Di tengah maraknya penghalalan segala cara untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan, perlulah bagi pihak-pihak yang berkompetisi untuk mengikhtiarkan kejernihan berpikir, yang parameternya sudah digariskan dalam berdemokrasi.
Demokrasi memang tak memberikan panduan atau aturan untuk segala hal, namun akal sehat dari mereka yang melek politik tentunya paham bahwa ada yang layak dan tidak layak dilakukan dalam praktik demokrasi.
Usul bahwa calon presiden dan calon wakil presiden perlu diuji kemampuan bahasa Inggris dan kecakapan membaca huruf Arab, yang dipersempit menjadi baca Al Quran, merupakan contoh bagaimana kejernihan berpikir sang pengusul layak dipertanyakan.
Usul-usul semacam itu lahir karena politikus berusaha mencari cela di mana letak kelemahan lawan politiknya. Ketika sang lawan diketahui bahwa yang bersangkutan tak begitu fasih berbahasa Inggris, dimunculkanlah ide untuk menyelenggarakan debat capres dalam bahasa Inggris.
Jelas usul demikian mengada-ada sekalipun bisa dicari-cari argumen rasionalnya. Argumen itu bisa dinyatakan dalam uraian berikut: saat ini adalah era global dan sudah sepantasnya presiden mampu berbahasa Inggris untuk bekal berkomunikasi dengan presiden dari negara lain.
Dalam berbagai pertemuan internasional, bahasa Inggris adalah salah satu bahasa internasional yang digunakan di forum-forum dunia sehingga sangat afdol jika capres yang terpilih adalah dia yang bahasa Inggrisnya bernilai sedikitnya tujuh atau idealnya sembilan.
Kenapa ide itu bisa dianggap cermin ketidakjernihan berpikir? Karena demokrasi di mana pun tak mensyaratkan capres untuk mempu berbahasa asing. Lagi pula, persoalan kendala komunikasi itu bisa diatasi dengan bantuan penerjemah, kehadiran menteri luar negeri, dan duta besar yang rata-rata bahasa Inggrisnya teruji.
Usul lain yang sama-sama merefleksikan kekeruhan berpikir adalah tes baca Al Quran bagi capres. Jika usul yang berkaitan dengan bahasa Inggris di atas relatif universal karena semua siswa yang belajar di bangku sekolah umum memperoleh pelajaran bahasa Inggris, usul yang berhubungan dengan kemampuan baca Al Quran jelas-jelas sektarian.
Jelaslah bahwa usul uji baca Al Quran bagi capres di atas merupakan usul balasan dari kubu yang merasa bahwa pesaing mereka punya kelemahan dalam menguasai kemampuan baca Al Quran.
Maraknya usul-usul dari politikus yang kurang jernih berpikir itu bisa memerosotkan kualitas demokrasi karena wacana publik lebih banyak diramaikan oleh narasi-narasi yang bukan menjadi substansi parameter demokrasi yang ideal. Jika memang dirasa usul-usul di atas sangat urgen, perlulah dibahas terlebih dulu setidaknya di tataran parlemen sebelum tahap pencapresan berlangsung. Artinya, gunakanlah parameter kemampuan berbahasa Inggris dan baca Al Quran itu sebagai bagian dari kualifikasi yang harus dipenuhi oleh para warga negara yang akan mencalonkan diri dalam perebutan kursi kepresidenan.
Tentu para aktivis demokrasi akan menolak mentah-mentah usul-usul semacam itu, yang kurang substansial dalam melahirkan seorang pemimpin di era demokrasi.
Ada impresi bahwa kubu-kubu yang diuntungkan oleh usul-usul yang tak substansial dalam bingkai demokrasi itu merasa nyaman dan tak memberikan reaksi menolak. Jika kejernihan berpikir diutamakan, usul yang merugikan lawan dan yang menguntungkan kubu sendiri pun perlu ditentang oleh kedua kubu demi rasionalitas politik.
Pilpres 2019 yang melahirkan dua kubu dengan komposisi koalisi yang gado-gado, yang campur aduk antara partai politik yang kuat tendensi aliran politiknya yang nasionalis dan religius, mengakibatkan munculnya banyak usul yang tak bisa diidentifikasi warna ideologisnya.
Akan lebih afdol seandainya kubu-kubu yang bersaing mewacanakan narasi-narasi yang mencerahkan misalnya melemparkan kabinet bayangan dengan memilih orang-orang berprestasi sebacai calon menteri, alih-alih mewacanakan persoalan seperti uji kemampuan berbahasa Inggris atau baca Al Quran.
Sebagai contoh, bagi kubu penantang pun, setelah melihat prestasi Menteri Keuangan Sri Mulyani yang belakangan dinobatkan sebagai menteri keuangan terbaik dunia beberapa kali oleh lembaga internasional, bisa mewacanakan bahwa kalau pihaknya memenangi Pilpres 2019, Sri Mulyani pun akan dipakai lagi sebagai menteri keuangan.
Berpikir secara jernih juga sangat diperlukan dalam kaitannya dengan fenomena kebohongan alias hoaks. Politisi yang jernih berpikir tak akan punya keyakinan bahwa hoaks bisa dipakai sebagai instrumen untuk memenangi pemilu.
Saat ini kewaspadaan, kesadaran publik tentang bahaya hoaks semakin tinggi sehingga memainkan instrumen kebohongan untuk memenangi Pilpres 2019 boleh jadi cuma ilusi belaka.
Hoaks paling mutakhir adalah desas-desus tentang tujuh kontainer surat suara yang sudah dicoblos. Aparat telah bertindak cepat untuk menangkal kabar bohong itu. Tampaknya tak terlalu sulit bagi aparat penegak hukum untuk merunut dari mana pertama kali kabar semacam itu muncul.
Menerapkan aturan hukum dengan menindak tegas penyebar kabar bohong yang terkait dengan perkara serius seperti Pilpres 2019 perlu ditangani secara serius pula, berbeda dengan cara menangani hoaks yang terkait dengan perkara-perkara sepele.
Tanpa kejernihan berpikir, terutama dari kaum politikus, yang menjadi pemangku sekaligus pemain utama dalam Pilpres 2019, demokrasi tak akan bertumbuh menjadi semakin mantap dan maju.
Baca juga: Telaah - Menanti Prabowo hadir dalam tayangan Mata Najwa
Baca juga: Prabowo joget pada Natal, ini tanggapan TKN Jokowi-Maruf
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2019