Di tengah gencar globalisasi dan modernisasi, ada sebuah kampung di Jawa Barat yang mempertahankan tradisi ketahanan pangan dengan cara unik.
Kampung Cireundeu, yang terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, telah menjalani hidup tanpa nasi selama lebih dari 1 abad alias 100 tahun.
Masyarakat di kampung ini tidak hanya bertahan, tetapi juga berhasil mengubah tantangan menjadi sebuah kearifan lokal yang kini menjadi inspirasi banyak orang.
Pada tahun 1918, Kampung Cireundeu mengalami masa-masa sulit. Kekeringan dan paceklik yang melanda kawasan ini membuat tanaman padi sulit tumbuh.
Sebagai alternatif, masyarakat setempat beralih ke singkong sebagai makanan pokok. Singkong, yang dikenal sebagai sumber karbohidrat yang mudah didapat, menjadi penyelamat pada masa itu.
Tidak hanya sebagai makanan, singkong kemudian menjadi simbol ketahanan dan kemandirian masyarakat Cireundeu. Pada tahun 1924, melalui kesepakatan adat, makan nasi dianggap sebagai pantangan, dan singkong diangkat sebagai makanan pokok yang harus dihormati.
Meskipun nasi adalah makanan pokok yang umum, masyarakat Cireundeu memilih untuk memfokuskan pada singkong. Tradisi ini telah bertahan dari generasi ke generasi. Hingga kini.
Menjadi ikon ketahanan pangan
Dulu, Kampung Cireundeu sering dipandang sebelah mata oleh masyarakat luar. Mengonsumsi singkong dianggap rendah dan tidak mencerminkan modernitas.
Namun, seiring waktu, pandangan itu berubah. Kampung Cireundeu kini menjadi destinasi yang banyak dikunjungi oleh berbagai kalangan, mulai dari pelajar, mahasiswa, peneliti, hingga turis mancanegara.
Mereka datang untuk belajar tentang ketahanan pangan dan keberhasilan masyarakat Cireundeu dalam beralih dari nasi ke singkong, serta bagaimana tradisi ini dipertahankan selama lebih dari 100 tahun.
Bagi warga Cireundeu, hidup berdampingan dengan alam adalah prinsip yang terus dan harus dijaga. Di kampung ini, mereka tidak hanya bertani, tetapi juga menjaga keseimbangan ekologis yang menjadi bagian dari warisan adat.
Abah Widi, sesepuh adat Cireundeu yang berusia lebih dari 60 tahun, menceritakan kepada ANTARA bahwa sejak kecil, ia tidak pernah merasakan makan nasi atau makanan berbahan beras.
Dirinya menjelaskan dengan filosofi dalam bahasa Sunda yakni teu nyawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal bisa nyangu, teu nyangu asal dahar, teu dahar asal kuat. Artinya, tidak memiliki sawah tidak masalah asal memiliki beras, tidak ada beras tidak masalah asal bisa menanak nasi, tidak ada nasi tidak masalah asal bisa makan, tidak makan tidak masalah asal tetap kuat.
Filosofi ini menggambarkan bahwa kenyang tidak harus selalu dengan nasi. Bagi mereka, makan adalah tentang bertahan hidup dan menjaga tubuh tetap sehat, bukan soal memenuhi ekspektasi tentang makanan pokok.
Sejak 2010, Kampung Cireundeu mulai dikenal sebagai desa wisata, berawal dari kedatangan sejumlah mahasiswa yang tertarik mempelajari cara hidup masyarakat setempat.
Desa ini tidak mengandalkan komersialisasi, namun lebih pada keinginan untuk memperkenalkan pola makan dan kehidupan yang berfokus pada kemandirian pangan.
Dengan konsep yang sederhana dan tidak mengutamakan keuntungan ekonomi, masyarakat Cireundeu menjaga keaslian budaya mereka dengan mengajarkan pengunjung tentang ketahanan pangan dan pentingnya diversifikasi makanan.
“Jadi, kami tidak membuat objek wisata yang baru karena ini merupakan warisan budaya dari leluhur kami untuk tetap dijaga oleh penerusnya sampai kapan pun,” kata Abah Widi.
Ketahanan pangan Cireundeu kini mendapat perhatian besar, terutama dalam menghadapi isu ketergantungan pada beras impor. Abah Widi dan warga adat lainnya terus mempromosikan pemikiran bahwa makan tidak hanya harus dengan nasi, dan singkong dapat menjadi alternatif yang juga bergizi.
