Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Jawa Barat Atalia Praratya Kamil menyatakan bahwa stunting pada anak dapat mengakibatkan kemampuan kognitif tidak berkembang maksimal sehingga stunting dapat menjadi faktor rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) karena berpengaruh terhadap produktivitas.
Menurut Atalia, perilaku dan kesadaran hidup bersih dan sehat masyarakat Indonesia perlu ditingkatkan sejak dini. Karena untuk mencegah stunting, perilaku hidup bersih dan sehat harus sudah terbentuk pada periode emas, yakni 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
"Pencegahan dan penanggulangan stunting sangat penting. 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) merupakan periode sensitif yang menentukan kualitas hidup di masa yang akan datang. Di mana akibat yang ditimbulkan terhadap bayi pada masa ini akan bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi," katanya saat menjadi pembicara pada Lokakarya Penguatan Posyandu dengan Pemberdayaan Masyarakat dalam Rangka Pencegahan Stunting di Marbella Suites Hotel, di Bandung, kemarin.
"Saat ini, kita memprioritaskan 1.000 HPK sebagai periode utama untuk pencegahan stunting. Namun, karena stunting merupakan hasil dari permasalahan gizi secara kronis, idealnya, pencegahan stunting seharusnya dimulai lebih awal lagi, lebih ke hulu yaitu pada masa remaja," lanjutnya.
Atalia menambahkan, status gizi masyarakat yang baik merupakan fondasi pendidikan, kesehatan, dan pertumbuhan ekonomi. Karena itu, pendidikan kesehatan dan perubahan perilaku pada remaja menjadi kunci keberhasilan dalam mempersiapkan generasi bebas stunting.
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI, Kirana Pritasari mengatakan bahwa stunting menjadi salah satu fokus dari Sustainable Development Goals (SDGs) no.2, yaitu mengakhiri segala bentuk malnutrisi termasuk stunting pada tahun 2030.
"Sejalan dengan prioritas global tersebut, salah satu prioritas pembangunan kesehatan dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Nasional) tahun 2015-2019, adalah perbaikan gizi, khususnya menurunkan prevalensi stunting yang dalam Program Indonesia Sehat dijalankan melalui Gerakan Masyarakat Hidup Sehat atau Germas dan Pendekatan Keluarga," katanya.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan RI tahun 2018 memperlihatkan proporsi stunting pada balita menurun 7 persen dibandingkan tahun 2013, yaitu 37,2 persen pada tahun 2013 menjadi 30,7 persen pada tahun 2018. Penelitian yang sama juga menunjukkan bahwa proporsi stunting pada bayi umur dua tahun (baduta) adalah 29,9 persen.
"Tentu hal ini hasil yang cukup menggembirakan, namun kita jangan lengah, karena angka tersebut belum-lah memuaskan karena belum mencapai target RPMN ke III yang pada tahun 2019 memasuki tahun terakhir pelaksanaannya," ucapnya.
"Kita juga perlu mencermati kembali, apakah kegiatan-kegiatan yang selama ini sudah dilakukan bidang kesehatan betul-betul efektif dalam mendorong capaian program prioritas nasional," lanjutnya.
Tujuan dari kegiatan tersebut adalah untuk meningkatkan kapasitas kader dan Pembina di desa, sehingga kader mampu berperan sebagai penggerak masyarakat, penyuluh, dan pencatat sederhana dalam upaya pencegahan stunting.
Hal tersebut diharapkan akan berdampak pada peningkatan pelayanan kesehatan dasar di Posyandu dan penggerakan masyarakat untuk pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan. Nantinya, dalam lokakarya itu, akan menghasilkan 216 fasilitator (khusus regional tengah), dan petugas Promosi Kesehatan Puskesmas, kader, dan aparatur desa, yang ditingkatkan kemampuannya sebanyak 13.400 orang di 420 desa.
