Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyiapkan hujan buatan untuk mengatasi kekeringan karena dampak musim kemarau yang berkepanjangan.
"BNPB sendiri telah mendapatkan beberapa permohonan dari para kepala daerah untuk hujan buatan dan tadi sesuai dengan arahan Bapak Presiden, BNPB untuk menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan bantuan hujan buatan," kata Kepala BNPB Doni Monardo di Kantor Presiden di Jakarta, Senin.
Doni menyampaikan hal itu seusai menghadiri rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo untuk membahas "Antisiapsi Dampak Kekeringan".
Data yang berhasil dikumpulkan BNPB sampai 15 Juli, sudah ada 1.963 desa yang terdampak kekeringan di 556 kecamatan dan 79 kabupaten yang berada di Pulau Jawa, Bali, NTB dan NTT.
"Oleh karenanya, BNPB tentu tidak bisa sendirian, perlu bekerja sama dengan beberapa lembaga, khususnya BMKG, BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dan juga Markas Besar TNI. Adapun daerah yang mungkin masih bisa dilaksanakan teknologi modifikasi cuaca juga tergantung dari keadaan awan sehingga apabila awannya masih tersedia sangat mungkin hujan buatan masih bisa dilakukan," ujar Doni.
Untuk jangka menengah dan panjang, Doni melaporkan kepada Presiden Joko Widodo perlunya penyiapan bibit pohon agar masyarakat bisa menjaga lingkungan dan juga tersedianya sumber air.
"Dari beberapa pengalaman yang ada, jenis pohon tertentu itu memiliki kemampuan menyimpan air, antara lain adalah sukun. Jadi kalau tiap desa punya sukun yang cukup banyak sangat mungkin akar sukun itu bisa mengikat air sehingga ketika musim kemarau panjang sumber air di desa itu masih bisa terjaga, termasuk juga pohon aren," kata Doni.
Sedangkan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Indonesia Eko Putro Sandjojo mengatakan ada potensi kekeringan, terutama di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, sampai September hingga Oktober.
"Saya juga minta bantuan BPPT untuk melakukan kajian. Ada 3,7 juta hektare areal pertanian yang mungkin kena dampak. Itu dampaknya bisa sekitar Rp3 triliun, tapi kalau kita bisa bantu dengan hujan buatan mungkin kita bisa minimalkan kerugiannya, bisa mencegah kerugian Rp2,4 triliun," katanya.
Eko juga berharap akan ada hujan buatan yang bekerja sama dengan BPPT, TNI dan BNPB.
Sedangkan Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan pihaknya dapat membantu untuk pengadaan air dan mengirimkan tangki-tangki atau truk-truk air.
"Tapi yang tadi dibahas ya mitigasinya dulu. Jadi jangan sampai bencananya, misalnya dengan kita dorong hujan buatan dan lain sebagainya. Kalau ada bencana ya SOP kita menangani bencana-bencana sudah jelas yang harus dipastikan adalah ketersediaan logistik, ketersediaan makanan," kata Agus.
Namun hingga saat ini Agus mengaku belum menerima laporan bencana kekeringan.
"Belum, belum ada laporan, itu masih terkendali," ujar dia.
Kepala Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika Dwikorita Karnawati dalam acara yang sama mengatakan prediksi puncak musim kemarau adalah bulan Agustus dan dampaknya berupa kekeringan itu bisa dirasakan sampai September untuk wilayah di sebelah selatan khatulistiwa.
"Namun, berjalannya waktu jadi Oktober, November, Desember bukan berarti sudah selesai, hanya bergerak ke arah utara. Jadi tidak serempak. Cuma yang paling luas itu di bulan Agustus-September, paling luas puncak musim kemaraunya itu di bulan Agustus, mulai dari Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Papua bagian selatan. Itu yang paling luas di bulan Agustus puncak musim kemaraunya. Dampaknya kekeringan itu masih berjalan sampai September untuk wilayah selatan itu," kata Dwikorita.
Kemudian memasuki bulan Oktober daerah selatan itu sudah mulai makin basah, ke arah musim hujan, sedangkan kekeringan berjalan ke arah utara khatulistiwa.
"Itu sampai Desember itu masih ada kekeringan di Kalimantan Utara, masih ada. Jadi tidak seragam," ujar Dwikorita.
Antisipasi yang harus dilakukan, menurut Dwikorita, adalah ketersediaan air di sepanjang Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Timur, sampai Papua.
"Selain itu juga potensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Masih potensi ya, yang kami sampaikan itu sesuatu yang belum terjadi. Meski pun sudah mulai ada yang terjadi. Jadi masih ada potensi karhutla juga masih cukup luas puncaknya, sekarang aja masih ada potensi. Sekarang sudah ada potensi juga, sudah ada yang terbakar, misal Aceh dan Riau," kata dia.
Hingga 2030, Dwikorita memproyeksikan trennya iklim di Indonesia akan semakin hangat.
"Makanya kalau ngomong sekarang kan untuk persiapan 10 tahun lagi untuk program menjadi lebih cukup. Biar bapak ibu menteri biar koordinasi lebih, mumpung ini mau kabinet baru, programnya apa nanti kan dan di saat yang sama potensi hujan ekstrem meningkat hingga 20 persen lho. Jadi semakin kering, tapi curah hujan semakin lebat. karena daerahnya beda-beda, waktunya beda-beda," kata Dwikorita.
