Perth, 16/3 (Antara) - Rabu pagi di Hyatt Regency Perth. Sebuah acara diskusi di jam makan pagi digelar khusus untuk mengulas sebuah topik nan hangat.
    Topik yang tidak cuma penting buat kalangan pebisnis, tapi juga diplomat itu tak lain tak bukan adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau dalam bahasa Inggris disebut dengan ASEAN Economic Community (EAC). Apakah MEA membawa peluang atau ancaman buat Australia? Bagaimana konsekuensi yang muncul dengan pasar ASEAN yang terintegrasi?
    Acara dimulai pukul 7.30 pagi waktu Perth atau 6.30 WIB. Tak kurang dari 300 peserta memadati "ballroom" hotel yang terletak di 99 Adelaide Terrace, di mana kantor KJRI dan Konsulat Jenderal Malaysia berbagi jalan yang sama.
    Pada sesi pembukaan, Konsul Jenderal (Konjen) Indonesia untuk Australia Barat, Ade Padmo Sarwono, didaulat untuk memberikan sambutan. 
    Diplomat senior Indonesia itu menegaskan bahwa sebagai salah satu mitra wicara ASEAN yang terletak sangat dekat dengan kawasan Asia Tenggara, Australia memiliki kesempatan besar mendulang keuntungan dari MEA.
    Ia menyebutkan, pembentukan MEA menciptakan yang pasar besar bagi produk-produk Australia, dengan populasi lebih dari 600 juta penduduk dan PDB gabungan mencapai 2,57 triliun dolar Amerika pada tahun 2014. 
    "Hal ini menjadikan ASEAN ekonomi terbesar ketiga di Asia dan terbesar ke-7 di dunia. Diharapkan menjadi ekonomi terbesar ke-4 di dunia pada tahun 2030," ujar Ade Padmo.
    Lebih lanjut ia memaparkan pertumbuhan kelas menengah di ASEAN merupakan salah satu faktor penting yang perlu diantisipasi Australia. 
    Negeri kangguru perlu bersiap menghadapi peningkatan permintaan di sektor-sektor seperti pendidikan dan pelatihan, pertanian, jasa kesehatan, dan keuangan. 
    Di sesi diskusi sekitar 35 menit, empat pembicara mengulas ide-idenya. Selain Ade Padmo Sarwono,panel menghadirkan CEO Interflour, Greg Harvey, Direktur Kantor DFAT Australia Barat, Andrea Gleason, dan Konsul Jenderal Malaysia, Nazarudin Jaafar. 
    CEO Interflour, Greg Harvey, mengingatkan bahwa MEA, yang mulai diluncurkan penghujung 2015, tidak hanya terbatas soal pembebasan dari hambatan perdagangan antar-negara di blok ASEAN. Lebih jauh dari itu, MEA adalah soal peningkatan pasar, transfer tenaga kerja, dan peluang investasi.
    Dengan kelas menengah ASEAN yang saat ini 80 juta orang dan diperkirakan melonjak menjadi 480 juta di tahun 2035, beraneka peluang bisnis terbuka luas bagi kalangan pengusaha di Australia mengingat gaya hidup kelas menengah akan berdampak langsung terhadap pola konsumsi.
    Greg juga berpendapat investasi di blok ASEAN sangat menjanjikan hasil yang tinggi. Dari pengalaman anak perusahaan Interflour di Makassar, yaitu Eastern Pearl Flour Mills, tercatat pabrik penggilingan terigunya menjadi yang terbesar ke-4 di seluruh dunia, dengan kapasitas produksi 2.800 ton gandum/hari. 
    Terigu yang diproduksi Interflour menguasai pasar konsumsi terigu nomor dua terbesar di Indonsia. 
    Sementara itu Andrea Gleason, Direktur Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) negara bagian Australia Barat, sangat setuju dengan pandangan bahwa ASEAN sangat penting buat Australia. Salah satu bukti besarnya nilai ASEAN di mata Australia adalah Badan Australia-ASEAN (AAC) telah beroperasi di DFAT Australia Barat. 
    "Ini demi meningkatkan kerjasama dengan negara-negara anggota ASEAN," kata Andrea yang pernah menjadi Direktur Seksi Perdagangan dan Investasi APEC di DFAT.
    Tercatat hingga kini, Australia telah memiliki  perjanjian perdagangan bebas segitiga antara ASEAN-Australia-New Zealand. Australia juga menjadi salah satu mitra ASEAN dalam negosiasi Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). 
