Oleh Fazar Muhardi *)
Di tengah semak belukar dan perkebunan sawit di Kelurahan Lubuk Gaung, Kecamatan Sungai Sembilan, Kota Dumai, Riau, tampak sebuah rumah mungil bewarna hijau muda beratapkan seng yang mulai berkarat.
Dari rumah yang berada jauh dari pusat keramaian itu, keluar sesosok wanita tua mengenakan rok bermotif bunga-bunga, berbaju coklat dengan gambar tunas kelapa, mirip lambang gerakan pramukan di saku sebelah kirinya.
Wanita itu selalu sibuk dengan aktivitas yang tidak menentu. Terkadang ia berjalan ke arah selatan menuju semak belukar yang berada di belakang rumah. Terkadang ia juga bergerak ke arah barat, menuju berkebunan sawit yang dahannya melintang ke segala arah. Perkebunan sawit itu berada tepat di depan dan samping kiri huniannya.
Namun, keberadaan kebun sawit itu tidak berarti apa-apa baginya. Ia hanya sekedar melenggangkan kakinya untuk kemudian kembali duduk termenung di bangku yang terpaku di depan huniannya.
Wanita itu bernama Sugiem. Usianya sekitar 79 tahun. Sejak tujuh tahun silam, wanita renta yang akrab disapa Mbah Giem oleh kebanyakan warga sekitar ini, tinggal sebatang kara.
"Nggak ada siapa-siapa selain dia sendiri di rumahnya. Mbah Giem hanya sebatang kara," kata Santy, seorang wanita 45 tahun tetangga Mbah Giem.
Penampilan Mbah Giem terlihat kusam. Wajahnya yang penuh kerut, tertutup dengan rambut putihnya yang terjulur ke depan dan acak-acakan. Posisi badannya ditegakkan dan selalu awas melihat pintu ruang tamu. Walau dengan pandangan yang kosong.
"Sudah sejak seminggu lalu dia seperti itu, tapi tamu yang ditunggu-tunggunya tak kunjung datang," kata Sukardi, pria 49 tahun, ketua rukun tetangga di wilayah hunian Mbah Giem.
"Ketika diberitahu Ramadhan sudah berjalan 14 hari, setiap pagi dia semakin terlihat lesu berjalan ke setiap sudut lorong perkampungan," kata Rahmadi, seorang pria 40 tahun, tetangganya yang lain.
Sebelum berada di Dumai, Mbah Giem tinggal di Pacitan, Jawa Timur. Di sana ia bersama seorang suami dan dua orang anak perempuannya yang kini telah dibawa pria-pria menantunya, tak tahu entah ke mana.
"Sementara dua anak laki-lakinya, yang juga sudah dewasa, kini meninggalkannya sendiri. Padahal dua anak laki-lakinya itu yang dulu mengurusi Mbah Giem," ucap Rahmadi.
Dahulu sewaktu di kampungnya, menurut cerita Mbah Giem kepada Santy yang merupakan tetangga terdekatnya, Mbah Giem tinggal bersama suami dan empat orang anaknya dengan serba berkecukupan.
Mbah Giem memiliki puluhan hektare sawah yang diurus bersama keluarga. Namun dia tidak menyangka, suami yang selalu bersamanya selama puluhan tahun, tiba-tiba pergi meninggalkannya.
"Suaminya itu pergi sejak tahun 1980-an, dan sampai sekarang tidak ada kabar berita," kata Santy menceritakan pernyataan Mbah Giem.
Semenjak kepergian sang suami, cobaan demi cobaan semakin membayangi Mbeh Giem. Satu per satu anak perempuannya pergi bersama laki-laki yang menikahinya.
"Semenjak menikah, dua anak perempuannya bernama Sumiyem dan Ginem, juga tidak pernah ada kabar berita," tutur Santy menceritakan.
Lima belas tahun berlalu, belum lagi sempat melepas kerinduannya kepada dua anak perempuan dan suaminya, seorang anak laki-laki tertua Mbah Giem juga demikian.
Ia pergi meninggalkannya, namun tragisnya, anak laki-laki yang dahulu akrap dipanggilnya dengan sebutan Santo ini, pergi setelah menjual seluruh lahan persawahan miliknya.
Lima tahun setelah cobaan demi cobaan itu dilaluinya, Mbah Giem kemudian memilih untuk meninggalkan kampung halamannya.
"Tepatnya pada tahun 2000, Mbah Giem sampai ke Pekanbaru, Riau. Di Pekanbaru, Mbah Giem tinggal bersama adik kandungnya bernama Sanun," ujar Santy.