Baca juga: Seribuan hektare sawah di Ciamis terancam puso
Baca juga: BNPB: Sejumlah wilayah di tiga provinsi mulai alami kekeringan
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2019
"BNPB sendiri telah mendapatkan beberapa permohonan dari para kepala daerah untuk hujan buatan dan tadi sesuai dengan arahan Bapak Presiden, BNPB untuk menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan bantuan hujan buatan," kata Kepala BNPB Doni Monardo di Kantor Presiden di Jakarta, Senin.
Doni menyampaikan hal itu seusai menghadiri rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo untuk membahas "Antisiapsi Dampak Kekeringan".
Data yang berhasil dikumpulkan BNPB sampai 15 Juli, sudah ada 1.963 desa yang terdampak kekeringan di 556 kecamatan dan 79 kabupaten yang berada di Pulau Jawa, Bali, NTB dan NTT.
"Oleh karenanya, BNPB tentu tidak bisa sendirian, perlu bekerja sama dengan beberapa lembaga, khususnya BMKG, BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dan juga Markas Besar TNI. Adapun daerah yang mungkin masih bisa dilaksanakan teknologi modifikasi cuaca juga tergantung dari keadaan awan sehingga apabila awannya masih tersedia sangat mungkin hujan buatan masih bisa dilakukan," ujar Doni.
Untuk jangka menengah dan panjang, Doni melaporkan kepada Presiden Joko Widodo perlunya penyiapan bibit pohon agar masyarakat bisa menjaga lingkungan dan juga tersedianya sumber air.
"Dari beberapa pengalaman yang ada, jenis pohon tertentu itu memiliki kemampuan menyimpan air, antara lain adalah sukun. Jadi kalau tiap desa punya sukun yang cukup banyak sangat mungkin akar sukun itu bisa mengikat air sehingga ketika musim kemarau panjang sumber air di desa itu masih bisa terjaga, termasuk juga pohon aren," kata Doni.
Sedangkan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Indonesia Eko Putro Sandjojo mengatakan ada potensi kekeringan, terutama di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, sampai September hingga Oktober.
"Saya juga minta bantuan BPPT untuk melakukan kajian. Ada 3,7 juta hektare areal pertanian yang mungkin kena dampak. Itu dampaknya bisa sekitar Rp3 triliun, tapi kalau kita bisa bantu dengan hujan buatan mungkin kita bisa minimalkan kerugiannya, bisa mencegah kerugian Rp2,4 triliun," katanya.
Eko juga berharap akan ada hujan buatan yang bekerja sama dengan BPPT, TNI dan BNPB.
Sedangkan Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan pihaknya dapat membantu untuk pengadaan air dan mengirimkan tangki-tangki atau truk-truk air.
"Tapi yang tadi dibahas ya mitigasinya dulu. Jadi jangan sampai bencananya, misalnya dengan kita dorong hujan buatan dan lain sebagainya. Kalau ada bencana ya SOP kita menangani bencana-bencana sudah jelas yang harus dipastikan adalah ketersediaan logistik, ketersediaan makanan," kata Agus.
Namun hingga saat ini Agus mengaku belum menerima laporan bencana kekeringan.
"Belum, belum ada laporan, itu masih terkendali," ujar dia.
Kepala Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika Dwikorita Karnawati dalam acara yang sama mengatakan prediksi puncak musim kemarau adalah bulan Agustus dan dampaknya berupa kekeringan itu bisa dirasakan sampai September untuk wilayah di sebelah selatan khatulistiwa.
"Namun, berjalannya waktu jadi Oktober, November, Desember bukan berarti sudah selesai, hanya bergerak ke arah utara. Jadi tidak serempak. Cuma yang paling luas itu di bulan Agustus-September, paling luas puncak musim kemaraunya itu di bulan Agustus, mulai dari Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Papua bagian selatan. Itu yang paling luas di bulan Agustus puncak musim kemaraunya. Dampaknya kekeringan itu masih berjalan sampai September untuk wilayah selatan itu," kata Dwikorita.
Kemudian memasuki bulan Oktober daerah selatan itu sudah mulai makin basah, ke arah musim hujan, sedangkan kekeringan berjalan ke arah utara khatulistiwa.
"Itu sampai Desember itu masih ada kekeringan di Kalimantan Utara, masih ada. Jadi tidak seragam," ujar Dwikorita.
Antisipasi yang harus dilakukan, menurut Dwikorita, adalah ketersediaan air di sepanjang Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Timur, sampai Papua.
"Selain itu juga potensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Masih potensi ya, yang kami sampaikan itu sesuatu yang belum terjadi. Meski pun sudah mulai ada yang terjadi. Jadi masih ada potensi karhutla juga masih cukup luas puncaknya, sekarang aja masih ada potensi. Sekarang sudah ada potensi juga, sudah ada yang terbakar, misal Aceh dan Riau," kata dia.
Hingga 2030, Dwikorita memproyeksikan trennya iklim di Indonesia akan semakin hangat.
"Makanya kalau ngomong sekarang kan untuk persiapan 10 tahun lagi untuk program menjadi lebih cukup. Biar bapak ibu menteri biar koordinasi lebih, mumpung ini mau kabinet baru, programnya apa nanti kan dan di saat yang sama potensi hujan ekstrem meningkat hingga 20 persen lho. Jadi semakin kering, tapi curah hujan semakin lebat. karena daerahnya beda-beda, waktunya beda-beda," kata Dwikorita.
Baca juga: Seribuan hektare sawah di Ciamis terancam puso
Baca juga: BNPB: Sejumlah wilayah di tiga provinsi mulai alami kekeringan
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2019