Oleh Miqdad Husein *)
Saat takbir bergema, mereka yang menjalani puasa akan merasakan getaran menakjubkan tentang perjalanan dan makna kehidupan (bergetarlah hatinya bila disebut asma Allah).
Lalu, diam-diam rentetan perjalanan hidup yang telah dilalui berbaris silih berganti mengisi relung-relung kesunyian dan keharuan.
Mudik sosial melalui perjalanan fisik, berganti menjadi mudik spiritual: kembali pulang menuju kesegaran kemanusiaan.
Di tengah gema takbir itu, kita ingat masa-masa indah ketika masih anak-anak, saat bercengkerama dengan sahabat-sahabat. Saat sekolah, saat bermain, saat tak ada setitik dengki dan iri. Saat tangis dan tawa, hanya berbatas sekelebatan cahaya.
Diam-diam, bayang-bayang orang terdekat yang telah lebih dahulu menghadap sang Pencipta, juga tampak. Ibu, bapak, saudara, kerabat, teman, yang pernah bersentuhan dan kini telah pergi meninggalkan alam fana ini, seperti mengaduk-aduk perasaan kita. Menampakkan memori indah. Ya, memori indah karena biasanya, kita tak pernah lagi mau mengingat kenangan pahit orang-orang yang telah menghadap sang Pencipta.
Jika ibu, bapak, saudara, atau kerabat telah pergi, yang kita kenang, hanya sikap manis dan rasa sayang mereka, terutama para orang tua, yang baru kita sadari telah berbuat begitu banyak untuk kepentingan kita. Kadang juga mengemuka, rasa bersalah, mengingat kebengalan kita, saat masih bersama orang tua.
Kekuatan asma Allah, yang bergema bergelombang membelah jagad semesta ini, bagi mereka yang telah tercerahkan puasa Ramadhan, memiliki kekuatan pengaruh yang dapat membangkitkan kesejatian hidup kita, melalui paparan-paparan perjalanan hidup yang telah berlalu.
Mungkin kita trenyuh, terharu, sedih. Tapi bukan itu intinya.
Yang menjadi inti sebenarnya adalah kesegaran kemanusiaan. Ketika kita tiba-tiba hadir dalam sosok asli sebagai manusia; makhluk Allah yang mulia, yang selalu memiliki ikatan rohani dengan sesama manusia.
Inilah sebenarnya goresan yang selalu diharapkan dari setiap ibadah shaum: kesegaran kemanusiaan. Sosok bernama manusia itu, tidak dinilai angka-angka tetapi diakui keberadaannya atas dasar hubungan kemanusian, yang saling membutuhkan kehangatan. Yang tak lelap dalam lautan ego kepentingan pribadi.
Dunia indah itu, pernah terasa ketika manusia masih kanak-kanak: lugu, polos, yang tak pernah meretas batas hubungan antarmanusia.
Sebuah dunia indah, yang pelan terkontaminasi hiruk pikuk kehidupan, persaingan keras, yang kadang membuat kita kehilangan jati diri sebagai manusia.
Melalui puasa Ramadhan, yang ditutup takbir asma Allah, kita disegarkan dengan memori dan kenangan indah masa lalu.
Ya, kita pulang secara spiritual, agar saat kembali dalam kehidupan nyata, ada sesuatu yang baru, yang diharapkan tak membuat kita menjadi sekadar manusia yang kembali mengukur segala sesuatu hanya lewat angka-angka.
Bahwa nilai hidup manusia, subtansinya pada rohani, jiwa, yang bila tak dikotori kepentingan materi, selalu saling bertautan, hidup bersama saling memberi.
Ya, kita pada dasarnya memang selalu tergerak saling membantu dan menolong. Kita pada dasarnya makhluk yang tak akan pernah membiarkan orang lain menderita. Jika hanya ada sepiring, kita akan memilih menikmati sepiring berdua, dan bukan kita kangkangi sendiri dalam kerakusan tak terpuaskan.
Semua watak dasar indah itu, terkikis perjalanan pertarungan di tengah masyarakat hingga membuat mata hati, pikiran, empati, peduli seperti lenyap tanpa bekas. Kita tak lagi hadir dalam sosok makhluk paling mulia. Watak dasar indah sudah terkikis, tanpa sadar kita tak berbeda dengan makhluk Allah yang tak pernah mengedepankan akal dan nurani.
Ramadhan inilah, yang dijadikan Allah sebagai instrumen penyegar nilai kemanusiaan. Mengembalikan manusia pada proporsinya, pada status aslinya sebagai makhluk Allah, yang paling mulia.
ā€¯Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya; kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya". (At Tiin).
Ya, amal soleh. Buah dari ekspresi peduli, empati, sikap dasar manusia, yang selalu saling tolong menolong. Sikap itulah yang diharapkan bangkit dari puasa yang kita laksanakan.
Ramadhan, takbir, tahlil dan tahmid, diakhir Ramadhan seperti stimulus yang diharapkan mengembalikan kita, pada kesucian lahir dan batin (fitri), kesegaran kemanusiaan. Allahu Akbar Walillahilham. *
*) cendekiawan di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
STIMULUS IDUL FITRI
Selasa, 7 September 2010 10:17 WIB