Entah apa kesalahan yang dilakukan Mbah Giem waktu itu, baru saja setahun tinggal bersama keluarganya, Sanun yang kini diperkirakan berumur 58 tahun, kemudian memilih untuk menelantarkan Mbah Giem dan anak bungsunya bernama Mujiono di salah satu kota pesisir Riau, yang kini dikenal dengan sebutan Mutiara Pantai Sumatera, Dumai.
"Di Dumai, sebenarnya Sanun juga memiliki rumah serta lahan perkebunan yang cukup luas. Sanun juga dikenal sebagai orang yang kaya raya. Namun dengan teganya ia menelantarkan Mbah Giem dengan hanya membangunkan sebuah gubuk berukuran 5x6 meter di lahan seluas belasan hektare milik Sanun," kata Santy.
Ketika itu, tepatnya di tahun 2001, untuk bertahan hidup, Mbah Giem bekerja sebagai pembuat arang. Meski tubuhnya sudah mulai lesu termakan usia, namun pekerjaan itu terus dilakoninya selama setahun lebih.
"Ketika itu, Mbah Giem bercerita bahwa anak bungsunya, juga pergi meninggalkannya. Waktu itu, Mujiono pamit untuk mencari kerja di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau," kata Santy.
Sejak kepergian Mujiono itu, ucap Santy, Mbah Giem semakin tampak tidak bersemangat. Ia mulai sakit-sakitan. Dalam sehari, Mbah Giem 'terpaksa' menenggak puluhan butir obat-obatan generik.
"Kalau sakit kapala sedikit saja, dia langsung minum obat sakit kepala, paling sedikit 5 sampai 10 butir," tutur Santy.
Melihat kondisi Mbah Giem yang sebatang kara dan sakit-sakitan, Santy menaruh keprihatinannya. Seminggu tiga kali, Santy selalu menyempatkan diri untuk menjenguk Mbah Giem dengan membawakan makanan siap saji.
Keprihatinan Santy terhadap Mbah Giem, terus berkelanjutan. Pada tahun 2003, Mbah Giem dimasukkan ke daftar warga tetap di Desa Lubuk Gaung, Kelurahan Lubuk Gaung, Kecamatan Sungai Sembilan, Kota Dumai.
"Ini semua berkat Santy yang mengabarkan kalau di desa ini ada warga yang belum terdata. Ketika itu, saya selaku ketua RT (rukun tetangga) mendatangi langsung rumah Mbah Giem. Sungguh sangat meprihatinkan, ia tidur hanya beralaskan papan. Tidak ada apa-apa di rumahnya kecuali gubuk yang dihuninya. Untuk memasak, Mbah Giem masih menggunakan kayu. Saya nggak tahu apakah setiap hari dia terus makan atau tidak," kata Sukardi.
Melalui program pemerintah tentang bantuan langsung tunai (BLT) dan rumah layak huni, kemudian Sukardi mengusulkan Mbah Giem untuk menjadi salah satu penerimanya.
Berjarak enam bulan setelah pendataan penerima bantuan pemerintah itu, kemudian Mbah Giem dibangunkan sebuah rumah sederhana. Namun sedikit lebih baik dibandingkan hunian sebelumnya.
"Sudah sekitar tujuh tahun Mbah Giem tinggal di rumah subsidi ini. Rumah ini dibangun khusus untuknya, walau masih di tengah semak belukar dan perkebunan sawit milik Sanun, adik kandungnya," tutur Sukardi.
Kendati demikian, pemberian rumah itu tidak berarti apa-apa bagi Mbah Giem. Ia tetap sendiri, tanpa suami dan empat orang anaknya. Tujuh tahun lamanya, Mbah Giem sudah menjadi tanggungan warga Desa Lubuk Gaung.
Warga disana selalu bergantian untuk memberikan bantuan berupa manakan dan minuman setiap harinya.
Hal itu dilakukan karena Mbah Giem tidak lagi mampu berbuat banyak. Berjalan tanpa arah, dan termenung duduk di sebuah bangku yang terpaku tepat di depan rumahnya, merupakan kebiasaan sejak tujuh tahun ia sebatang kara.
"Saat-saat jelang lebaran seperti sekarang, ia selalu berharap ada salah satu anggota keluarga yang datang menjenguk," ujar Sukardi.
Namun menurut Sukardi, lebaran kali ini, sama seperti lebaran sebelum-sebelumnya. Mbah Giem yang kini tuli dan enggan berbicara, tetap sebatang kara. *
(KR-FZR/H-KWR)
*) Kontributor ANTARA di Riau.
MENANTI LEBARAN SEBATANG KARA
Sabtu, 4 September 2010 12:27 WIB