Antarajabar.com - Sebagai bagian dari rangkaian kegiatan promosi dagang dan kebudayaan Indonesia di Australia 11-13 November 2016, Duta Besar (Dubes) Indonesia untuk Australia, Nadjib Riphat Kesoema, turut meresmikan Asosiasi Jurnalis Indonesia di Australia (AIJA) untuk cabang Australia Barat (WA) pada Minggu (13/11) malam.

Peluncuran AIJA cabang WA yang dilaksanakan di ruang aula KJRI Perth, 134 Adelaide Tce, itu turut menghadirkan jajaran tinggi perwakilan misi diplomatik Indonesia di Australia, termasuk di antaranya Konjen RI di Perth Ade Padmo Sarwono, Konsul RI di Darwin Andre, dan puluhan warga serta diaspora Indonesia yang tinggal di Kota Perth.

Dalam pidato pembukaannya, Dubes Nadjid Riphat Kesoema menyambut baik insiatif peluncuran AIJA untuk cabang Australia Barat karena asosiasi semacam ini berperan sangat penting dalam upaya menjembatani persepsi dan hubungan bilateral Indonesia dan Australia, khususnya dalam upaya menyajikan informasi yang berimbang di masa-masa hubungan kedua negara sedang diterpa isu-isu yang sensitif.

“AIJA adalah kendaraan untuk memahami kedua negara. Secara fisik, jarak Indonesia dengan Australia sangatlah dekat, kurang dari 1.000 kilometer. Namun dari segi budaya, sejarah, dan politik, kita sangat jauh berbeda. Jaraknya lebih dari 10.000 kilometer,” ujar Dubes yang telah menjadi kepala misi diplomatik Indonesia di Australia sejak tahun 2012 tersebut.

“Dan salah satu upaya untuk menjembatani perbedaan ini adalah lewat media, dialog, dan pertukaran berita antara kedua negara,” tambah Dubes yang menyampaikan pidatonya dalam bahasa Inggris.

 “AIJA memainkan peran yang sangat istimewa, menjadi jembatan antara Indonesia dan Australia, di mana orang Indonesia sangat haus mendapatkan berita dari luar negeri—termasuk Australia—yang terkadang mendapatkan pesan yang keliru di media-media mainstream. Inilah peran AIJA untuk menyediakan timpalan berita yang lebih berimbang guna memahami Indonesia dan Australia,” papar Dubes Nadjib.

Selain itu, AIJA juga menjadi wadah kemitraan para jurnalis Indonesia dan Australia, bila mereka membutuhkan analisis tentang Indonesia, media Australia bisa meminta AIJA bisa bekerja bersama jurnalis Australia.

Peranan AIJA juga sentral dalam memperkuat komunitas Indonesia di Australia, di mana Dubes Nadjib memperkirakan sebanyak 72.000 orang diaspora Indonesia tersebar di semua negara bagian dan teritori Australia.

“Lewat AIJA, kita bisa melihat brand diaspora Indonesia di Australia, termasuk di antaranya kegiatan pameran budaya seperti Kreasi Indonesia di Perth yang setiap tahunnya sukses menyedot lebih dari 5.000 orang pengunjung,” tambahnya.

Sementara itu Konjen RI di Perth, Ade Padmo Sarwono, menyebutkan bahwa saat ini perkembangan dunia digital telah membuka peluang bagi penyebaran berita lewat media sosial.

Mengutip sebuah hasil penelitian yang menyebutkan bahwa orang Indonesia menghabiskan rerata 9 jam di depan layer monitor (televisi, ponsel pintar, dan computer/laptop), Konjen Ade Padmo menekankan pentingnya penyebaran berita via media digital, yang memungkinkan semua orang menjadi jurnalis dan menyebarkan berita.

“Saya juga menyarankan agar AIJA segera menjadi perusahaan yang incorporated, agar memudahkan proses membangun hubungan yang formal dengan timpalan media Australia di sini dalam menyuarakan kepentingan-kepentingan Indonesia,” ujar Konjen yang memulai tugasnya di Perth pada 2015.

