Bukan hanya di luar negeri, Trump juga memerangi semua yang dianggapnya musuh di dalam negeri.
Di bawah sentimen itu dan memakai baju efisiensi, Trump mengamputasi birokrasi, persis seperti dianjurkan kapitalis-kapitalis kakap seperti disinggung Naomi Klein dalam "The Schock Doctrine; The Rise of Disaster Capitalism".
Kerja birokrasi dalam bayangan Trump melulu sebagai beban, bukan sebagai investasi sosial.
Pandangan itu pula yang membuatnya mengamini pembantunya yang sama narsistis dengannya, Elon Musk, untuk membubarkan USAID ketika saat bersamaan dia terus memojokkan China yang pengaruhnya sudah mencapai di pelataran depan AS di Amerika Tengah dan Amerika Selatan.
Padahal USAID adalah salah satu kendaraan yang bisa membuat dunia berpihak kepada AS.
Banyak negara yang menjadi mitra USAID kini beralih ke China, yang belakangan ini aktif mengisi peran yang ditinggalkan AS dalam organisasi-organisasi global seperti WHO setelah Trump membekukan bantuan AS untuk sebagai besar badan-badan dunia.
Akibatnya, doktrin "America First" yang dipromosikan Trump malah memperlemah posisi AS sebagai pemimpin global, seperti disebut sejarawan John Delury dari Yonsei University di Seoul, kepada BBC belum lama ini.
Delury menyatakan gabungan tarif terhadap mitra-mitra dagang AS dan pembekuan bantuan luar negeri AS telah mengirimkan pesan kepada negara-negara Selatan (negara-negara berkembang) dan OECD (negara-negara maju) bahwa AS tak tertarik pada kemitraan dan kolaborasi internasional.
China sendiri mencermati semua ini dengan hati-hati. Mereka tetap tenang meski Trump melancarkan perang dagang karena tahu pasti hubungan dagang China-AS tak seperti era sebelum 2020.
Setelah 2020, China memperkuat perdagangannya di Afrika, Amerika Selatan dan Asia Tenggara. Alhasil, sudah lebih dari 120 negara menjadi mitra dagang China, ketika mitra dagang AS terus menyusut.
Modal ini membuat China tahu AS adalah justru pihak yang paling dirugikan oleh perang dagang. Bukti termutakhir yang memperkuat pandangan ini adalah manuver tarif Trump terhadap Meksiko dan Kanada yang malah menjadi bumerang bagi AS.
Tak lama setelah Trump menaikkan bea masuk kepada Kanada dan Meksiko, para pengusaha AS mengeluh karena membayangkan potensi kerugian usaha mereka yang memang banyak membangun bisnis di dua negara itu.
Langkah itu juga mengguncang pasar ekuitas AS, yang sentimennya sudah tentu buruk bagi ekonomi AS, walau dalam jangka pendek.
Akibatnya, aturan tarif terhadap kedua negara itu pun dicabut, sampai para pengamat politik di AS menyindir Trump telah kalah sebelum bertanding.
Selain dianggap tak memiliki rencana jangka panjang, Trump agaknya juga membayangkan AS masih dalam era ketika negara ini masih menerapkan doktrin isolasionis yang pada 1917 diakhiri Presiden Woodrow Wilson dengan menyatakan AS akhirnya melibatkan diri dalam Perang Dunia I.
Padahal dunia saat ini berbeda. Kini, mustahil AS bertindak sendirian dan isolasionis.
Sebaliknya, penolakan terhadap kecenderungan zaman yang meniscayakan kolaborasi bisa membawa AS ke kemunduran dan bahkan mengalami pembusukan dari dalam, seperti terjadi pada imperium-imperium besar dunia sebelum zaman ini.