Determinan lainnya ialah karakteristik sosio-ekonomi korban di Indonesia. Serta terdapat juga kondisi penegakan hukum dan politik yang cenderung koruptif, sehingga dari sisi individu pelaku dan korporasi akan menjadikan kondisi tersebut sebagai jalan yang menetralisir serta “melegitimasi” perilaku menyimpang mereka.
Kasus FT
Diketahui bahwa idealnya FT memberangkatkan jamaah dengan biaya sebesar 17.000.000, dan untuk menutup kekurangan memberangkatkan jamaah umrah promo diambil dari uang jamaah promo yang telah membayar lunas tahun berikutnya. Kemudian apabila FT tidak bisa memberangkatkan jamaah umrah promo dengan uang yang dibayarkan atau disetorkan ke rekening FT, maka FT menggunakan uang jamaah umrah promo yang telah dibayarkan tahun berikutnya.
Baca juga: Jaksa Agung : Putusan kasasi soal First Travel tidak sesuai dengan tuntutan Jaksa
Kasus Koperasi MP
Kasus bermula saat Koperasi MP menipu ribuan nasabahnya yang berinvestasi. Para korban dijanjikan keuntungan di atas 10 perssn terhadap para nasabah, dari mulai level anggota hingga tingkatan Leader, Gold, dan Diamond. Setiap Leader dijanjikan keuntungan sebesar 20 persen dari investasi nasabah, namun harus berinvestasi awal sebesar Rp500.000.000 – Rp2.000.000.000.
Setiap modal yang disimpan akan mendapatkan keuntungan sebesar 10 persen dari uang yang disetorkan dan simpanan tidak hilang dan bila jatuh tempo modal dikembalikan.
Namun, yang terjadi para korban hanya sebagian yang diberikan keuntungan dan setelah jatuh tempo para korban tidak dapat menarik dana simpanannya.
Baik kasus FT dan Koperasi MP telah memenuhi 6 aspek criminaloid yaitu pertama tidak ditemukan karakteristik fisik dan psikologis tertentu seperti egoisme yang tinggi, kedua para pelakunya telah menerapkan teknik netralisasi yaitu denial of responsibility, denial of injury, denial of victim, condemn the condemners, appeal to higher loyalties, dan denial of responsibility.
Kompol Supriyanto raih gelar doktor kriminolog UI predikat Cumlaude
Kamis, 6 Januari 2022 5:46 WIB