"Pengalaman adalah guru terbaik," merupakan pepatah yang semestinya selalu dimaknai dalam aktivitas demokrasi yang paling konkret dilakukan masyarakat di Indonesia, yakni dalam pemilihan umum.
Tak terasa negara Indonesia yang sepakat untuk menerapkan sistem demokrasi ini tak lama lagi menginjak usia 80 tahun. Selama itu pula, sistem pemilu terus berubah-ubah mengikuti perkembangan situasi politik.
Walaupun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung baru digelar lima kali sejak tahun 2004, pesta demokrasi di negeri ini sebetulnya sudah ada sejak tahun 1955 dengan adanya pemilu legislatif.
Dahulu, pemilu legislatif merupakan gerbang awal untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Sebab, Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berperan untuk menentukan sosok pemimpin bangsa.
Dari beragam pengalaman yang muncul selama perjalanannya, sistem pemilu akhirnya diganti dengan sistem pemilihan secara langsung. Kini, rakyat pun bisa secara langsung memilih calon eksekutif maupun legislatif dengan mencoblos kertas berisi foto beserta nama kandidat.
Namun seperti pepatah di awal, sistem pemilu terkini yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 masih menyisakan kompleksitas, berdasarkan penilaian sejumlah pihak. Maka ide untuk transformasi kian berkembang, agar sistem pemilu selalu bisa disempurnakan.
Kini, DPR RI melalui Badan Legislasi sedang menyerap masukan dari berbagai kalangan untuk menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025--2029. Salah satu aspirasi yang kerap menjadi pembahasan hangat adalah untuk merevisi sistem pemilu dengan memasukkan RUU Pemilu dalam Prolegnas.
Keserentakan
Pemilu 2019 merupakan sejarah bagi Indonesia karena menjadi pesta demokrasi yang pertama kalinya dilaksanakan secara serentak, dengan memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR RI, Anggota DPD RI, Anggota DPRD Provinsi, dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota.
Dengan begitu, ada lima surat suara yang musti dicoblos oleh masyarakat di dalam bilik suara. Setelah membuka lipatan dan melipat kembali lima surat suara, tentunya mereka pun memasukkan satu per satu surat suara ke dalam lima kotak yang berbeda.
Adanya sistem pemilu serentak merupakan hasil dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14 Tahun 2013. Putusan tersebut menyatakan bahwa Pemilu 2019 dan seterusnya harus dilaksanakan secara serentak dengan lima kotak.
Pertimbangannya, MK mendorong agar pemilu serentak itu menciptakan efektivitas terhadap sistem presidensial, serta mempertimbangkan efisiensi penyelenggaraan pemilu. Yayasan Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) menilai bahwa sistem pemilu secara serentak yang dilakukan pada Pemilu 2019 itu menimbulkan kompleksitas yang luar biasa. Hal tersebut lantas diulangi kembali di tahun 2024.
Sebetulnya pada tahun 2020, wacana revisi terhadap Undang-Undang Pemilu sudah bergulir, tetapi batal karena terjadi hambatan berkaitan dengan adanya Pandemi COVID-19.
Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Agustyati mengatakan pihaknya sudah melakukan 26 kali uji materi kepada MK terkait undang-undang pemilu. Dia mencatat bahwa pemilu serentak menciptakan belasan juta surat suara menjadi tidak sah karena berbagai kompleksitas permasalahannya.
"Karena kita sudah 26 tahun reformasi, saya rasa kita sepakat bahwa demokrasi kita harus bergeser dari demokrasi prosedural ke demokrasi substansial, saya meyakini salah satu caranya adalah perbaikan sistem politik dan sistem kepemiluan kita," kata Khoirunnisa.
Salah satu ide dan cara untuk memecahkan masalah lima kotak dalam pemilu serentak muncul dari organisasi Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR). Mereka ingin agar ada pemisahan antara pemilu tingkat nasional dan tingkat daerah atau lokal.
Pemisahan yang dimaksud, untuk pemilu nasional terdiri atas Pilpres, Pileg DPR RI, dan Pileg DPD RI, sedangkan untuk pemilu lokal terdiri atas Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur, Pemilihan Bupati-Wakil Bupati atau Pemilihan Wali Kota-Wakil Wali Kota, Pemilihan DPRD Provinsi, dan Pemilihan DPRD Kabupaten/Kota.
Namun, Koordinator Nasional JPPR Rendy Umboh menyarankan agar pemilu nasional dan pemilu lokal tidak diselenggarakan dalam waktu yang terlalu jauh. Untuk tahun 2029 mendatang, sebaiknya pemilu nasional digelar pada Februari, sedangkan pemilu lokal digelar pada Mei.
