Bandung (Antaranews Jabar) - Organisasi buruh Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jawa Barat menolak Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 15 Tahun 2018 tentang Upah Minimum karena permen tersebut mengadopsi PP Nomor 78 Tahun 2015 dan bertentangan dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

"Kami menolak Permenaker 15/2018 karena penetapan upah minimum berdasarkan Permenaker tersebut tetap berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional," kata Ketua KSPSI Jawa Barat, Roy Jinto, ketika dihubungi melalui telepon, Senin.

Roy mengatakan dalam UU Nomor 13 tahun 2013 tentang ketenagakerjaan pasal 88 ayat ( 4 ) penetapan upah minimum harus berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL), pertumbuhan ekonomi dan produktifitas.

Sementara berdasarkan Kepres 107 tahun 2004 tentang dewan pengupahan, tugas dan wewenang dewan pengupahan provinsi dan kabupaten/kota adalah merekomendasikan upah minimum dan upah minimum sektor provinsi dan upah minimun sektor kab/kota.

Dia mengatakan terkait dengan aturan pengupahan yang saat ini melaju pada UMSK, maka dengan adanya permen yang baru justru mempersulit terwujudnya upah minimum sektoral karena asosiasi pengusaha sektor belum terbentuk di kab/kota di Jabar.

Menurut dia, permen baru tersebut tidak menjawab persoalan selama ini mengenai tidak adanya asosiasi pengusaha sektor.

"Lahirnya permenaker tersebut lebih berpihak kepada pengusaha dan cenderung akan menghilangkan adanya upah minimum sektor kabupaten/kota, dan pemeritah lepas tangan penentuan dan penetapan upah minimum sektor," kata dia.

Padahal, kata Roy, sudah jelas yang namanya upah minimum merupakan jaring pengamanan (safetynet) termasuk upah minimum sektor sehingga pemerintah tidak boleh lepas tangan dalam penentuan dan penetapan upah minimum sektor.

Oleh karena itu, KSPSI Jawa Barat tetap mendorong kepada Pemerintah Provinsi Jabar dalam hal ini gubernur untuk tetap melanjutkan revisi Pergub No 54 tahun 2018 untuk mengatur hal-hal yang belum diatur dalam Permen Nomor 15 tahun 2018.

Revisi tersebut diantaranya, jika di kabupaten/kota belum terbentuk asosiasi pengusaha sektor harus bagaimana, kalau dalam perundingan UMSK tidak ada kesepakatan, dan peran pemerintah dalam mengambil keputusan perlu diatur dalam pergub.

"Jadi kenapa komposisi pemerintah lebih banyak di dewan pengupahan sesuai Kepres 107 Tahun 2014 karena pemerintah harus lebih dominan dalam menetapkan?upah minimum termasuk upah minimum sektoral bukan membiarkan serikat pekerja dengan pengusaha berunding UMSK tanpa ada pemerintah sebagai penengah," katanya.

"Dan apabila kondisi ini dibiarkan maka hubungan industrial tidak akan harmonis, dinamis dan berkeadilan serta akan menimbulkan hubungan industrial yang tidak kondusif," lanjut Roy.

 

Pewarta: Ajat Sudrajat

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2018