Tanpa disadari, banyak kesalahan dalam pola pengajaran yang dilakukan guru dalam mendidik anak padahal hal itu akan berpengaruh buruk pada psikologis siswa dalam sekolah atau dalam arti tidak bagja (tidak bahagia).

Psikolog, Dosen Universitas Pendidikan Indonesia atau UPI, Ifa H Misbach mengatakan guru yang bagja (bahasa sunda bahagia) bisa melahirkan siswa yang bahagia begitu pun sebaliknya.

Ifa membedah hal tersebut dalam materi ”Mengapa Remaja Suka Memberontak?” di Class Series 2019 – Komunitas Guru Masagi Final Season, beberapa waktu lalu di Bandung, Jabar.

Ifa mengajak para guru untuk mencoba membacakan teks pada proyektor. ”Kenapa kamu telat?” ucap salah seorang peserta dengan nada sinis. 

Guru yang lain juga mencoba dengan ungkapan membandingkan ”Si A bisa, kok kamu gak bisa?”.

Kata-kata tersebut sebenarnya sering kita dengar di sekolah dan siapa pun yang dihardik dengan pertanyaan itu, pasti kesal pada si guru. 

Nah, untuk merangsang siswa berkarakter baik, Ifa pun mendorong peserta untuk tidak lagi menggunakan kata-kata kenapa atau why sebab, kata-kata tersebut kerap menyudutkan siswa. 

"Alangkah lebih baik diganti. Misalnya, bisa minta tolong jelasin gak sama ibu, kenapa kamu terlambat ke sekolah?," kata Ifa. 

Ifa mengungkapkan, pertanyaan-pertanyaan tersebut kesan sepele dan taktis langsung pada inti masalah namun, dari sisi kejiwaan, remaja menjadi tertekan dan bisa memantik mereka untuk memberontak. 

Lebih jauhnya lagi, meraka akan mereplikasi ucapan tersebut kepada anak mereka kelak, kata dia.

Kenyataannya, banyak guru yang berharap anak didik mereka berkarakter baik namun, untuk menopang harapan tersebut, pada praktiknya pengetahuan guru belum menunjang.

"Saya tersadar, untuk menuju ke arah sana (pendidikan karakter), tidak hanya siswa, tapi gurunya juga harus bagja, bahagia. Di sekolah, guru terbentur dengan aturan yang kadang kala menyeragamkan dalam memperlakukan siswa," kata Guru Bimbingan Konseling (BK) SMAN 20, Euis Sopiah. 

Menurut dia, siswa itu merupakan sesuatu yang unik yang harus diperlakukan berbeda. 

Sehingga anak tersebut bisa berkembang dari sisi potensi dan harapannya menjadi SDM yang handal di kemudian hari. 

”Saya akan coba terapkan materi yang saya peroleh di Jabar Masagi dengan menerapkan pola perlakuan anak sesuai pada keberagamannya,”  ujar Euis. 

Community Mobilizer Guru Masagi, Roswita Amelinda, M Psi, Psikolog mengatakan, peserta Class Series 2019 Komunitas Guru Masagi Final Season tersebut diisi guru, kepala sekolah, pengawas dan lain-lain. 

Dalam Class Series yang digelar selama dua hari itu, komunitas mendapatkan materi prihal ”Mengenal Embrio Korupsi Dalam Kegiatan Pembelajaran”yang disampaikan Tini Sugiartini, M.Pd (Pengawas SMK). 

Kemudian, materi ”Mengapa Remaja Suka Memberontak?” oleh Ifa H. Misbach (Psikolog, Dosen Universitas Pendidikan Indonesia UPI).  

Lalu ”Strategi Inovatif Penguatan Pendidikan Karakter di SMAN 1 Lembang” oleh Drs Suhendiana Noor M.MPd. dan ”Komunikasi Membangun antara Guru dan Orangtua” oleh Aisya Yuhanida Noor M.Psi (Psikolog, Trainer dan Penulis Buku). 

”Antusiasme peserta sangat besar. Di luar prediksi. Padahal kami tidak melayangkan surat resmi, hanya membuka pendaftaran di media sosial. Sebanyak 27 kabupaten kota, pernah ikut dalam class series yang kami gelar,” kata perempuan yang akrab disapa Wita itu. 

Dia menyebutkan, para guru yang hadir sepenuhnya inisiatif sendiri. Menggunakan biaya pribadi atau mengusahakan dari sekolah. 

”Dan Alhamdulillahnya, banyak kepala sekolah yang mendukung dan mengirim para gurunya di class series,” ujarnya. 

Saat disinggung mengenai output yang diharapkan dari class series tersebut, Wita mengaku, ingin melipatgandakan dampak dari para peserta kepada guru-guru di luar pelathan.

"Kami ingin Jabar Masagi ini dihayati dan dipraktikan oleh guru-guru yang tidak terbatas yang dipanggil ke pelatihan,” ucapnya.  
 
”Harapan lainnya, mereka saling menguatkan dalam komunitas Guru Masagi agar terus konsisten,” lanjutnya.  

Ditanya soal tantangan mengaplikasikan praktik baik Jabar Masagi di 27 kabupaten kota di Jawa Barat, Wita menilai, kemerdekaan guru menjadi salah satu penghambatnya sebab banyak guru yang beranggapan, tidak berdaya melakukan perubahan.

Tidak hanya pada Jabar Masagi. Menurut dia, guru ketika mendapatkan program dari pemerintah dianggap mendapatkan tugas tambahan yang membebani.

Sementara tugas dia sendiri sebagai guru cukup banyak. Mulai dari persyaratan administrasi, target sekolah untuk meloloskan anak dengan nilai yang tinggi dan lain sebagainya. 

”Guru yang bagja, adalah guru yang berdaya,” tegasnya. 

”Tujuan Jabar Masagi sebenarnya siswa yang bagja. Tapi kami percaya, siswa yang bagja bisa lahir dari guru bagja,” sambungnya. 

Bagi Wita, guru tidak akan mengalami perubahan ketika pikiran sehari-hari selalu bagian dari korban sistem, tidak bisa berbuat apa-apa.

”Pendidikan karekter tidak akan jalan jika mindsetnya, ’buat apa sih saya capek-capek mengerjakan ini toh saya tidak akan naik pangkat karena menjalankan pendidikan karakter’. Kalau begitu terus, ya tidak akan maju-maju,” kata dia.

Baca juga: Film "Guru Guru Gokil" hadir dari produser Dian Sastrowardoyo

Baca juga: DPRD Garut: Guru honorer harus dijamin masuk BPJS Kesehatan
 

Pewarta: ASJ

Editor : Ajat Sudrajat


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2019