Jakarta (ANTARA) - Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr Ir Syarif Hidayat mengatakan ventilator yang pembuatannya di Masjid Salman ITB siap untuk diproduksi massal.
"Ventilator sudah selesai diuji oleh Kementerian Kesehatan, dan sudah melalui berbagai jenis pengujian. Ada tiga jenis pengujian yakni uji fungsi kalibrasi, uji keselamatan, dan daya tahan. Alhamdulillah sudah selesai," ujar Syarif saat dihubungi dari Jakarta, Rabu.
Dia menambahkan ventilator yang diberi nama Ventilator Indonesia atau Vent-I tersebut siap untuk siap untuk diproduksi. Untuk tahap awal, produksi yang dilakukan masih skala kecil atau manual.
"Belum untuk diproduksi di pabrik. Saat ini masih menyiapkan tata kerjanya, yang sekarang diproduksi adalah produksi manual," terang dia.
Syarif yang juga Dewan Pembina Masjid Salman itu menambahkan pihaknya menargetkan dapat memproduksi sebanyak 100 unit hingga Senin (27/4). Proses produksinya melibatkan para mahasiswa, dosen, teknisi, dan akan dibantu siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
"Ventilator yang diproduksi ini bukan untuk dijual, namun untuk didonasikan ke sejumlah rumah sakit di Indonesia," terang dia.
Ventilator biasa dibutuhkan bagi pasien yang mengalami gangguan pernafasan gawat. Salah satu fungsi yang ringan dari ventilator itu adalah Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) atau memberikan tekanan berkelanjutan pada paru-paru, sehingga selalu mengembang tidak pernah mengempis habis.
Akan tetapi ventilator yang memiliki kemampuan CPAP dan lainnya itu punya risiko, kalau salah mengoperasikan malah membuat kondisi pasien semakin memburuk.
"Oleh karena itu, ventilator seperti itu harus dioperasikan oleh dokter anastesi atau ICU, tidak digunakan untuk dokter umum. Harganya mahal dan jumlahnya sedikit di Indonesia," terang dia.
Harga untuk satu ventilator impor yang lengkap dibanderol dengan harga sekitar Rp500 juta dan barangnya pun langka saat ini. Ventilator yang dirancangnya, lanjut Syarif, bukanlah ventilator lengkap seperti ventilator impor.
Syarif mengatakan harga ventilator rancangannya bisa dijual dibawah Rp15 juta.
"Fungsinya hanya menjalankan fungsi CPAP saja. Sehingga sangat sederhana, sehingga mudah diproduksi dan dioperasikan, dan harganya pun jauh lebih murah," terang dia.
Menurut Syarif, fungsi CPAP yang hanya dibutuhkan pasien COVID-19. Untuk mengoperasikan ventilator sederhana ciptaannya itu pun, bisa dioperasikan dokter umum bahkan perawat.
Hal itu akan membuat ventilator dapat digunakan secara masif dan diproduksi karena alatnya sederhana. Dengan demikian, diharapkan dengan cepat dapat mengatasi masalah.
Hingga saat ini, lanjut dia, belum ada data pasti berapa kebutuhan ventilator pada saat ini. Namun perkiraan sejumlah dokter dibutuhkan sekitar 8.000 hingga 10.000 ventilator pada saat ini.
"Saya berharap sekitar 8.000 ventilator itu dapat diproduksi dalam waktu dua minggu saja, karena kalau terlambat tidak ada gunanya," kata dia lagi.
Pihaknya akan melibatkan industri terutama Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pihak swasta, kata Syarif, juga banyak yang berminat.
"Masalahnya saat ini bukan kapasitas produksi, tapi penyiapan bahan baku yang masih harus diimpor. Ada beberapa komponen elektronik dan motor penggerak pompa masih harus diimpor."
Meski demikian, Syarif menyebut sekitar 70 persen komponen ventilator sederhana itu merupakan komponen dalam negeri.
"Saya berharap pemerintah segera menyiapkan data berapa yang harus diproduksi, sehingga industri juga bisa menyiapkan berapa yang harus diimpor komponen-komponennya," harap Syarif lagi.
Baca juga: Kemenperin gandeng empat tim pengembang ventilator, termasuk ITB
Baca juga: Tim ITB kembangkan kabin sterilisasi untuk masker N-95