Kalau misalnya selisih 2 tahun pemilu nasional dan lokal, masalahnya ada di DPRD provinsi/kabupaten/kota, apakah bisa diperpanjang atau tidak? Menurut konstitusi tidak" katanya.
Tutup celah politik uang
Selain soal teknis pemilihan, pelanggaran pemilu yang kerap muncul hingga menjadi rahasia umum adalah politik uang. Mantan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo juga pernah berkelakar soal istilah NPWP, yaitu "nomor piro, wani piro" (nomor berapa, berani berapa).
Istilah "serangan fajar" yang menjadi hal buruk bagi demokrasi, seakan-akan justru menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu oleh para pemilih "bermasalah". Politik uang pun kian memberatkan siapa pun yang berkehendak untuk menjadi pemimpin atau wakil rakyat.
Lagi-lagi rahasia umum bahwa modal biaya untuk menjadi peserta pemilu tidaklah sedikit. Hal itu pun salah satunya dikonfirmasi oleh salah satu Anggota DPR RI Muslim Ayub yang menyebutkan bahwa para legislator memerlukan biaya Rp20 miliar dalam pemilu.
Pasalnya, dia juga mengungkapkan bahwa ada oknum-oknum pemilih yang meminta imbalan hingga Rp200 ribu untuk satu surat suara.
Kemudian bukan hanya soal penurunan nilai demokrasi, biaya politik yang mahal pun menyebabkan kaum perempuan enggan untuk maju ke dunia politik, khususnya sebagai calon anggota legislatif.
Anggota DPR RI Ahmad Doli Kurnia menyebutkan bahwa partainya sempat kesulitan untuk mencari kader perempuan yang ingin maju menjadi anggota legislatif.
Presiden Prabowo Subianto, sebelum menjadi presiden pun sempat beberapa kali menilai bahwa demokrasi di Indonesia memerlukan biaya yang mahal. Walaupun begitu, dalam visi dan misinya, dia tetap berkomitmen untuk menegakkan demokrasi.
Penggunaan sistem pemungutan suara secara elektronik atau e-Voting pun menjadi salah satu cara efisien untuk memangkas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pemilu, baik teknis maupun soal politik uang.
Maka apa pun produk legislasi mengenai pemilu yang nantinya dihasilkan oleh DPR RI, hal ini diharapkan bisa merevolusi sistem pemilu menjadi lebih baik dan lebih bermanfaat.
Karena, jika masalah pemilu terus ada, maka gugatan-gugatan terhadap hasil pemilu akan terus bermunculan.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Sahut-sahutan di Senayan untuk revisi UU Pemilu
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2024
Tak terasa negara Indonesia yang sepakat untuk menerapkan sistem demokrasi ini tak lama lagi menginjak usia 80 tahun. Selama itu pula, sistem pemilu terus berubah-ubah mengikuti perkembangan situasi politik.
Walaupun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung baru digelar lima kali sejak tahun 2004, pesta demokrasi di negeri ini sebetulnya sudah ada sejak tahun 1955 dengan adanya pemilu legislatif.
Dahulu, pemilu legislatif merupakan gerbang awal untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Sebab, Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berperan untuk menentukan sosok pemimpin bangsa.
Dari beragam pengalaman yang muncul selama perjalanannya, sistem pemilu akhirnya diganti dengan sistem pemilihan secara langsung. Kini, rakyat pun bisa secara langsung memilih calon eksekutif maupun legislatif dengan mencoblos kertas berisi foto beserta nama kandidat.
Namun seperti pepatah di awal, sistem pemilu terkini yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 masih menyisakan kompleksitas, berdasarkan penilaian sejumlah pihak. Maka ide untuk transformasi kian berkembang, agar sistem pemilu selalu bisa disempurnakan.
Kini, DPR RI melalui Badan Legislasi sedang menyerap masukan dari berbagai kalangan untuk menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025--2029. Salah satu aspirasi yang kerap menjadi pembahasan hangat adalah untuk merevisi sistem pemilu dengan memasukkan RUU Pemilu dalam Prolegnas.
Keserentakan
Pemilu 2019 merupakan sejarah bagi Indonesia karena menjadi pesta demokrasi yang pertama kalinya dilaksanakan secara serentak, dengan memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR RI, Anggota DPD RI, Anggota DPRD Provinsi, dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota.
Dengan begitu, ada lima surat suara yang musti dicoblos oleh masyarakat di dalam bilik suara. Setelah membuka lipatan dan melipat kembali lima surat suara, tentunya mereka pun memasukkan satu per satu surat suara ke dalam lima kotak yang berbeda.
Adanya sistem pemilu serentak merupakan hasil dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14 Tahun 2013. Putusan tersebut menyatakan bahwa Pemilu 2019 dan seterusnya harus dilaksanakan secara serentak dengan lima kotak.
