Jakarta (ANTARA) - Kepala Departemen Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM) Abdul Ghafar Karim menceritakan kesukaan Bung Karno terhadap kuliner nusantara dan juga cara presiden pertama RI itu berpolitik dengan kuliner.
Abdul Ghafar Karim dalam program ‘Talkshow & Musik’ BKNP PDIP dengan tema besar ‘Bung Karno Series’ di Jakarta, Selasa, menyebut bahwa selera kuliner Bung Karno sangat simpel, terutama yang ada akarnya di Indonesia.
“Bung Karno menikmati sekali saat di luar negeri disuguhkan ikan-ikan kecil macam wader di Indonesia,” kata Ghafar.
Meskipun simpel, katanya. namun Bung Karno merupakan seniman dan mencintai serta begitu teliti soal kuliner. Bung Karno, katanya, misalnya pada usia senja, tampak fit karena biasa sarapan roti lebar dengan madu.
Selain itu, kesan Bung Karno sebagai seniman yang mencintai keindahan juga berlaku saat makan sayur lodeh, yang minta secara khusus agar nasinya tidak panas, tapi justru dihangatkan dari kuah lodehnya.
“Jadi, ketika disiramkan ke nasi, rasanya pas. Sebaliknya, kalau nasinya hangat, lodehnya dingin, akan menurunkan suhu yang justru diserap sayurnya. Prinsipnya, nasinya dihangatkan oleh sayur. Ini tak terbayangkan oleh banyak orang,” katanya.
Hal lainnya, lanjutnya, Bung Karno tak suka sayurnya diberi garam. Beliau ingin menggarami makanannya di setiap suapan.
Bung Karno menentukan sendiri karakter di setiap suapan. Tak asal kenyang, Bung Karno menjadikan makanan sebagai caranya untuk mengekspresikan keindahan.
Eksplisit, Ghafar menjelaskan, dalam otobiografinya Bung Karno memiliki kebiasaan makan pakai tangan. Termasuk, katanya, saat kerap mengundang Duta Besar Amerika Serikat ke Istana Bogor untuk makan nasi goreng ayam bersama.
“Beliau sangat ingin membanggakan apa yang Indonesia miliki, salah satunya cara makan dengan menggunakan tangan,” kata Ghafar.
Kepedulian Bung Karno pada kuliner juga ditunjukkan dengan penghargaan yang diberikan negara pada Mbah Wiryo, seorang juru masak Istana yang setia mengikuti perjuangan pemerintahan Indonesia.
Perempuan kelahiran Sleman, 1903, itu mengabdi sejak di Gedung Agung, Yogya hingga diboyong ke Istana Jakarta dan mendapat penghargaan ‘Satya Lencana Wira Karya’.
“Mbah Wiryo dianggap berjasa karena memastikan kesehatan pemimpin bangsa baik-baik saja, termasuk saat pemerintahan berada dalam pengasingan,” ucapnya.
Kemudian, kepedulian Bung Karno terhadap kuliner juga ditunjukkan lewat salah satu proyek prestisius Bung Karno terkait "Gastro Diplomasi" yakni terbitnya buku "Mustika Rasa: Resep Masakan Indonesia Warisan Sukarno" pada 1967.
Hal itu lanjut dia sebagai sebuah perintah Bung Karno untuk mengumpulkan tradisi kuliner nusantara yang bisa dibanggakan sebagai makanan khas Indonesia. Buku "Mustika Rasa" dibuat dengan riset serius, bukan hanya soal citarasa, tapi juga dilengkapi dengan informasi nilai kalori kesehatan.
“Andai saja proyek Mustika Rasa itu berhasil, maka Indonesia akan berhasil sebagai pendekar kuliner di Asia dan dunia, yang sayangnya kini posisi itu diambil Thailand. Bung Karno punya cita-cita agar masakan asal Indonesia berdiri sama tinggi dengan hidangan Eropa,” ucapnya.
Sementara itu dari sisi nasionalisme dan berpolitik, Bung Karno dikenal sebagai sosok pemimpin yang ingin mengambil hati rakyatnya di semua daerah, sehingga ia akan selalu mencintai dan dicintai rakyatnya.
Oleh karena itu, setiap Bung Karno bertemu dari orang berbagai daerah, beliau akan mengatakan bahwa dirinya mencintai kuliner daerah tersebut.
“Kepada perempuan Sunda, Bung Karno bilang suka sayur lodeh, kepada perempuan Jawa Timur menyatakan suka pecel.Tak heran, setiap orang akan mengklaim bahwa makanan kesukaan Bung Karno adalah makanan dari daerah mereka,” kata dia lagi.
Kuliner juga menjadi salah satu alat politik diplomasi Bung Karno, termasuk saat tengah ‘menyerang’ negara lain. Suatu waktu kata Abdul Ghafar, Bung Karno mengundang seorang duta besar negara lain yang baru saja datang ke Indonesia.
Bung Karno menyuguhkan durian sebagai simbol bahwa Indonesia juga tidak menyukai dubes itu sebagai respresentasi negaranya, hal itu guna menunjukkan ketidaksukaan pada negara asal sang diplomat.
Baca juga: Lima teladan Bung Karno yang patut ditiru, menurut Ketum Muhammadiyah
Baca juga: Artikel - Bung Karno 'tidak pernah mati'
Baca juga: Banyak orang belum tahu Bung Karno lahir di Surabaya, bukan Blitar