ANTARAJAWABARAT.com,5/4 - Negara di kawasan Asia Tenggara harus meninjau kembali peraturan perundang-undangan mereka untuk disesuaikan dengan konvensi PBB tahun 1982 tentang Hukum Laut (UNCLOS) agar bisa memberantas pembajakan secara efektif, kata Direktur PKHI Universitas Nasional Singapura Robert Beckman
Direktur Pusat Kajian Hukum Internasional Universitas Nasional Singapura Robert Beckman mengatakan negara-negara Asia Tenggara juga sebaiknya meratifikasi konvensi tahun 1988 tentang tindakan melawan keselamatan pelayaran atau "Supression of Unlawful Acts against the Safety of Navigation Maritime:SUA" dan konvensi tahun 1979 tentang sandera, katanya.
Berbicara pada seminar internasional "Perkembangan Terkini Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1982 tentang Hukum Laut (UNCLOS)" di Univesitas Padjadjaran, Bandung, Kamis, ia mengatakan
konvesi 1988 tentang SUA dan konvensi 1979 tentang sandera tidak bisa menyediakan sarana yang efektif untuk melawan penyerangan kapal di perairan Asia Tenggara karena semua negara di kawasan ini belum meratifikasinya.
Filipina, menurut Beckman, sebenarnya telah meratifikasi konvensi tahun 1988 tentang SUA tetapi sampai saat ini belum mengadopsi aturan tersebut dalam peraturan perundang-undangannya.
Ratifikasi konvensi SUA memungkinkan negara-negara di Asia Tenggara untuk memperlakukan pembajakan sebagai kejahatan universal di antara negara-negara peserta.
Negara peserta bisa menahan suatu kapal yang melancarkan bahaya bagi keselamatan pelayaran di wilayahnya. Negara peserta juga bisa menyelenggarakan pengadilan bagi para pelaku kejahatan di perairan wilayah mereka meski pelaku tersebut berasal dari negara lain atau mengekstradisi pelaku kejahatan tersebut ke negara asalnya.
Beckman mencontohkan peristiwa pembajakan kapal ASTA pada 5 Februari 2010 sebagai salah satu akibat negatif dari tidak diratifikasinya konvensi tersebut oleh negara-negara Asia Tenggara.
ASTA adalah kapal berbendera Singapura yang berlayar dari Singapura menuju Kamboja ketika dibajak oleh tujuh warga Indonesia di wilayah perairan Malaysia.
Para awak kapal tersebut kemudian diturunkan ke laut dengan menggunakan sekoci penyelamat oleh para pembajak pada 10 Februari 2010 dan diselamatkan oleh angkatan laut Malaysia pada 17 Februari 2010.
Para pembajak yang telah mengecat ulang dan mengubah nama kapal kemudian tertangkap oleh penjaga perbatasan Filipina di perairan selatan Filipina. Namun, para pembajak asal Indonesia itu hanya bisa dikenai dakwaan imigrasi oleh otoritas Filipina karena Filipina belum mengadopsi konvensi SUA tahun 1988 dalam legislasi mereka.
"Jika semua negara telah mengimplementasikan konvensi itu dalam legislasi nasional mereka, maka Filipina bisa menggelar pengadilan di negaranya untuk mendakwa para pelaku sebagai pembajak, atau mengekstradisi mereka ke negara pemilik kapal yaitu Singapura, atau ke wilayah terjadinya kejahatan yaitu Malaysia, atau mengembalikannya ke negara asal mereka yaitu Indonesia," tutur Beckman.
Tiadanya perjanjian ekstradisi di antara negara-negara Asia Tenggara, menurut Beckman, juga menjadi salah satu kendala pemberantasan pembajakan di kawasan tersebut. ***1***
Diah
NEGARA HARUS ADOPSI UNCLOS UNTUK BERANTAS PEMBAJAKAN
Kamis, 5 April 2012 14:51 WIB