Kampung ini ditegaskan tidak komersial. Jadi, wisatawan mau datang ke sini tidak ada hitung-hitungan ekonomi. Yang penting mereka datang dulu ke sini lalu mereka akan diberikan paham bagaimana menjaga ketahanan pangan.
Masyarakat Cireundeu juga telah mengolah singkong menjadi berbagai produk, seperti tepung singkong, keripik, hingga kue dan oleh-oleh khas, yang makin memperkenalkan potensi ekonomi berbasis pangan lokal.
Peran Pemerintah dalam pengembangan ketahanan pangan di Cireundeu sangat dirasakan oleh penduduk setempat. Pemerintah telah memberikan bantuan mesin penggiling singkong dan peralatan lainnya yang mendukung keberlanjutan produk berbasis singkong.
Abah Widi berharap ilmu tentang ketahanan pangan yang ada di Cireundeu dapat disebarkan ke daerah-daerah lain, agar masyarakat Indonesia tidak terus bergantung pada beras impor, melainkan kembali memanfaatkan potensi lokal yang tersedia di sekitar mereka.
Oleh karena itu, ia minta Pemerintah membantu menularkan ilmu tentang ketahanan pangan ke daerah lain, agar tidak ada lagi orang yang berbicara kelaparan karena tergantung dengan beras.
Mempertahankan warisan budaya di Desa Wisata Cireundeu
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Jawa Barat mengungkapkan dua tradisi khas Kampung Cireundeu telah resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI.
Tradisi tersebut adalah kebiasaan masyarakat mengonsumsi rasi (beras singkong) sebagai sumber karbohidrat utama, serta tradisi Tutup Taun Ngemban Taun 1 Sura.
Kepala Bidang Kebudayaan Disparbud Jawa Barat Febiyani menjelaskan bahwa proses penetapan ini melalui berbagai kajian oleh tim WBTB yang melibatkan akademisi.
Masyarakat diminta terus menjaga tradisi itu seperti halnya merawat tradisi makan rasi dan tutup taun yang ditetapkan jadi WBTB Jabar dan Indonesia.
Bagi masyarakat masyarakat Kampung Cireundeu, perayaan upacara adat Tutup Taun Ngemban Taun 1 Sura layaknya Lebaran bagi kaum muslim.
Tradisi ini melibatkan serangkaian kegiatan keagamaan, budaya, dan refleksi bersama, yang bertujuan untuk menjaga harmoni antara manusia, alam, dan sang pencipta.
"Dua tradisi ini harus diturunkan ke anak keturunan kita, khususnya di Cireundeu. Wajib dirawat dan dilestarikan. Jadi setelah ditetapkan, ada tanggung jawab di baliknya," kata dia.
Deputi Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jawa Barat Muslimin Anwar mengungkapkan pihaknya terus mendorong pengembangan desa wisata sebagai bagian dari upaya meningkatkan potensi pariwisata daerah.
Muslimin menjelaskan terdapat tiga fokus utama pengembangan yang diarahkan pada tiga aspek penting, yaitu aksesibilitas, fasilitas, dan atraksi pada pengembangan desa wisata.
Aksesibilitas di Kampung Cireundeu maupun desa wisata lainnya di Jawa Barat masih memerlukan perhatian lebih, misalnya, perbaikan infrastruktur agar dapat mengundang lebih banyak wisatawan.
Dari segi fasilitas, Pemerintah dan BI Jabar mengutamakan pembangunan homestay yang nyaman dan inovatif. Salah satu inovasi yang dikembangkan adalah konsep camping ground yang dinilai mampu menarik minat wisatawan muda.
Keunikan desa wisata ada pada kehidupan sehari-hari warganya karena wisatawan tidak mencari hal-hal mewah, tetapi pengalaman autentik yang berbeda dari kehidupan kota besar.
Kampung Cireundeu telah mengajarkan banyak hal, terutama tentang pentingnya ketahanan pangan dan bagaimana sebuah komunitas dapat bertahan hidup dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada.
Di tengah perubahan zaman, masyarakat Cireundeu tetap teguh pada prinsip mereka bahwa makan tidak harus dengan nasi. Singkong, yang dulu dianggap sebagai makanan sederhana, kini menjadi simbol ketahanan dan kebijaksanaan dalam menghadapi tantangan hidup.
Dengan prinsip sederhana “kenyang tak harus nasi,” Kampung Cireundeu tidak hanya menunjukkan cara hidup yang berbasis pada ketahanan pangan, tetapi juga mengajak manusia untuk lebih bijak dalam memilih sumber pangan dan lebih mengutamakan kemandirian pangan.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kampung Cireundeu, hidup tanpa nasi selama seabad
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2024