Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menegaskan fenomena puting beliung yang terjadi di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, terbentuk bukan karena perubahan iklim melainkan faktor-faktor yang bersifat lokal.

Pernyataan itu disampaikan Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Eddy Hermawan untuk meluruskan dugaan awal publik terkait pemicu puting beliung yang kini marak beredar di berbagai platform media sosial.

"Fenomena itu hanya local effect, bukan global effect," ujarnya melalui sambungan telpon di Jakarta, Jumat.

Eddy mengatakan hipotesis terbentuknya puting beliung akibat perubahan tata guna lahan di Rancaekek.

Dahulu kawasan itu adalah perkebunan jati yang hijau yang membuat lingkungan relatif sejuk dan bersih. Sekarang daerah itu telah berubah menjadi kawasan industri dan pemukiman padat.

Menurutnya, industri banyak menghasilkan emisi gas rumah kaca yang mengurung panas matahari. Kondisi itu membuat Rancaekek menjadi kawasan bertekanan rendah yang mengisap uap air dari daerah sekeliling dan membentuk awan-awan besar cumulonimbus.

Pertemuan dua massa uap air dari arah timur dan barat, kemudian diperkuat dari arah selatan Samudera Hindia. Ketiga massa uap air tersebut berkumpul di Rancaekek dan menciptakan puting beliung.

"Perubahan iklim adalah frekuensi kejadian ekstrem meningkat, misalnya di Rancaekek yang dahulu setahun ada tiga kali bencana menjadi enam kali bencana. Sifat perubahan iklim tidak lokal, tetapi global dengan cakupan wilayah yang sangat luas," kata Eddy.

"Kalau puting beliung di Rancaekek dibangkitkan oleh perubahan iklim, maka bukan hanya Rancaekek saja yang mengalami bencana itu, tetapi Pantai Utara Pulau Jawa juga," imbuhnya.

Pada 21 Februari 2024, kejadian ekstrem pusaran angin kencang yang disertai hujan terjadi di Rancaekek. Bencana alam yang berdampak hingga ke Jatinangor, Kabupaten Sumedang, itu terjadi sekitar pukul 16.00 WIB.
Tanggap darurat

Sementara itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung Jawa Barat telah menetapkan status tanggap darurat bencana angin puting beliung selama selama 14 hari mulai dari 22 Februari hingga 6 Maret 2024.

“Ini artinya bahwa Pemkab Bandung sekarang sudah bisa optimal dalam rangka memberikan pelayanan masyarakat yang terkena dampak bencana ini,” kata Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bandung Uka Suska Puji Utama di Kabupaten Bandung, Jumat.

Baca juga: Pemprov Jabar siapkan tenda dan dapur umum bantu penyintas puting beliung

Uska menyampaikan bahwa penetapan status tanggap darurat bencana angin puting beliung tersebut dapat dipersingkat maupun diperpanjang sesuai dengan kebutuhan dan situasi di lapangan.

“Misalnya seminggu sudah selesai begitu, jadi tidak perlu lagi sampai dua minggu begitu, tapi sebaliknya kalau memang belum mencukupi ya kita bisa memperpanjang,” katanya.

Ia menjelaskan, penetapan tanggap darurat bencana angin puting beliung ini menyikapi banyaknya kerusakan rumah yang terjadi akibat bencana ini.

Hingga saat ini, lanjutnya, bencana angin puting beliung pada Rabu (21/2) telah mengakibatkan sebanyak 608 rumah mengalami kerusakan, dengan rincian 198 rusak berat, 233 rusak sedang, dan 177 rusak ringan.

“Jadi untuk total di tiga kecamatan yakni Kecamatan Rancaekek, Cicalengka, dan Cileunyi yang terdampak ini jumlahnya 499 kepala keluarga dengan 1.879 jiwa,” kata Uska.



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: BRIN: Puting beliung di Bandung bukan akibat perubahan iklim

Pewarta: Sugiharto Purnama

Editor : Yuniardi Ferdinan


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2024