Politikus yang baru saja menyelesaikan sidang S-3 di Universitas Padjadjaran dengan predikat lulus sangat memuaskan, Abdul Hakam Naja, mengharapkan ekonomi syariah di Indonesia mendapatkan perhatian serius.
"Harapannya saya ke depan itu Indonesia enggak hanya bicara masalah peraturan ekonomi syariah karena ekonomi ini potensinya itu besar," kata Hakam Naja saat dihubungi di Bandung, Senin (14/8) malam.
Baca juga: Begini cara kelola keuangan untuk pendidikan anak berbasis syariah
Hal itu diungkapkan Hakam Naja karena dalam penelitiannya yang membandingkan ekonomi syariah Indonesia dan Malaysia, khususnya perbankan.
Ia menemukan bahwa Indonesia masih ketinggalan dalam beberapa aspek. Padahal, Indonesia memiliki penduduk muslim enam sampai tujuh kali lebih banyak dari Malaysia. Namun, aset perbankannya itu Indonesia seperlimanya.
Malaysia bisa lebih maju, kata Hakam Naja, karena ada keberpihakan dari otoritas setempat untuk memajukan perbankan syariah dan industri halal, yang terlihat dari Malaysia sudah mulai membangun perbankan syariah sejak 1983 melalui Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) dan juga bank syariah pertama di dunia.
Belum lagi industri halal yang sudah mulai dilirik dunia. Misalnya, Brasil, Australia, dan Thailand sudah masuk dan mulai maju dalam industri makanan halal, bahkan Korea Selatan juga sudah akan masuk ke industri kosmetik syariah.
"Nah, Indonesia tampaknya harus betul-betul mindset berubah karena berpikirnya ekonomi syariah itu hanya untuk orang Islam bukan, ini adalah sebuah kegiatan yang orang lain juga memanfaatkan," ucapnya.
Hal itu harus dilakukan, kata Hakam Naja, mengingat potensi belanja konsumsi dari keuangan syariah dan industri halal ini sampai dua triliun dolar AS (Rp30.000 triliun) pada tahun 2021, yang meliputi makanan, obat-obatan, kosmetik, fesyen, perjalanan, serta media/rekreasi.
Ia berharap ke depan Pemerintah bisa membuat suatu perencanaan yang matang yang betul-betul bisa diimplementasikan dan konsisten yang tidak terpengaruh pada pergantian kekuasaan politik tiap 5 tahun atau 10 tahun.
"Jadi, harus memiliki cetak biru yang dijamin berjalan. Jangan juga tiap sektor punya blue print itu. Cukup satu aja disepakati, misalnya blue print bersama dibikin oleh OJK dan Pemerintah, buat tim kalau perlu, malah dibikinlah satu naskah bersama sehingga dipastikan dijalankan oleh Pemerintah dan OJK sekaligus," tuturnya.
Dari informasi yang diberikan pihak Universitas Padjadjaran, Hakam Naja mengajukan disertasi dengan judul Analisis Komparatif Kinerja Perbankan Syariah Indonesia dan Malaysia dengan Metode Maqasid Shariah Index of Islamic Bank (MSI-iB): Integrasi Ukuran Konvensional dengan Ukuran Maqashid Syariah pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis.
Baca juga: Pemkab Bandung tempatkan Rp10 miliar di BJB Syariah dorong perekonomian
Setelah disertasinya diuji oleh Dr. A. Kemal Hidayat, S.E.,M.Sc., Dr. Rudi Kurniawan, S.E.,M.A., Dr. Fitri Hastuti, S.E., M.Si., dan Prof. Dr. Nury Effendi, S.E., M.A., pada hari Senin (14/8), mantan anggota DPR RI tersebut dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan dan IPK 3.89.
Diketahui, Hakam Naja merupakan politisi senior PAN yang pernah dua periode menjadi anggota DPR RI (2004—2009 dan 2009—2014) dan sempat salah satunya bertugas menjadi Wakil Ketua Komisi II DPR RI (2010—2014).
