Tim Perumus Policy Brief Kajian Regulasi di bawah koordinasi Direktorat Inovasi dan Science Techno Park UI (DISTP UI) merumuskan sebuah policy brief yang berisikan daftar rekomendasi UI atas serangkaian produk hukum dan regulasi untuk menangani penyebaran COVID-19.
Rektor UI Prof. Ari Kuncoro dalam keterangannya, Senin, mengatakan pada policy brief ini, UI mencermati persoalan yang mengemuka dari sisi hukum dan regulasi. Secara global, World Health Organization (WHO) telah menetapkan COVID-19 sebagai Public Health Emergency of International Concern (PHEIC), dan meningkatkan statusnya menjadi Global Pandemic pada 11 Maret 2020.
Di Indonesia kata dia, pemerintah telah mengeluarkan serangkaian produk hukum untuk menangani penyebaran COVID-19, yaitu UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan UU No. 14 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Baca juga: Studi Sosial: 92,8 persen dukung karantina wilayah
Diharapkan kajian yang UI lakukan dapat memberikan solusi terbaik bagi pemerintah dalam dan merespons kedaruratan yang disebabkan oleh pandemi ini. Berdasarkan hasil kajian regulasi yang dilakukan, UI merekomendasikan lima poin kebijakan.
Pertama, perlunya kejelasan formal-materiil dalam pembentukan regulasi. Seyogianya produk hukum yang dilahirkan dalam kondisi darurat memiliki kandungan tepat guna, aplikatif, dan terinci sehingga dapat menjadi kerangka penerapan kebijakan.
Kejelasan formal dan materiil juga penting untuk produk-produk hukum darurat, guna menghindari penyalahgunaan penafsiran dan ambiguitas penggunaannya.
Adanya kejelasan ini akan menghindari berbagai kerancuan di tengah masyarakat, maupun pemangku kepentingan dalam mengambil tindak lanjut, sebagai contoh proses pengadaan barang dan jasa yang berisiko adanya penyelewengan atau tindak pidana korupsi.
Tidak adanya kebijakan yang tegas dan terarah membuat pelaksana teknis berpotensi melakukan maladministrasi dan dianggap merugikan keuangan negara. Contoh lainnya adalah perihal larangan mudik, larangan ojek online, dan penetapan keadaan bencana sebagai alasan force majeure dalam sebuah kontrak.
Rekomendasi kedua berkenaan dengan tata kelola kelembagaan. Pemerintah perlu membangun tata kelembagaan dengan memperkuat produk-produk hukum agar tidak saling tumpang-tindih dan solutif bercirikan birokrasi administrasi yang ringkas. Pemerintah juga perlu menjaga tranparansi informasi terkait COVID-19.
Baca juga: UI usul terbitkan Perpres penanganan kedaruratan kesehatan pandemi COVID-19
Data yang dimuat dalam laman www.covid19.go.id mempermudah para pemangku kepentingan, namun diperlukan penyempurnaan informasi hingga semakin jelas sampai pada tingkatan teknis, seperti: ketersediaan data tervalidasi yang terpusat dan tranparan, status ketersediaan APD, tes PCR, laboratorium, dan status ketersediaan sumber daya lainnya.
Ketiga, sentralisasi pelaksanaan kebijakan. Sentralisasi kendali dan kebijakan di masa darurat hanya dapat dilakukan oleh presiden selaku kepala negara, karena presiden yang mendapat kewenangan konstitutional untuk menyimpangi hukum-hukum yang berlaku khusus pada saat darurat.
Namun terdapat dua deklarasi kedaruratan, yaitu Keppres No. 11 tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Keppres No. 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai Bencana Nasional, yang menimbulkan bias dan status quo dalam penanganan COVID-19.
Baca juga: Gubes UI sebut komorbiditas karena polusi udara perparah pasien COVID-19
Keempat, penguatan checks and balances. Kekhawatiran terbesar publik akan hilangnya mekanisme checks and balances terletak pada pemberlakuan Perppu No. 1 tahun 2020 dalam hal penyimpangan keuangan negara.
Kelonggaran merelokasi keuangan negara dapat dilakukan guna memberikan pelayanan cepat dalam kondisi krisis, namun pendekatan relokasi anggaran tersebut harus tetap dapat dipertanggungjawabkan sesuai koridor hukum agar tetap memenuhi prinsip-prinsip pemerintahan yang baik.
Kelima, regulasi untuk mewadahi pelibatan dan inisiatif masyarakat. Penetapan hukum dalam keadaan darurat COVID-19 jangan sampai dipergunakan oleh sebagian orang untuk menyelamatkan diri sendiri atau golongannya, namun tetap digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan bangsa Indonesia.
Pelibatan masyarakat dengan mewadahi berbagai inisitiatifnya, perlu diarahkan dan dilindungi oleh sebuah regulasi khusus, mengingat belum adanya pengaturan dan perlindungan yang memadai terkait citizen initiative.
Wakil Rektor UI Prof. Abdul Haris menambahkan bahwa Policy brief ini merupakan usulan ke-4 yang telah UI hasilkan. UI sebagai think tank berupaya melakukan kajian yamg komprehensif agar dapat memberikan masukan bagi pemerintah dalam menghadapi pandemi COVID-19. Usulan kebijakan lainnya adalah tinjauan sosial, kesehatan, kelembagaan, ekonomi, dan pajak, yang akan disampaikan ke pemerintah.
