Antarajawabarat.com,12/10 - Guru Besar Ilmu Komunikasi Politik dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof Karim Suryadi mengatakan perubahan mekanisme pilkada dari pemilihan langsung menjadi dipilih oleh legislatif dinilai tidak bisa mencegah atau memutus "dinasti politik" di sebuah wilayah.
"Malah, pilkada dipilih oleh legislatif atau DPRD dengan tujuan untuk memutuskan tradisi politik dinasti, pilkada oleh dewan dinilai akan menyuburkan bentuk-bentuk baru nepotisme," kata Prof Karim Suryadi, ketika dihubungi melalui telepon oleh wartawan, Jumat.
Ia menggambar sebuah "dinasti politik ke dalam anatomi tubuh, dimana gen politik dinasti dan berbagai bentuk nepotisme itu orangnya, politisinya, cara pemilihannya adalah DNA.
"Sementara itu budaya organisasi partai politik dan budaya politik masyarakat adalah enzimnya. Bila gennya, niat berkuasa dengan berbagai cara tak dikendalikan, organ-organ nepotic tak kan hilang," kata dia.
Dikatakannya, mengubah pilkada langsung menjadi dipilih oleh wakil rakyat jika ditinjau dari sisi partisipasi politik merupakan langkah mundur.
"Jadi kalau menurut saya, langkah yang paling elegan untuk mengendalikan dinasti politik adalah dengan memastikan mekanisme pilkada di mana takkan ada incumbent yang menguntungkan calon manapun," katanya.
Selain itu, lanjut dia, dorong demokratisasi internal partai politik dan membangun kemelekwacaan politik warga serta melarang seseorang mencalonkan diri dari sisi demokrasi sama dosanya dengan memaksa orang untuk mencalonkan diri adalah cara elegan lainnya untuk memutus "dinasti politik".
Ia menuturkan, usulan pemerintah yang ingin merubah pilkada langsung sebagai jalan untuk mengakhiri "dinasti politik" daerah dengan alasan pilkada langsung hanya mengandalkan popularitas calon dan pemilih terjebak oleh pesona calon populer, sekilas nampak benar.
"Akan tetapi, itu sebetulnya hanya paradoksal. Harus diingat tak semua kebajikan demokratis harus terbaca dalam undang-undang. Lebih-lebih jabatan publik seperti kepala daerah harus peka terhadap dimensi etis, sebab masyarakat memiliki standar kepatutan, kepantasan dan kelayakan sebagai esensi cita hukum dan keadilannya," katanya.
Oleh karena itu, lanjut Karim, kalaupun diadakan sebuah regulasi yang membatasi politik dinasti, paling hanya sebatas pengaturan mekanisme untuk menjamin kesamaan kesempatan setiap calon dan mendorong kompetisi yang sehat antar calon.
"Dan di sebagian daerah, keluarga penguasa merupakan aset parpol, dan hal mustahil melarang parpol dan politisinya memaksimalkan modal politik yang mereka punya," katanya.
Menurutnya, harus ada kesadaran untuk menggeser pilkada dari paradigma kalah-menang kearah maksimalisasi manfaat bagi warga dan pembangunan politik demokratis yang dapat mengerem kecenderungan politik dinasti di pusat dan daerah.***1***
Ajat S