Antarajawabarat.com, 26/6 - Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji menyatakan kekhawatiran terhadap penyadapan yang dilakukan KPK tidak perlu dijadikan alasan untuk melakukan revisi UU No 30 tahun 2002 tentang KPK karena penegak hukum lain juga punya kewenangan penyadapan.
"Saya kurang paham terhadap pihak-pihak yang bersemangat untuk revisi UU KPK khususnya terkait marwah KPK berupa Penyadapan (wiretaping), kemungkinan ada rasa kekhawatiran dari yang akan maupun telah jadi korban OTT (Operasi Tangkap Tangan) atau ekstrimnya akan melakukan delegitimasi KPK," kata Indriyanto melalui pesan singkat, Jumat.
Pada Selasa (23/6), dalam rapat paripurna DPR, revisi UU No 30 tahun 2002 tentang KPK resmi masuk dalam Proyeksi Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas) 2015, salah satu hal yang akan direvisi adalah terkait kewenangan penyadapan agar tidak melanggar HAM.
"Perlu diketahui, dan hal ini juga tidak dipahami penegak hukum lainnya) bahwa sesuai pasal 26 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maupun penjelasannya, sejak proses penyelidikan/penyidikan/penuntutan, penegak hukum diperkenankan melakukan penyadapan/wiretapping," ungkap Indriyanto.
Dalam penjelasan pasal 26 UU No 31 tahun 1999 disebutkan bahwa "Kewenangan penyidik dalam Pasal ini termasuk wewenang untuk melakukan penyadapan (wiretaping)."
Dia mengatakan, KPK satu-satunya lembaga penegak hukum yang kinerja monitoring penyadapan yang selalu mendapat evaluasi ketat teknis/administratif dari Menkoinfo, artinya selalu dilakukan dengan basis 'tight' dan 'strict'.
"Jadi jangan punya pemahaman seolah penegak hukum lainnya tidak dapat melakukan wiretapping, bahkan 'joint eracadition corruption' di antara lembaga penegak hukum dengan legitimasi sadap adalah sesuatu yang efektif dan bermanfaat bagi negara," tambah Indriyanto.
Sehingga menurut Indriyanto memang tidak ada perberdaan kewenangna penyadapan di antara penegak hukum.
"Banyak yang kurang mendalami UU Pemberantasan Tipikor, karena sejak tahun 1999 sejak UU tersebut diperlakukan dan saya juga tim perumus, dalam penjelasan pasal 26 dinyatakan penyidik, termasuk penyelidik atau PU memiliki kewenangan sadap, memang tidak ada perbedaan dalam wewenang penyadapan di antara penegak hukum," tegas Indriyanto.
Meski pada praktiknya penyidik Polri bila ingin melakukan penyadapan harus meminta izin pengadilan, sedangkan KPK tidak perlu.
"Basisnya (Polri) punya kewenangan sadap, soal izin, itu hal administratif dan bisa diajukan pada Rancangan UU Polri inisiatif DPR. Izin pengadilan ada eksepsionalitasnya karena sadap itu mendesak, jadi bukan izin, tapi sekedar lapor saja ke pengadilan, jadi tidak ada perbedaan secara substansi," jelas Indriyanto.
Artinya menurut Indriyanto revisi UU KPK harus memperhatian kolom "mengingat" pada UU KPK, yaitu adanya unsur legalistik menunjuk Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU Pemberantsan Tipikor.
"Bahkan seharusnya ada KUHP, karena revisi tanpa adanya harmonisasi UU terkait justru menimbulkan tumpang tindih yang akan menimbulkan disharmonisasi dan merusak tahanan unifikasi dan kodifikasi hukum pidana," tambah Indiryanto.
Alasan DPR untuk memasukkan revisi UU KPK ke Prolegnas 2015 adalah untuk mengakomodasi permintaan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly karena menilai ada beberapa alasan kegentingan yaitu terkait kewenangan penyadapan dengan pelanggaran HAM, penuntutan yang perlu disinergikan dengan kewenangan Kejaksaan, perlunya dibentuk dewan pengawas terkait pengaturan pelaksanaan tugas pimpinan jika berhalangan dan penguatan pengaturan kolektif kolegial.
Padahal pada 19 Juni 2015, Presiden Jokowi dalam rapat terbatas dengan sejumlah menteri dan pemimpin lembaga sudah menyatakan penolakan terhadap revisi UU KPK masuk dalam Prolegnas 2015.
