Antarajawabarat.com, 4/2 - Produk garam nasional baru sebatas mencukupi konsumsi rumah tangga belum bisa memenuhi kebutuhan industri, kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Cucu Sutara di Bandung, Rabu.

"Produsen garam dalam negeri saat ini hanya mencukupi untuk kebutuhan konsumsi, baik secara kualitas maupun kuantitas. Sedangkan untuk garam industri masih harus impor," kata Cucu Sutara.

Ia menyebutkan, dengan produki garam dengan kuantitas dan kualitas yang ada saat ini, maka kebutuhan garam industri belum bisa dicukupi oleh produsen nasional.

Menurut Cucu Sutara, kebutuhan garam nasional saat ini sebesar 3,5 juta ton per tahun. Sedangkan total rata-rata produksi garam dalam negeri saat ini 1,6 juta ton per tahun. Jumlah produksi itu belum termasuk garam yang memenuhi kebutuhan industri.

Dengan produksi sebanyak itu, maka impor garam masih cukup besar 2,1 juta ton per tahun. Sebagian besar dari impor itu adalah garam industri.

"Sebagian besar garam impor itu untuk industri, farmasi dan lainnya. Sedangkan produk nasional sebagian besar adalah untuk garam konsumsi," katanya.

Sebanyak 1,7 juta ton garam impor itu untuk industri CAP, dan 400 ribu ton untuk pangan. Sehingga kata Cucu Sutara, sulit bagi Indonesia untuk menghentikan impor garam.

"Sulit untuk tidak ekspor garam, karena sebagian besar garam industri dari impor. Speifikasi garam yang dihasilkan di dalam negeri masih belum memenuhi standar industri," katanya.

"Untuk meningkatkan kuantitas garam bisa dilakukan, salah satunya dengan mengoperasikan lagi 8.000-an hektare lahan yang saat ini vacum. Tambak eksiting saat ini 19.658 hektare di tujuh provinsi," katanya.

Cucu Sutara menyebutkan, Indonesia memiliki garis pantai terpanjang, namun tidak serta merta bisa memproduksi garam di sepanjang pantai itu. Produksi garam yang baik hanya bia dilakukan di perairan tertentu, dan di Indonesia hanya ada di tujuh provinsi yakni Jabar 1.716 ha, Jateng 2.748 ha, Jatim 11.867 ha, NTB 1.052 ha, NTT 950 ha, Sulsel 1.025 ha dan Sulawesi Tengah 300 ha.

"Hampir sebagian besar produksi garam dilakukan secara tradisional, itu menjadi kendala dalam upaya meningkatkan kualitas untuk garam industri," katanya.

Menurut Cucu garam industri harus memiliki profile kimia antar lain purirty NaCL 98 persen, calcium maksimal 400ppm, magnesium maksimal 600ppm dan tingkat zat lain yang tak larut dalam air maksimal 0,05 persen.

Sementara itu Ketua Bidang Pengembangan Teknologi BPP AIPGI, Arthur Tanudjadja, mengemukakan, pihaknya perlu melakukan klarifikasi berkaitan dengan wacana penghentian impor garam. Serta ingin mengetahui garam apa yang impornya akan dihentikan pemerintah.

"Selain konsumsi rumah tangga, garam pun dibutuhkan industri kimia, farmasi, dan makanan," kata Arthur.

Selama ini pemenuhan konsumsi rumah tangga tidak perlu impor. Pasalnya kata dia kebutuhan garam untuk kalangan rumah tangga sudah terpenuhi.

Namun untuk kebutuhan non-konsumsi rumah tangga, yaitu industri makanan, farmasi, dan kimia, hingga kini, masih butuh garam impor. Itu karena, jelasnya, spesifikasi produk garam lokal belum memenuhi persyaratan.

"Misalnya, dalam hal kadar air, kadar kalsiumnya, kadar sulfat, dan sebagainya," kata Arthur Tanudjaja menambahkan.***1***

Pewarta:

Editor : Syarif Abdullah


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2015