Antarajabar.com - Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) bersama Fakultas Kedokteran Universitas Pajajaran, Perhimpunan Kedokteran Nuklir Indonesia (PKNI) dan RSUP Hasan Sadikin menggelar lokakarya pengkajian dosis radiasi (dosimetri) dalam upaya meningkatkan layanan kesehatan berteknologi nuklir.
"Kegiatan ini aspek penting dalam meningkatkan layanan kesehatan dan pendidikan mengenai dosis radiasi untuk penderita penyakit mematikan diantaranya kanker. Dosimetri ini adalah dosis radiasi yang perlu dikembangkan dan diaplikasikan maksimal," kata Deputi Kepala Batan Bidang Sains dan Aplikasi Teknologi Nuklir Ferhat Aziz di Gedung Eyckman Kota Bandung, Rabu.
Ia mengatakan pihaknya berusaha mengembangkan teknik di segala bidang. Salah satunya di bidang kesehatan dengan mengembangkan produk radiofarmaka tersertifikasi diagnostik dan terapi. Kegiatan tersebut membutuhkan pengkajian internal dosimetri.
Kajian tersebut menurut dia mulai dari tahap studi praklinis sampai dengan uji klinis sebagai salah satu faktor keselamatan yang mendukung produk radiofarmaka sampai dengan tahap sertifikasi sehingga manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.
"Kegiatan BATAN berfokus pada penelitian dan pengembangan berbagai bidang diantaranya kesehatan. Hasil penelitian dan pengembangan tersebut kemudin disosialisasikan ke lembaga terkait," katanya.
Ketua PKNI Trias Nugrahadi mengatakan saat ini yang diperlukan adalah keamanan dan keselamatan pasien, makapihaknya harus mengatahui dosimetri internal yaitu ukuran dosis radiasi yang dapat diterima pasien tanpa melebihi batas ambang.
"Penetapan batas ambang dosis radiasi berbeda antara pasien dengan pekerja di lembaga yang berhubungan dengan radiasi. Bila dosis untuk pasien itu disesuakan diantaranya dengan tekanan darah dan sebagainya," katanya.
Dosis radiasi untuk pekerja di lembaga yang berhubungan dengan radiasi telah ditentukan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA), yakni untuk dosis efektif sebesar 20 milisievert (mSv) rata-rata setiap tahun selama lima tahun berturut-turut dan dosis efektif sebesar 50 mSv dalam satu tahun tertentu.
"Kami sebagai pengguna radiasi di kedokteran fokus mengenai pelayanan kedokteran nuklir merasa pelayanan radiasi ini masih kurang dibandingkan dengan jumlah pasien yang sekian banyak di Indonesia," katanya.
Jumlah dokter ahli di bidang kedokteran nuklir masih minim yakni dari 247 juta jiwa masyarakat Indonesia hanya ada 31 dokter spesialis kedokteran nuklir.
Padahal kata dia idealnya setiap provinsi ada satu dokter spesialis kedokteran nuklir. Saat ini ada sebanyak 12 rumah sakit yang menyediakan fasilitas kedokteran nuklir, tujuh di Jakarta, dan sisanya di Medan, Padang, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya.
Trias mengharapkan bagi pekerja radiasi dapat mengetahui dosis radiasi yang aman dan seluruh peserta lokakarya memperoleh ilmu dan pengalaman baru. Selain itu Batan dengan institut terkait baik di dalam maupun di luar negeri dapat menjalin kerja sama dalam pengembangan keselamatan dan pemanfaatan teknologi nuklir di bidang kesehatan di Indonesia.***4***
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2015