Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tidak yakin apakah keberadaan antibodi dalam darah memberikan perlindungan maksimal terhadap reinfeksi (tertular kembali) virus corona, demikian ahli kedaruratan WHO, Mike Ryan saat konferensi pers, Jumat.

Ryan juga menuturkan bahwa walaupun antibodi bekerja efektif, terdapat sedikit tanda bahwa sejumlah besar orang mengembangkan antibodi itu  dan mulai menawarkan  apa yang disebut "kekebalan kelompok" terhadap populasi yang lebih besar.

"Banyak informasi awal yang datang kepada kami pada saat ini akan menunjukkan bahwa cukup sedikit populasi yang mengalami serokonversi (untuk memproduksi antibodi)," katanya.

Baca juga: Uji coba plasma konvalesen eks-COVID-19 harus disetujui relawan

"Harapannya bahwa ... mayoritas dalam masyarakat mungkin telah mengembangkan antibodi, bukti umum bertolak belakang dengan harapan itu, sehingga antibodi  mungkin tidak memecahkan masalah pemerintah."

Sebelumnya beberapa pakar kesehatan mengusulkan  langkah-langkah  memerangi pandemi corona antara lain dengan menerapkan strategi kekebalan kelompok. Strategi ini diyakini beberapa pakar kesehatan dapat menghentikan penyebaran virus corona dengan membiarkan semua populasi tertular, dengan asumsi tingkat kekebalan masyarakat terhadap corona di atas 70 persen. 

Baca juga: Sejumlah ilmuwan temukan obat baru untuk pasien COVID-19

Namun, tak sedikit pakar yang menentang usulan itu karena risikonya terlalu tinggi. Apalagi vaksin corona belum ditemukan.

Oleh sebab itu, strategi yang umum ditempuh adalah pencegahan penularan dengan memberlakukan karantina wilayah dan menginstruksikan warga masyarakat berdiam di rumah, serta menjaga jarak aman ketika berada  di ruang terbuka.

Sumber: Reuters

Baca juga: Lembaga Eijkman kembangkan obat terapi pengobatan pasien COVID-19

Pewarta: Asri Mayang Sari

Editor : Yuniardi Ferdinan


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020