Antarajawabarat.com, 26/4 - Badan Kesehatan Dunia (WHO) kawasan Asia Tenggara, berkaitan dengan peringatan Hari Malaria Sedunia pada 25 April, menyerukan penambahan anggaran untuk penanggulangan malaria di kawasan tersebut mengingat tiga dari empat orang beresiko terkena malaria.

"Sebanyak 1,4 miliar orang berada dalam resiko terkena malaria di Asia Tenggara. Mereka seringkali masyarakat miskin, termasuk pekerja di daerah hutan atau perbukitan di proyek-proyek seperti pertambangan, perkebunan, pembangunan jalan dan bendungan serta pertanian di kawasan pedesaan dan perkotaan," kata WHO Regional Director for South-East Asia Poonam Khetrapal Singh dalam pernyataannya yang diterima di Jakarta, Jumat.

Sedangkan penambahan anggaran penanggulangan malaria disebut Singh dibutuhkan untuk diagnosis, obat, kelambu nyamuk berinsektisida, riset dan antisipasi resistansi terhadap obat-obatan dan insektisida.

"Kita harus memberdayakan masyarakat untuk melindungi diri mereka. Eliminasi malaria akan membutuhkan kemauan politik yang besar," kata Singh.

Jumlah kasus positif malaria yang dilaporkan di Asia Tenggara menurun dari 2,9 juta pada 2000 menjadi 2 juta pada 2012 namun penyakit tersebut masih menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat.

Bangladesh, Bhutan, Korea Selatan, Nepal dan Sri Lanka telah berhasil mengurangi kasus malaria lebih dari 75 persen dari tahun 2000-2012 sedangkan Thailand dan Timor Leste berada dalam jalur untuk mengurangi kasus malaria sebesar 75 persen.

India diharapkan untuk dapat mengurangi insiden kasus malaria hingga 50-75 persen pada 2015 mendatang.

Sri Lanka saat ini sudah dalam fase eliminasi dimana tidak ada kasus malaria lokal ditemukan di negara itu sejak November 2012, turun dari 203.000 kasus pada 2000 dan Maladewa sudah bebas malaria sejak tahun 1984.

Upaya global untuk mengontrol dan mengeliminasi malaria diperkirakan telah menyelamatkan sekitar 3,3 juta nyawa dan pada 2000-2012 tingkat kematian akibat malaria berkurang sebesar 42 persen dan insiden kasus malaria menurun 25 persen pada tingkat global.

Tapi penanggulangan malaria dikhawatirkan akan mengalami hambatan dengan meningkatnya resistansi terhadap obat-obatan, semakin banyak nyamuk yang kebal terhadap insektisida dan munculnya kembali penyakit itu di tempat-tempat malaria seharusnya sudah tereliminasi.

Munculnya resistansi terhadap obat malaria artemisinin di Kamboja, Myanmar, Thailand dan Vietnam mengancam capaian global kontrol dan eliminasi malaria karena "artemisinin-based combination treatment" (ACT) saat ini merupakan pengobatan lini pertama untuk jenis malaria paling mematikan yaitu plasmodium falciparum.

Resistansi terhadap obat itu akan membahayakan hidup ratusan ribu orang yang terkena malaria dan sangat dibutuhkan investasi terhadap cara mencegah semakin menyebarnya resistansi terhadap obat tersebut.

Ancaman lain adalah semakin banyaknya nyamuk Anopheles yang menularkan parasit malaria yang kebal terhadap insektisida yang juga harus dicegah semakin menyebarnya resistansi ini.

Investasi tambahan dibutuhkan untuk mengembangkan peralatan baru untuk melakukan riset operasional untuk mengatasi hambatan dalam program penanggulangan malaria dan meningkatkan serta memastikan penggunaan rasional intervensi yang ada.

Selain itu juga dibutuhkan penguatan sistem kesehatan dan mobilisasi aksi multisektoral untuk mempercepat perkembangan menuju eliminasi malaria.

antara

Pewarta:

Editor : Sapto HP


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2014