Baca juga: Ciptakan ketahanan keluarga Pemprov Jabar dukung Program 1821
Baca juga: Atalia Kamil siap kawal kasus anak disabilitas korban pelecehan seksual ASN Dinsos
Baca juga: PKK Jabar: konsumsi ikan di Jawa Barat harus ditingkatkan
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2019
Menurut Atalia, perilaku dan kesadaran hidup bersih dan sehat masyarakat Indonesia perlu ditingkatkan sejak dini. Karena untuk mencegah stunting, perilaku hidup bersih dan sehat harus sudah terbentuk pada periode emas, yakni 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
"Pencegahan dan penanggulangan stunting sangat penting. 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) merupakan periode sensitif yang menentukan kualitas hidup di masa yang akan datang. Di mana akibat yang ditimbulkan terhadap bayi pada masa ini akan bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi," katanya saat menjadi pembicara pada Lokakarya Penguatan Posyandu dengan Pemberdayaan Masyarakat dalam Rangka Pencegahan Stunting di Marbella Suites Hotel, di Bandung, kemarin.
"Saat ini, kita memprioritaskan 1.000 HPK sebagai periode utama untuk pencegahan stunting. Namun, karena stunting merupakan hasil dari permasalahan gizi secara kronis, idealnya, pencegahan stunting seharusnya dimulai lebih awal lagi, lebih ke hulu yaitu pada masa remaja," lanjutnya.
Atalia menambahkan, status gizi masyarakat yang baik merupakan fondasi pendidikan, kesehatan, dan pertumbuhan ekonomi. Karena itu, pendidikan kesehatan dan perubahan perilaku pada remaja menjadi kunci keberhasilan dalam mempersiapkan generasi bebas stunting.
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI, Kirana Pritasari mengatakan bahwa stunting menjadi salah satu fokus dari Sustainable Development Goals (SDGs) no.2, yaitu mengakhiri segala bentuk malnutrisi termasuk stunting pada tahun 2030.
"Sejalan dengan prioritas global tersebut, salah satu prioritas pembangunan kesehatan dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Nasional) tahun 2015-2019, adalah perbaikan gizi, khususnya menurunkan prevalensi stunting yang dalam Program Indonesia Sehat dijalankan melalui Gerakan Masyarakat Hidup Sehat atau Germas dan Pendekatan Keluarga," katanya.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan RI tahun 2018 memperlihatkan proporsi stunting pada balita menurun 7 persen dibandingkan tahun 2013, yaitu 37,2 persen pada tahun 2013 menjadi 30,7 persen pada tahun 2018. Penelitian yang sama juga menunjukkan bahwa proporsi stunting pada bayi umur dua tahun (baduta) adalah 29,9 persen.
"Tentu hal ini hasil yang cukup menggembirakan, namun kita jangan lengah, karena angka tersebut belum-lah memuaskan karena belum mencapai target RPMN ke III yang pada tahun 2019 memasuki tahun terakhir pelaksanaannya," ucapnya.
"Kita juga perlu mencermati kembali, apakah kegiatan-kegiatan yang selama ini sudah dilakukan bidang kesehatan betul-betul efektif dalam mendorong capaian program prioritas nasional," lanjutnya.
Tujuan dari kegiatan tersebut adalah untuk meningkatkan kapasitas kader dan Pembina di desa, sehingga kader mampu berperan sebagai penggerak masyarakat, penyuluh, dan pencatat sederhana dalam upaya pencegahan stunting.
Hal tersebut diharapkan akan berdampak pada peningkatan pelayanan kesehatan dasar di Posyandu dan penggerakan masyarakat untuk pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan. Nantinya, dalam lokakarya itu, akan menghasilkan 216 fasilitator (khusus regional tengah), dan petugas Promosi Kesehatan Puskesmas, kader, dan aparatur desa, yang ditingkatkan kemampuannya sebanyak 13.400 orang di 420 desa.
Baca juga: Ciptakan ketahanan keluarga Pemprov Jabar dukung Program 1821
Baca juga: Atalia Kamil siap kawal kasus anak disabilitas korban pelecehan seksual ASN Dinsos
Baca juga: PKK Jabar: konsumsi ikan di Jawa Barat harus ditingkatkan
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2019