“Bikin juga website-nya, kemudian hubungkan dengan website kantor kedutaan serta kantor-kantor konsulat kita di Australia untuk menyediakan berbagai informasi kepada masyarakat Indonesia dan publik Australia,” tambahnya.

Di berbagai media Australia, Indonesia hanya akan muncul di halaman depan bila itu terkait dengan berita-berita negatif tiga B yaitu boats (para pencari suaka yang menggunakan kapal), beef (impor daging sapi dari Australia ke Indonesia), dan Bali atau beach (seperti misalnya warga Australia yang terkena kasus kriminal saat berada di Bali).

“Kalau berita-berita positif tentang Indonesia, tidak akan pernah diberitakan oleh media Australia,” kata Konjen Ade Padmo yang sebelumnya bertugas sebagai Konjen di Darwin (NT).

Ia juga menjelaskan pihaknya sering menerima aplikasi visa jurnalis Australia yang ingin meliput ke Indonesia, tapi KJRI tidak pernah mendapat informasi lanjutan soal hasil reportase.

“Indonesia dan Australia memiliki banyak bahan untuk dibicarakan dan diberitakan, bukan cuma bukan cuma boat, beef, and Bali/beach. Kita harus membahas semua hal, Presiden Joko Widodo menginginkan konektifitas, pentingnya Indonesia terhubung bukan hanya di dalam negeri tapi juga di luar negeri,” ujar Dubes Nadjib.

“Maka menulislah sebanyak-banyaknya, kalau perlu bicara di Youtube, berkumpul bareng-bareng, mari kita bangun Indonesia lebih baik,” tandasnya.

Menurut Vice-Chairman AIJA, Hendrarto Darudoyo, organisasi ini pertama kali diresmikan di Melbourne pada tahun 2014 dan berbagai kegiatan telah digelar, di antaranya Warta Talk yang menghadirkan jurnalis Indonesia dan Australia sembari membahas isu-isu ekonomi terbaru dari Indonesia. Selain itu ada juga Meet the Press dan Discussion Night.

Tahun ini, AIJA melebarkan sayapnya ke pesisir barat Australia dengan membuka perwakilan di Kota Perth. AIJA cabang WA dipimpin oleh Ella Syafputri, jurnalis kantor berita Antara yang sedang menempuh pendidikan S3 di the University of Western Australia (UWA).

Konsul Andre Omer Siregar pun dalam tanggapannya di acara peluncuran telah mengundang agar AIJA segera membuka perwakilan di Kota Darwin, Northern Territory (NT).

Pengalaman Jurnalis Australia

Dalam sesi diskusi yang menghadirkan jurnalis televisi dari Channel 9, Oliver Peterson, peserta mendapatkan pemaparan pengalaman jurnalis Australia meliput berita-berita dari Indonesia.

Oliver menjelaskan bahwa sebagai organisasi komersial, Channel 9 memiliki kebijakan redaksional yang hanya akan memuat berita soal luar negeri bila ada warga negara Australia yang terluka atau terkena kasus kejahatan.

Ia juga mengakui bahwa angle pemberitaan sangat dikendalikan oleh editor, dan tak jarang gagap budaya sebagai jurnalis asing yang meliput di Indonesia juga menjadi kendala dalam memahami secara utuh perbedaan kondisi antara dua negara.

“Kami, jurnalis Australia, cenderung melihat semua hal saat meliput di luar negeri sambil membandingkan dengan kebiasaan yang ada di Australia. Hal ini membuat berita-berita media Australia hanya memuat sisi Australia, dan bukan Indonesia,” papar jurnalis yang pernah meliput peristiwa jatuhnya sebuah pesawat dalam penerbangan dari Surabaya ke Singapura.

Oliver juga mengakui bahwa akses media di Indonesia terhadap sebuah berita jauh lebih terbuka daripada apa yang media bisa dapatkan di Australia. Contoh yang ia ungkapkan adalah akses jurnalis ke kamar jenasah, hal itu tidak akan mungkin bisa didapatkan bila kejadiannya berlangsung di Australia.

Pewarta: Ella Syafputri

Editor : Sapto HP


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2016