Pertimbangannya, MK mendorong agar pemilu serentak itu menciptakan efektivitas terhadap sistem presidensial, serta mempertimbangkan efisiensi penyelenggaraan pemilu. Yayasan Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) menilai bahwa sistem pemilu secara serentak yang dilakukan pada Pemilu 2019 itu menimbulkan kompleksitas yang luar biasa. Hal tersebut lantas diulangi kembali di tahun 2024.
Sebetulnya pada tahun 2020, wacana revisi terhadap Undang-Undang Pemilu sudah bergulir, tetapi batal karena terjadi hambatan berkaitan dengan adanya Pandemi COVID-19.
Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Agustyati mengatakan pihaknya sudah melakukan 26 kali uji materi kepada MK terkait undang-undang pemilu. Dia mencatat bahwa pemilu serentak menciptakan belasan juta surat suara menjadi tidak sah karena berbagai kompleksitas permasalahannya.
"Karena kita sudah 26 tahun reformasi, saya rasa kita sepakat bahwa demokrasi kita harus bergeser dari demokrasi prosedural ke demokrasi substansial, saya meyakini salah satu caranya adalah perbaikan sistem politik dan sistem kepemiluan kita," kata Khoirunnisa.
Salah satu ide dan cara untuk memecahkan masalah lima kotak dalam pemilu serentak muncul dari organisasi Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR). Mereka ingin agar ada pemisahan antara pemilu tingkat nasional dan tingkat daerah atau lokal.
Pemisahan yang dimaksud, untuk pemilu nasional terdiri atas Pilpres, Pileg DPR RI, dan Pileg DPD RI, sedangkan untuk pemilu lokal terdiri atas Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur, Pemilihan Bupati-Wakil Bupati atau Pemilihan Wali Kota-Wakil Wali Kota, Pemilihan DPRD Provinsi, dan Pemilihan DPRD Kabupaten/Kota.
Namun, Koordinator Nasional JPPR Rendy Umboh menyarankan agar pemilu nasional dan pemilu lokal tidak diselenggarakan dalam waktu yang terlalu jauh. Untuk tahun 2029 mendatang, sebaiknya pemilu nasional digelar pada Februari, sedangkan pemilu lokal digelar pada Mei.
Kalau misalnya selisih 2 tahun pemilu nasional dan lokal, masalahnya ada di DPRD provinsi/kabupaten/kota, apakah bisa diperpanjang atau tidak? Menurut konstitusi tidak" katanya.
Tutup celah politik uang
Selain soal teknis pemilihan, pelanggaran pemilu yang kerap muncul hingga menjadi rahasia umum adalah politik uang. Mantan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo juga pernah berkelakar soal istilah NPWP, yaitu "nomor piro, wani piro" (nomor berapa, berani berapa).
Istilah "serangan fajar" yang menjadi hal buruk bagi demokrasi, seakan-akan justru menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu oleh para pemilih "bermasalah". Politik uang pun kian memberatkan siapa pun yang berkehendak untuk menjadi pemimpin atau wakil rakyat.
Lagi-lagi rahasia umum bahwa modal biaya untuk menjadi peserta pemilu tidaklah sedikit. Hal itu pun salah satunya dikonfirmasi oleh salah satu Anggota DPR RI Muslim Ayub yang menyebutkan bahwa para legislator memerlukan biaya Rp20 miliar dalam pemilu.
Pasalnya, dia juga mengungkapkan bahwa ada oknum-oknum pemilih yang meminta imbalan hingga Rp200 ribu untuk satu surat suara.
Kemudian bukan hanya soal penurunan nilai demokrasi, biaya politik yang mahal pun menyebabkan kaum perempuan enggan untuk maju ke dunia politik, khususnya sebagai calon anggota legislatif.
Anggota DPR RI Ahmad Doli Kurnia menyebutkan bahwa partainya sempat kesulitan untuk mencari kader perempuan yang ingin maju menjadi anggota legislatif.
Presiden Prabowo Subianto, sebelum menjadi presiden pun sempat beberapa kali menilai bahwa demokrasi di Indonesia memerlukan biaya yang mahal. Walaupun begitu, dalam visi dan misinya, dia tetap berkomitmen untuk menegakkan demokrasi.
Penggunaan sistem pemungutan suara secara elektronik atau e-Voting pun menjadi salah satu cara efisien untuk memangkas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pemilu, baik teknis maupun soal politik uang.
Maka apa pun produk legislasi mengenai pemilu yang nantinya dihasilkan oleh DPR RI, hal ini diharapkan bisa merevolusi sistem pemilu menjadi lebih baik dan lebih bermanfaat.
Karena, jika masalah pemilu terus ada, maka gugatan-gugatan terhadap hasil pemilu akan terus bermunculan.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Sahut-sahutan di Senayan untuk revisi UU Pemilu
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2024