Pada Pilkada Serentak 2016, Abdul Hakam mencalonkan diri sebagai calon Wali Kota Pekalongan, namun kalah.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2023
"Harapannya saya ke depan itu Indonesia enggak hanya bicara masalah peraturan ekonomi syariah karena ekonomi ini potensinya itu besar," kata Hakam Naja saat dihubungi di Bandung, Senin (14/8) malam.
Baca juga: Begini cara kelola keuangan untuk pendidikan anak berbasis syariah
Hal itu diungkapkan Hakam Naja karena dalam penelitiannya yang membandingkan ekonomi syariah Indonesia dan Malaysia, khususnya perbankan.
Ia menemukan bahwa Indonesia masih ketinggalan dalam beberapa aspek. Padahal, Indonesia memiliki penduduk muslim enam sampai tujuh kali lebih banyak dari Malaysia. Namun, aset perbankannya itu Indonesia seperlimanya.
Malaysia bisa lebih maju, kata Hakam Naja, karena ada keberpihakan dari otoritas setempat untuk memajukan perbankan syariah dan industri halal, yang terlihat dari Malaysia sudah mulai membangun perbankan syariah sejak 1983 melalui Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) dan juga bank syariah pertama di dunia.
Belum lagi industri halal yang sudah mulai dilirik dunia. Misalnya, Brasil, Australia, dan Thailand sudah masuk dan mulai maju dalam industri makanan halal, bahkan Korea Selatan juga sudah akan masuk ke industri kosmetik syariah.
"Nah, Indonesia tampaknya harus betul-betul mindset berubah karena berpikirnya ekonomi syariah itu hanya untuk orang Islam bukan, ini adalah sebuah kegiatan yang orang lain juga memanfaatkan," ucapnya.
Hal itu harus dilakukan, kata Hakam Naja, mengingat potensi belanja konsumsi dari keuangan syariah dan industri halal ini sampai dua triliun dolar AS (Rp30.000 triliun) pada tahun 2021, yang meliputi makanan, obat-obatan, kosmetik, fesyen, perjalanan, serta media/rekreasi.
Ia berharap ke depan Pemerintah bisa membuat suatu perencanaan yang matang yang betul-betul bisa diimplementasikan dan konsisten yang tidak terpengaruh pada pergantian kekuasaan politik tiap 5 tahun atau 10 tahun.
"Jadi, harus memiliki cetak biru yang dijamin berjalan. Jangan juga tiap sektor punya blue print itu. Cukup satu aja disepakati, misalnya blue print bersama dibikin oleh OJK dan Pemerintah, buat tim kalau perlu, malah dibikinlah satu naskah bersama sehingga dipastikan dijalankan oleh Pemerintah dan OJK sekaligus," tuturnya.
Dari informasi yang diberikan pihak Universitas Padjadjaran, Hakam Naja mengajukan disertasi dengan judul Analisis Komparatif Kinerja Perbankan Syariah Indonesia dan Malaysia dengan Metode Maqasid Shariah Index of Islamic Bank (MSI-iB): Integrasi Ukuran Konvensional dengan Ukuran Maqashid Syariah pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis.
Baca juga: Pemkab Bandung tempatkan Rp10 miliar di BJB Syariah dorong perekonomian
Setelah disertasinya diuji oleh Dr. A. Kemal Hidayat, S.E.,M.Sc., Dr. Rudi Kurniawan, S.E.,M.A., Dr. Fitri Hastuti, S.E., M.Si., dan Prof. Dr. Nury Effendi, S.E., M.A., pada hari Senin (14/8), mantan anggota DPR RI tersebut dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan dan IPK 3.89.
Diketahui, Hakam Naja merupakan politisi senior PAN yang pernah dua periode menjadi anggota DPR RI (2004—2009 dan 2009—2014) dan sempat salah satunya bertugas menjadi Wakil Ketua Komisi II DPR RI (2010—2014).
Pada Pilkada Serentak 2016, Abdul Hakam mencalonkan diri sebagai calon Wali Kota Pekalongan, namun kalah.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2023