Alumni Universitas Padjadjaran (Unpad) Pro Demokrasi yang berkumpul dan berdiskusi dalam tema "Fenomena Negara Swasta", mengungkapkan bahwa kapasitas masyarakat sipil perlu dikembangkan untuk menciptakan mekanisme check and balance dalam kehidupan berdemokrasi yang saat ini dirasakan kurang.

Mantan anggota DPR RI yang juga salah satu narasumber diskusi, Syarif Bastaman, mengatakan bahwa pentingnya peningkatan kapasitas masyarakat sipil, karena saat ini menurutnya masyarakat Indonesia tidak bisa terlalu berharap pada kekuatan oposisi di parlemen.

"Saya kira niat kita adalah ingin mengembangkan kapasitas civil society terlebih saat ini. Mengapa civil society itu penting, karena saya kira dulu ada check and balances secara power dan juga secara scientific kan memang segala sesuatu harus ada kritik, satu dan lain itu semua kan untuk kepentingan rakyat," kata Syarif selepas diskusi di Bandung, Selasa.

Syarif mengatakan jika tidak ada yang melakukan koreksi, kajian, ataupun kritik terhadap kebijakan pemerintah, maka kita akan berasumsi bahwa pemerintah merupakan kebenaran mutlak.

"Itu bahaya menurut saya secara demokrasi," ujarnya.

Perlunya kapasitas masyarakat sipil untuk ditingkatkan, lanjut dia, karena saat ini juga kondisi perpolitikan di Indonesia yang tak jarang masuk ke dalam praktik politik uang, seperti untuk suara pemilih dalam pemilihan umum.

"Ini suatu potret yang sudah sangat menyedihkan, saya kira semua orang juga sudah tahu bahwa untuk mendapatkan jabatan, faktor dominan sekarang malah uang, bukan lagi gagasan, pikiran, idealisme. We have to stand up, ini salah, ada pepatah garbage in, garbage out, jadi kalau yang masuk sampah, keluar yang juga sampah, kan begitu. Sehingga pemilu itu harus proper, rekrutmen politik harus akuntabel karena yang jamin hasil adalah meritokrasi," ujarnya.


Lebih lanjut, menurut Syarif, pengusaha sebagai pemilik modal, dan penguasa atau pemerintah, bagaikan dua sisi rel yang berdampingan namun tak bersinggungan karena adanya bantalan rel yang merupakan aturan hukum.

"Kalau bersinggungan itu lekat dengan KKN. Kalau kereta itu pasti terjungkal. Tapi nampaknya ini kurang disadari, karena justru sekarang pemodal justru mereka memodali politik, jadi kekuasaan sudah bahkan diijon duluan, dengan bahkan ancaman bahwa jika tidak terlibat akan dipersulit," ujarnya.

Sebagai solusi, harus ada pemisahan yang jelas melalui penegakan aturan hukum. Dan karena politik merupakan rekrutmen kepemimpinan yang merupakan aspirasi rakyat, menyebabkannya sebagai urusan negara.

Karenanya, partai politik, proses politik harus dibiayai negara sehingga bisa membatasi, dan mengatur seketat mungkin keterlibatan dana swasta di dalam kegiatan politik dan organisasi politik.

Pengetatan dana dari pihak swasta, kata dia, harus jelas sumber dananya, motifnya, hingga pembatasan jumlahnya.

"Harus ada asesmen dari pemerintah, kalau misalnya dia menyumbang di partai A, apakah hanya partai A yang disumbang? Apakah partai B dan seterusnya misalnya? Begitu juga dengan calon. Jadi semua harus transparan. Kalau seperti itu, maka dana swasta itu pasti boleh. Karena mendukung kegiatan politik, bukan politisi, seperti di Amerika, tidak subjektif," ucapnya.

Keluaran dari diskusi ini, ditambahkan Syarif, yang utama adalah peningkatan kapasitas masyarakat sipil, dalam hal ini kesadaran bahwa kontrol masyarakat sipil, termasuk kampus di dalamnya diperlukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


"Sudah saatnya melakukan itu, melakukan kajian-kajian dan bicara forum-forum seperti ini. Bukan untuk menggulingkan kekuasaan, kita bicara soal value. Kita bosan lah kalau untuk menafsirkan politik itu sekedar rebutan kekuasaan. Jika value, artinya siapapun yang melaksanakan, we don't care. Yang penting anda jalankan sebaik-sebaiknya," tutur dia.

Dalam Diskusi Publik Fenonena Negara Swasta: Quo Vadis Indonesia Dalam Pengelolaan Lembaga Eksekutif dan Legislatif pasca Jokowi, selain Syarif, hadir juga sebagai narasumber akademisi Prof. Aidil Fitriciada Azhari, ahli Hukum Tata Negara Abdi Yuhana, pemikir Yudi Latif, serta aktivis dan pengamat ekonomi politik Radhar Tribaskoro.

 

 

 

Pewarta: Ricky Prayoga

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2024