    Pembicara lain di sesi diskusi adalah Nazarudin Jaafar, Konsul Jenderal Malaysia. 
    Nazarudin menjelaskan Cetak Biru MEA disahkan pada masa keketuaan Malaysia di ASEAN tahun 2015. Cetak Biru MEA merupakan dokumen penting untuk menerapkan Masyaraka Ekonomi ASEAN pada kurun 2016 hingga 2025. 
    Cetak Biru MEA juga memuat target-target ambisius yang hendak dicapai oleh integrasi ekonomi di ASEAN. 
    "Dokumen ini mengarisbawahi peluang penting bagi dunia usaha. Selain itu, terdapat flesibilitas dalam penerapannya sehingga bisa lebih beradaptasi dengan perubahan yang ada," kata dia.
    Diskusi yang diberi judul "Asia Insight The Next Mega Market, Inside the South-East Asia Economic Community" itu sukses terselenggara oleh Curtin University dan harian "The West Australian". 
    Turut hadir beberapa tamu undangan termasuk mantan Menteri Luar Negeri Australia dan Menteri Pertahanan Australia, Stephen Smith, Wakil Rektor Curtin University, John Cordery, Ketua Kamar Dagang Australia-Indonesia (AIBC) Australia Barat, Greg Gaunt, dan Ketua Indonesia Institute, Ross Taylor.
    Sebagaimana dikutip dari laman resmi DFAT, arus perdagangan barang dan jasa Australia mencapai nilai setara dengan 660 miliar dolar atau Rp6.497 triliun (1 dolar = Rp9.845) pada periode 2014-2015, menjadi sektor sebagai salah satu komponen sentral kesejahteraan negeri itu.
    Dalam histori perdagangan dan investasinya dengan negara-negara ASEAN, volume perdagangan Australia ke ASEAN bernilai 30 miliar dolar Australia (Rp295 triliun) mengalami kenaikan 8,5 persen dibanding periode sebelumnya. Sementara impor Australia dari negara-negara ASEAN mencapai 45,46 miliar dolar Australia (Rp447,5 triliun) dengan penyusutan 5,8 persen dari tahun 2013-2014. 
    Dari neraca perdagangan terlihat komoditas utama ekspor Australia ke ASEAN adalah emas senilai Rp39,4 triliun, lalu minyak mentah Rp27,5 triliun, gandum Rp25,87 triliun, dan batu bara Rp12,67 triliun.
    Sedangkan di sisi impor, Australia mengimpor dari ASEAN minyak mentah Rp72 triliun, minyak olahan Rp71 triliun, kendaraan barang Rp32,6 triliun, dan kendaraan penumpang bermotor Rp18,4 triliun.
    Dalam ringkasan, Australia adalah negara sumber impor terbesar ke-9 bagi ASEAN (2,2 persen) dan negara tujuan ekspor terbesar nomor 6 untuk ASEAN (3,7 persen).
    Di sisi investasi, besaran penanaman modal ASEAN ke Australia lebih besar daripada investasi Australia di kawasan ASEAN, dengan selisih mencapai Rp266,4 triliun. 
    Bagaimana dengan neraca dagang Indonesia dan Australia? 
    Komoditi utama yang diimpor Indonesia dari Australia adalah gandum (Rp13,8 triliun), berikutnya adalah ternak hidup (terkecuali makanan laut) mencapai Rp5,9 triliun, lalu gula, molase, dan madu senilai Rp3,7 triliun, dan batu bara Rp2,5 triliun. Di sisi sebaliknya, Australia mengimpor minyak mentah dari Indonesia Rp14,2 triliun, mesin khusus Rp4,2 triliun, peralatan dan komponen pendingin/pemanas Rp2,8 triliun. 
    Dan apakah makna Masyarakat Ekonomi ASEAN buat Indonesia dan Australia? Melihat kecenderungan neraca dagang kedua negara, Indonesia nampaknya akan semakin bergantung kepada Australia untuk impor gandum, gula, madu, dan hewan ternak hidup. Sedangkan di sisi Australia, minyak mentah masih menjadi produk yang paling dibutuhkan dibeli dari Indonesia. Untuk sektor jasa, Indonesia sangat mengandalkan ekspor berupa perjalanan pariwisata non-pendidikan sementara Australia terdepan di perjalanan untuk keperluan sekolah dengan posisi perbandingan yang nyaris 1/4 dari volume wisata Australia ke Indonesia.


(E012)

Pewarta: Ella Syafputri

Editor : Sapto HP


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2016