Empat mahasiswa Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM-ITB) berhasil mengembangkan aplikasi alat bantu pendengaran bagi tuna rungu yang diberi nama "Hearme."
Atas prestasi tersebut keempat mahasiswa tersebut diganjar hibah modal usaha sekitar Rp250 juta dalam ajang Diplomat Chalenge 2019.
Aplikasi Hearme diprakarsai oleh empat mahasiswa SBM-ITB yaitu Athalia Mutiara Laksmi, Safirah Nur Shabrina, Octiafani Isna Ariani dan Nadya Sahara putri sejak 2019 lalu.
Athalia Mutiara Laksmi dalam siaran pers Humas SBM ITB, Rabu, menjelaskan dengan aplikasi Hearme membuat semua orang bisa berkomunikasi memakai bahasa isyarat dengan tuna rungu begitu pun sebaliknya tuna rungu juga mampu berkomunikasi dengan masyarakat luas.
Berangkat dari pengalaman mereka ketika memesan taksi online kemudian mendapati driver tuna runggu yang dibantu anaknya berkomunikasi dengan penumpang.
Driver tersebut sering dianggap tidak sopan oleh penumpang karena pendengarannya kurang maksimal.
"Seringkali driver dirating rendah karena dinilai nggak sopan dengan penumpang dan sering miss communication. Padahal di situ si penumpang nggak tahu kalau si driver tuli jadi sering susah komunikasi," kata Athalia.
"Nah dari situ kita mikir gimana caranya buat mengatasi masalah itu. Akhirnya kita sering brainstorming yg akhirnya menghasilkan Hearme," tambahnya.
Atha-sapaan Athalia mengaku kurang percaya diri saat awal pendirian startup tersebut sebab mereka tidak memiliki latar belakang pendidikan IT tapi ingin mengembangkan bisnis digital.
Akhirnya, mereka pun memilih jenis startup digital technology, karena sesuai dengan perkembangan zaman era 4.0 dimana semua aktivitas didominasi oleh teknologi. Mereka ingin menggunakan teknologi guna menyelesaikan suatu masalah.
Terlebih, dengan adanya teknologi juga semuanya bisa jadi praktis. Di samping itu, kini masyarakat juga sudah mulai terbiasa dengan kehadiran teknologi dalam kehidupan mereka.
"Kita juga kuliah di SBM-ITB. Jadi kalau bisa bisnis kita berbasis IT," katanya.
Atha menilai memasuki society 5.0. berbagai jenis bisnis harus berdampak sosial terhadap masyarakat maka dengan penerapan teknologi ini mereka akan menyediakan fasilitas yang ramah disabilitas sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia khususnya disabilitas.
"Kita juga disini perannya sociopreneur," ujarnya.
Atha membagikan kunci suksesnya meraih penghargaan dari ajang Diplomat Challenge 2019.
Ia menuturkan berkat piawai, paham dan persona dalam mengembangkan startupnya mereka memukau dewan juri lewat presentasi depan publik dan dewan Komisioner. "Alhamdulillah berkat 3P kita berhasil dalam ajang tersebut," ujar Atha.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2019
Atas prestasi tersebut keempat mahasiswa tersebut diganjar hibah modal usaha sekitar Rp250 juta dalam ajang Diplomat Chalenge 2019.
Aplikasi Hearme diprakarsai oleh empat mahasiswa SBM-ITB yaitu Athalia Mutiara Laksmi, Safirah Nur Shabrina, Octiafani Isna Ariani dan Nadya Sahara putri sejak 2019 lalu.
Athalia Mutiara Laksmi dalam siaran pers Humas SBM ITB, Rabu, menjelaskan dengan aplikasi Hearme membuat semua orang bisa berkomunikasi memakai bahasa isyarat dengan tuna rungu begitu pun sebaliknya tuna rungu juga mampu berkomunikasi dengan masyarakat luas.
Berangkat dari pengalaman mereka ketika memesan taksi online kemudian mendapati driver tuna runggu yang dibantu anaknya berkomunikasi dengan penumpang.
Driver tersebut sering dianggap tidak sopan oleh penumpang karena pendengarannya kurang maksimal.
"Seringkali driver dirating rendah karena dinilai nggak sopan dengan penumpang dan sering miss communication. Padahal di situ si penumpang nggak tahu kalau si driver tuli jadi sering susah komunikasi," kata Athalia.
"Nah dari situ kita mikir gimana caranya buat mengatasi masalah itu. Akhirnya kita sering brainstorming yg akhirnya menghasilkan Hearme," tambahnya.
Atha-sapaan Athalia mengaku kurang percaya diri saat awal pendirian startup tersebut sebab mereka tidak memiliki latar belakang pendidikan IT tapi ingin mengembangkan bisnis digital.
Akhirnya, mereka pun memilih jenis startup digital technology, karena sesuai dengan perkembangan zaman era 4.0 dimana semua aktivitas didominasi oleh teknologi. Mereka ingin menggunakan teknologi guna menyelesaikan suatu masalah.
Terlebih, dengan adanya teknologi juga semuanya bisa jadi praktis. Di samping itu, kini masyarakat juga sudah mulai terbiasa dengan kehadiran teknologi dalam kehidupan mereka.
"Kita juga kuliah di SBM-ITB. Jadi kalau bisa bisnis kita berbasis IT," katanya.
Atha menilai memasuki society 5.0. berbagai jenis bisnis harus berdampak sosial terhadap masyarakat maka dengan penerapan teknologi ini mereka akan menyediakan fasilitas yang ramah disabilitas sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia khususnya disabilitas.
"Kita juga disini perannya sociopreneur," ujarnya.
Atha membagikan kunci suksesnya meraih penghargaan dari ajang Diplomat Challenge 2019.
Ia menuturkan berkat piawai, paham dan persona dalam mengembangkan startupnya mereka memukau dewan juri lewat presentasi depan publik dan dewan Komisioner. "Alhamdulillah berkat 3P kita berhasil dalam ajang tersebut," ujar Atha.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2019