungkin ada perubahan kondisi mental akut, paranoia, gangguan pikiran, halusinasi, suasana hati yang buruk, cemas hingga pikiran untuk bunuh diri.
Kemudian, gejala penarikan fisik zat ini bervariasi dari ringan hingga berat, tergantung NPS yang digunakan dan kerentanan individu yang menyalahgunakannya.
Gejala-gejala penarikan psikologis yang biasa dialami penyalaguna antara lain marah, gelisah, perasaan tertekan mirip seperti penarikan obat-obatan lain seperti ganja.
"Beberapa individu yang rentan dapat lebih sensitif terhadap sifat kecanduan NPS dan karena itu bisa mengembangkan komplikasi medis, seperti paranoia ekstrem, halusinasi, kecenderungan bunuh diri dan mengubah status mental," kata Karuvetil seperti dilansir dari Strait Times.
Mereka yang kecanduan NPS akan memiliki masalah kesehatan mental jangka panjang yang lebih serius, seperti depresi, gangguan kecemasan, dan masalah memori.
Overdosis
Tidak ada yang namanya batas aman untuk penggunaan narkoba. Alcohol and Drug Foundation di Australia mengungkapkan, kemasan NPS sering menyesatkan dan tidak mencantumkan semua bahan atau jumlah yang benar sehingga memudahkan pengguna mengalami overdosis.
Efek samping dan overdosis lebih mungkin terjadi ketika NPS dikonsumsi dengan kombinasi dengan alkohol atau obat lain.
Jika seseorang overdosis NPS, dia berisiko mengalami masalah kesehatan yang serius karena kurangnya tes laboratorium standar untuk mendeteksi keberadaan NPS dalam cairan tubuh, menurut Karuvetil.
Di Indonesia, NPS yang termasuk narkotika golongan 3 populer beredar mengalahkan ganja yang berada di posisi ke dua.
"Untuk tren narkoba yang beredar di Indonesia sampai dengan sekarang, masih dominan NPS, yaitu Meth Amphetamine (sabu), serta sintetis lainnya derivat Chatinone, canaboid syntetic (ganja sintetis). Sedangkan ganja, pada posisi kedua," tutur Mufti.
Badan Narkotika Nasional (BNN) mengingatkan masyarakat mewaspadai narkoba sintetis (Synthetic Drug) yang memiliki pangsa pasar karena harganya terjangkau.
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Heru Winarko pernah menyatakan narkoba jenis sintetis ini bisa didapatkan dengan harga Rp3.000 dan siswa sekolah target yang potensial.
Baca juga: Awas, pasar narkoba sintetis di Asia Tenggara terus berkembang
Baca juga: Polres Bogor sita 5,22 kg tembakau sintetis dari dua tersangka
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020
"Yang jelas, narkoba jenis sintetis ini seperti derivate methamphetamine, derivate chatinone; (sabu, methylone, tembakau gorila, dan lainnya), efek yang ditimbulkan lebih buruk dibandingkan narkotika alami (ganja, heroin, cocain)," kata dia kepada ANTARA belum lama ini.
Zat psikoaktif baru (New Psychoactive Substance) atau NPS dengan potensi membahayakan kesehatan tubuh.
NPS secara kimiawi mirip dengan obat psikoaktif kuat dan adiktif lainnya seperti metamfetamin, heroin, ganja dan kokain, menurut Dr. Mohamed Zakir Karuvetil, seorang konsultan di The National Addictions Management Service, Institute of Mental Health, di Singapura.
Dia mengatakan dalam kebanyakan kasus, penggunaan rutin NPS bisa menyebabkan sakit kepala, agitasi, tremor dan insomnia ketika dihentikan.
Dalam kasus lain, mungkin ada perubahan kondisi mental akut, paranoia, gangguan pikiran, halusinasi, suasana hati yang buruk, cemas hingga pikiran untuk bunuh diri.
Kemudian, gejala penarikan fisik zat ini bervariasi dari ringan hingga berat, tergantung NPS yang digunakan dan kerentanan individu yang menyalahgunakannya.
Gejala-gejala penarikan psikologis yang biasa dialami penyalaguna antara lain marah, gelisah, perasaan tertekan mirip seperti penarikan obat-obatan lain seperti ganja.
"Beberapa individu yang rentan dapat lebih sensitif terhadap sifat kecanduan NPS dan karena itu bisa mengembangkan komplikasi medis, seperti paranoia ekstrem, halusinasi, kecenderungan bunuh diri dan mengubah status mental," kata Karuvetil seperti dilansir dari Strait Times.
Mereka yang kecanduan NPS akan memiliki masalah kesehatan mental jangka panjang yang lebih serius, seperti depresi, gangguan kecemasan, dan masalah memori.
Overdosis
Tidak ada yang namanya batas aman untuk penggunaan narkoba. Alcohol and Drug Foundation di Australia mengungkapkan, kemasan NPS sering menyesatkan dan tidak mencantumkan semua bahan atau jumlah yang benar sehingga memudahkan pengguna mengalami overdosis.
Efek samping dan overdosis lebih mungkin terjadi ketika NPS dikonsumsi dengan kombinasi dengan alkohol atau obat lain.
Jika seseorang overdosis NPS, dia berisiko mengalami masalah kesehatan yang serius karena kurangnya tes laboratorium standar untuk mendeteksi keberadaan NPS dalam cairan tubuh, menurut Karuvetil.
Di Indonesia, NPS yang termasuk narkotika golongan 3 populer beredar mengalahkan ganja yang berada di posisi ke dua.
"Untuk tren narkoba yang beredar di Indonesia sampai dengan sekarang, masih dominan NPS, yaitu Meth Amphetamine (sabu), serta sintetis lainnya derivat Chatinone, canaboid syntetic (ganja sintetis). Sedangkan ganja, pada posisi kedua," tutur Mufti.
Badan Narkotika Nasional (BNN) mengingatkan masyarakat mewaspadai narkoba sintetis (Synthetic Drug) yang memiliki pangsa pasar karena harganya terjangkau.
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Heru Winarko pernah menyatakan narkoba jenis sintetis ini bisa didapatkan dengan harga Rp3.000 dan siswa sekolah target yang potensial.
Baca juga: Awas, pasar narkoba sintetis di Asia Tenggara terus berkembang
Baca juga: Polres Bogor sita 5,22 kg tembakau sintetis dari dua tersangka
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020