KPK sendiri meminta agar revisi UU KPK menunggu harmonisasi dengan UU lain yaitu UU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun UU No 6 tahun 2007 tentang ratifikasi atas United Nation Convention Agains Corruption (UNCAC) atau Konvensi PBB Antikorupsi.***2***Budi Suyanto
antara
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2015
"Saya kurang paham terhadap pihak-pihak yang bersemangat untuk revisi UU KPK khususnya terkait marwah KPK berupa Penyadapan (wiretaping), kemungkinan ada rasa kekhawatiran dari yang akan maupun telah jadi korban OTT (Operasi Tangkap Tangan) atau ekstrimnya akan melakukan delegitimasi KPK," kata Indriyanto melalui pesan singkat, Jumat.
Pada Selasa (23/6), dalam rapat paripurna DPR, revisi UU No 30 tahun 2002 tentang KPK resmi masuk dalam Proyeksi Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas) 2015, salah satu hal yang akan direvisi adalah terkait kewenangan penyadapan agar tidak melanggar HAM.
"Perlu diketahui, dan hal ini juga tidak dipahami penegak hukum lainnya) bahwa sesuai pasal 26 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maupun penjelasannya, sejak proses penyelidikan/penyidikan/penuntutan, penegak hukum diperkenankan melakukan penyadapan/wiretapping," ungkap Indriyanto.
Dalam penjelasan pasal 26 UU No 31 tahun 1999 disebutkan bahwa "Kewenangan penyidik dalam Pasal ini termasuk wewenang untuk melakukan penyadapan (wiretaping)."
Dia mengatakan, KPK satu-satunya lembaga penegak hukum yang kinerja monitoring penyadapan yang selalu mendapat evaluasi ketat teknis/administratif dari Menkoinfo, artinya selalu dilakukan dengan basis 'tight' dan 'strict'.
"Jadi jangan punya pemahaman seolah penegak hukum lainnya tidak dapat melakukan wiretapping, bahkan 'joint eracadition corruption' di antara lembaga penegak hukum dengan legitimasi sadap adalah sesuatu yang efektif dan bermanfaat bagi negara," tambah Indriyanto.
Sehingga menurut Indriyanto memang tidak ada perberdaan kewenangna penyadapan di antara penegak hukum.
"Banyak yang kurang mendalami UU Pemberantasan Tipikor, karena sejak tahun 1999 sejak UU tersebut diperlakukan dan saya juga tim perumus, dalam penjelasan pasal 26 dinyatakan penyidik, termasuk penyelidik atau PU memiliki kewenangan sadap, memang tidak ada perbedaan dalam wewenang penyadapan di antara penegak hukum," tegas Indriyanto.
Meski pada praktiknya penyidik Polri bila ingin melakukan penyadapan harus meminta izin pengadilan, sedangkan KPK tidak perlu.
"Basisnya (Polri) punya kewenangan sadap, soal izin, itu hal administratif dan bisa diajukan pada Rancangan UU Polri inisiatif DPR. Izin pengadilan ada eksepsionalitasnya karena sadap itu mendesak, jadi bukan izin, tapi sekedar lapor saja ke pengadilan, jadi tidak ada perbedaan secara substansi," jelas Indriyanto.
Artinya menurut Indriyanto revisi UU KPK harus memperhatian kolom "mengingat" pada UU KPK, yaitu adanya unsur legalistik menunjuk Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU Pemberantsan Tipikor.
"Bahkan seharusnya ada KUHP, karena revisi tanpa adanya harmonisasi UU terkait justru menimbulkan tumpang tindih yang akan menimbulkan disharmonisasi dan merusak tahanan unifikasi dan kodifikasi hukum pidana," tambah Indiryanto.
Alasan DPR untuk memasukkan revisi UU KPK ke Prolegnas 2015 adalah untuk mengakomodasi permintaan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly karena menilai ada beberapa alasan kegentingan yaitu terkait kewenangan penyadapan dengan pelanggaran HAM, penuntutan yang perlu disinergikan dengan kewenangan Kejaksaan, perlunya dibentuk dewan pengawas terkait pengaturan pelaksanaan tugas pimpinan jika berhalangan dan penguatan pengaturan kolektif kolegial.
Padahal pada 19 Juni 2015, Presiden Jokowi dalam rapat terbatas dengan sejumlah menteri dan pemimpin lembaga sudah menyatakan penolakan terhadap revisi UU KPK masuk dalam Prolegnas 2015.
KPK sendiri meminta agar revisi UU KPK menunggu harmonisasi dengan UU lain yaitu UU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun UU No 6 tahun 2007 tentang ratifikasi atas United Nation Convention Agains Corruption (UNCAC) atau Konvensi PBB Antikorupsi.***2***Budi Suyanto
antara
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2015