Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (Ditjen PKTN) Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyita pakaian bekas impor sebanyak 551 bal atau karung, yang sudah siap dijual kepada konsumen di wilayah Bandung, Jawa Barat.

Direktur Jenderal PKTN Kemendag Veri Anggrijono mengatakan saat penyitaan, barang tersebut dikamuflase oleh barang-barang yang legal dan sudah sesuai standar.

Menurutnya, barang ilegal tersebut masuk ke Indonesia melalui pelabuhan di Medan, Sumatera Utara.

"Kita akan telusuri dan tindak lanjut terus sampai ke mana (dipasok), apalagi ini sampai di Kota Bandung yang kita tahu ini sangat mengganggu industri tekstil," kata Veri di gudang Pasar Gedebage, Kota Bandung, Jabar, Kamis.

Nilai dari 551 bal pakaian impor tersebut, menurut dia, ditaksir mencapai Rp5 miliar.

Selain itu, lanjutnya, pemasok pakaian ilegal tersebut masih mendapatkan untung yang tinggi meski biaya pengiriman dari Medan menuju Bandung cukup mahal.

Ia juga mengaku pihaknya belum bisa melakukan pengawasan barang ilegal secara maksimal di tiap pelabuhan.

Maka dari itu, pihaknya mengaku selalu berkoordinasi dengan Dinas Perdagangan di tiap daerah untuk memaksimalkan pengawasan.

"Kami tidak bisa secara maksimal mengawasi setiap saat, tapi kami berusaha dengan teman-teman di daerah dalam rangka mengamankan industri dalam negeri," kata dia.

Menurut Veri, pakaian bekas impor ini masuk melalui pelabuhan tikus yang banyak tersebar di wilayah Indonesia antara lain Tembilahan, Riau, dan beredar sampai ke Pulau Jawa melalui jalur darat.

"Kementerian Perdagangan akan melakukan penindakan tegas terhadap setiap pelaku usaha yang mengimpor pakaian bekas yang secara nyata telah dilarang berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas,” kata Veri.

Apabila pelaku usaha menjual pakaian bekas impor, maka pelaku usaha tersebut dapat diduga melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

Pada Pasal 8 ayat (2) UUPK, pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

Sedangkan pada UU Perdagangan, pelaku usaha dapat dikenakan Pasal 35 ayat (1) huruf d, Pasal 36, dan Pasal 47 ayat (1), yang menyebutkan pemerintah menetapkan larangan perdagangan pakaian bekas impor untuk kepentingan nasional dengan alasan melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan dan lingkungan hidup. Selain itu, dalam importasi barang, setiap importir wajib mengimpor barang dalam keadaan baru.

Dengan demikian, pihaknya mengimbau masyarakat sebagai konsumen untuk teliti dan cerdas dalam mengonsumsi produk sandang, terutama terkait aspek kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan (K3L).

Mikroorganisme patogen yang terdapat dalam pakaian bekas dapat menimbulkan berbagai penyakit karena pakaian langsung bersentuhan dengan tubuh dan dipakai oleh konsumen dalam rentang waktu yang cukup lama. Selain itu, pelarangan impor produk pakaian bekas impor bertujuan melindungi industri pakaian jadi dalam negeri.

Veri juga menjelaskan, pada dasarnya konsumen memiliki pilihan untuk mengonsumsi produk pakaian yang baru yang lebih bermutu dengan harga yang lebih terjangkau.

"Untuk itu, kami mengimbau agar konsumen menggunakan produk dalam negeri dalam upaya menjaga harkat dan martabat bangsa," kata Veri.

Sementara itu, Wasekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil mengatakan kegiatan perdagangan pakaian ilegal tersebut dapat merugikan industri tekstil dalam negeri. Meski pakaian ilegal tersebut sangat murah, namun bisa membahayakan bagi kesehatan

"Virusnya banyak, bakterinya banyak dan ini sangat tidak patut dipakai, ini yang menjadikan harusnya tidak ada lagi impor pakaian bekas di mana pun, ini merugikan bangsa kita," kata Rizal.

Baca juga: Yonif Raider Prabu Kian Santang gagalkan penyelundupan pakaian bekas

Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2019