Dua orang perempuan itu sibuk menghentak-hentakan alu di jubleg atau lesung untuk menghaluskan beras agar menjadi tepung.

Suara tumbukan alu dan lesung tersebut terkadang beriringan dengan suara keras petasan bambu yang dimainkan oleh anak-anak dan remaja, yang juga sekaligus menandakan bahwa Lebaran sudah dekat.

Memasuki Hari Raya Idul Fitri, perempuan warga Kampung Naga, Tasikmalaya, memang sibuk menyediakan tepung beras untuk membuat gorengan dan makanan lainnya.

"Kalau menyambut Idul Fitri memang biasanya membikin tepung sendiri dari beras untuk membuat gorengan. Penduduk membuat tepung beras dengan lesung," kata Darmawan, pemandu wisata di Kampung Naga.

Di Kampung Naga yang memiliki luas 1,5 hektare tersebut setidaknya terdapat lima lokasi menumbuk padi dan beras. Lokasi lesung tersebut merupakan milik bersama, sehingga dapat digunakan oleh semua penduduk.

"Kalau dari terigu biasanya gorengannya tidak keras. Kalau dari beras biasanya keras, apalagi ini ditumbuk sendiri," ucap Darmawan menjelaskan alasan warga adat Kampung Naga mengolah bahan makannya sendiri.

Kampung Naga merupakan sebuah kampung adat yang dihuni oleh 300 orang dari 101 kepala keluarga. Di lokasi kampung tersebut terdapat 110 bangunan , sebanyak 101 rumah untuk hunian dan sembilan bangunan sisanya merupakan rumah kosong dan fasilitas adat.

Islam  diperkirakan masuk ke Kampung Naga pada abad XIV. Sebuah masjid berada di dekat lapangan sentral atau semacam alun-alun di kampung tersebut.

Salah satu hal yang unik dari perayaan Lebaran di Kampung Naga adalah dikaitkannya hari raya umat Islam tersebut dengan larangan adat yang berlaku.

Terdapat tiga hari larangan mengadakan kegiatan adat, yaitu pada Selasa, Rabu, dan Sabtu. Pada hari-hari tersebut, Kampung Naga tidak boleh melakukan kegiatan adat.

Namun, larangan tersebut ditoleransi ketika penduduk Kampung Naga merayakan Idul Fitri. Misalnya Lebaran jatuh pada Selasa, maka salat Id tetap dilakukan pada Selasa namun upacara adat hajat sasih dilaksanakan pada Kamis karena Selasa dan Rabu adalah hari larangan berkegiatan adat.

Sedangkan apabila Lebaran jatuh pada hari yang bukan termasuk larangan, maka akan dilangsungkan upacara adat langsung setelah salat Id.

Darmawan mengatakan hari larangan tersebut merupakan amanat dari nenek moyang. Apa yang sudah diamanatkan dan diwasiatkan oleh nenek moyang tidak boleh dilanggar karena akan ada akibatnya.

"Hukum adat tidak tertulis, kami percaya siapa yang melanggar akan ada akibatnya. Di kampung adat memang banyak larangan daripada aturan," jelas Darmawan.

Warga Kampung Naga juga merayakan Lebaran secara sederhana. Pilihan hidup sederhana tersebut sudah menjadi warisan dari leluhur yang harus dijalankan.

Lebaran biasanya diisi dengan makanan-makanan khas dari daerah setempat, misalnya kerupuk rengginang dari ketan, opak, wajit dan angleng, serta goreng-gorengan.

Ragam makanan tersebut juga disajikan ketika ada acara kawinan, khitanan, atau hajatan khusus lainnya. Bahan-bahan untuk membuat makanan tersebut diproduksi sendiri.

"Kami warga kampung adat memaknai hidup dengan menjunjung tinggi toleransi, tidak membedakan suku dan agama serta dalam kehidupan sehari-sehari tidak terlepas dari norma kehidupan yang diwariskan nenek moyang seperti saling berbagi dan hidup sederhana," kata Darmawan.
 

Pewarta:

Editor : Sapto HP


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2017