Baca juga: UI rekomendasikan "Gotong Royong Kebangsaan" percepat tangani pandemi COVID-19
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020
Rektor UI Prof. Ari Kuncoro dalam keterangannya, Senin, mengatakan pada policy brief ini, UI mencermati persoalan yang mengemuka dari sisi hukum dan regulasi. Secara global, World Health Organization (WHO) telah menetapkan COVID-19 sebagai Public Health Emergency of International Concern (PHEIC), dan meningkatkan statusnya menjadi Global Pandemic pada 11 Maret 2020.
Di Indonesia kata dia, pemerintah telah mengeluarkan serangkaian produk hukum untuk menangani penyebaran COVID-19, yaitu UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan UU No. 14 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Baca juga: Studi Sosial: 92,8 persen dukung karantina wilayah
Diharapkan kajian yang UI lakukan dapat memberikan solusi terbaik bagi pemerintah dalam dan merespons kedaruratan yang disebabkan oleh pandemi ini. Berdasarkan hasil kajian regulasi yang dilakukan, UI merekomendasikan lima poin kebijakan.
Pertama, perlunya kejelasan formal-materiil dalam pembentukan regulasi. Seyogianya produk hukum yang dilahirkan dalam kondisi darurat memiliki kandungan tepat guna, aplikatif, dan terinci sehingga dapat menjadi kerangka penerapan kebijakan.
Kejelasan formal dan materiil juga penting untuk produk-produk hukum darurat, guna menghindari penyalahgunaan penafsiran dan ambiguitas penggunaannya.
Adanya kejelasan ini akan menghindari berbagai kerancuan di tengah masyarakat, maupun pemangku kepentingan dalam mengambil tindak lanjut, sebagai contoh proses pengadaan barang dan jasa yang berisiko adanya penyelewengan atau tindak pidana korupsi.
Tidak adanya kebijakan yang tegas dan terarah membuat pelaksana teknis berpotensi melakukan maladministrasi dan dianggap merugikan keuangan negara. Contoh lainnya adalah perihal larangan mudik, larangan ojek online, dan penetapan keadaan bencana sebagai alasan force majeure dalam sebuah kontrak.
Rekomendasi kedua berkenaan dengan tata kelola kelembagaan. Pemerintah perlu membangun tata kelembagaan dengan memperkuat produk-produk hukum agar tidak saling tumpang-tindih dan solutif bercirikan birokrasi administrasi yang ringkas. Pemerintah juga perlu menjaga tranparansi informasi terkait COVID-19.
Baca juga: UI usul terbitkan Perpres penanganan kedaruratan kesehatan pandemi COVID-19
Data yang dimuat dalam laman www.covid19.go.id mempermudah para pemangku kepentingan, namun diperlukan penyempurnaan informasi hingga semakin jelas sampai pada tingkatan teknis, seperti: ketersediaan data tervalidasi yang terpusat dan tranparan, status ketersediaan APD, tes PCR, laboratorium, dan status ketersediaan sumber daya lainnya.
Ketiga, sentralisasi pelaksanaan kebijakan. Sentralisasi kendali dan kebijakan di masa darurat hanya dapat dilakukan oleh presiden selaku kepala negara, karena presiden yang mendapat kewenangan konstitutional untuk menyimpangi hukum-hukum yang berlaku khusus pada saat darurat.
Namun terdapat dua deklarasi kedaruratan, yaitu Keppres No. 11 tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Keppres No. 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai Bencana Nasional, yang menimbulkan bias dan status quo dalam penanganan COVID-19.
Baca juga: Gubes UI sebut komorbiditas karena polusi udara perparah pasien COVID-19
Keempat, penguatan checks and balances. Kekhawatiran terbesar publik akan hilangnya mekanisme checks and balances terletak pada pemberlakuan Perppu No. 1 tahun 2020 dalam hal penyimpangan keuangan negara.
Kelonggaran merelokasi keuangan negara dapat dilakukan guna memberikan pelayanan cepat dalam kondisi krisis, namun pendekatan relokasi anggaran tersebut harus tetap dapat dipertanggungjawabkan sesuai koridor hukum agar tetap memenuhi prinsip-prinsip pemerintahan yang baik.
Kelima, regulasi untuk mewadahi pelibatan dan inisiatif masyarakat. Penetapan hukum dalam keadaan darurat COVID-19 jangan sampai dipergunakan oleh sebagian orang untuk menyelamatkan diri sendiri atau golongannya, namun tetap digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan bangsa Indonesia.
Pelibatan masyarakat dengan mewadahi berbagai inisitiatifnya, perlu diarahkan dan dilindungi oleh sebuah regulasi khusus, mengingat belum adanya pengaturan dan perlindungan yang memadai terkait citizen initiative.
Wakil Rektor UI Prof. Abdul Haris menambahkan bahwa Policy brief ini merupakan usulan ke-4 yang telah UI hasilkan. UI sebagai think tank berupaya melakukan kajian yamg komprehensif agar dapat memberikan masukan bagi pemerintah dalam menghadapi pandemi COVID-19. Usulan kebijakan lainnya adalah tinjauan sosial, kesehatan, kelembagaan, ekonomi, dan pajak, yang akan disampaikan ke pemerintah.
Baca juga: UI rekomendasikan "Gotong Royong Kebangsaan" percepat tangani pandemi COVID-19
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020