Psikolog lulusan Universitas Indonesia Tara de Thouars, BA, M.Psi mengungkapkan alasan generasi Z bisa kreatif dan inovatif salah satunya karena mereka menganggap pengalaman adalah segalanya.
"Mereka sebetulnya kreatif, inovatif, sangat ambisius, mereka open minded (berpikiran terbuka), ingin mencoba hal-hal baru yang sebetulnya tidak ada di generasi-generasi sebelumnya," kata Tara di Jakarta, Sabtu.
Kreativitas Gen Z, sambung Tara berbeda dengan generasi sebelumnya termasuk X dan Boomer yang menjadikan loyalitas dan kerja keras sebagai nilai utama.
Orang-orang yang termasuk kategori Gen Z lahir tahun 1997 sampai 2012 atau berusia sekitar 11 tahun sampai 27 tahun. Mereka terlahir dan tumbuh langsung di dunia digital atau teknologi yang memberikan banyak kemudahan, cepat, instan, sekaligus segala rintangan.
Tara merujuk pada suatu survei mengungkapkan sekitar 46 persen Gen Z memiliki pekerjaan sampingan, berpandangan perlu memiliki uang tambahan dan memiliki koneksi sebagai suatu keharusan. Sikap itu berbeda dengan generasi pendahulunya, termasuk milenial yang tidak seperti ini.
Kemudian, sekitar 62 persen Gen Z juga selalu tertantang hal baru dan berwirausaha. Menurut survei, bukan hanya mereka punya banyak keinginan dan kemauan tetapi, mereka juga punya perhatian pada bisnis.
"Misalnya jadi kreator konten, dan menghasilkan sesuatu dari situ. Gen Z juga sudah mulai menggaungkan work life balanced (keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan) juga penting. Tidak hanya kerja, tetapi, kehidupan personal, kesehatan mental itu penting," kata Tara menjelaskan.
Berbicara tantangan, menurut Tara, Gen Z menghadapi banyak tuntutan dari generasi sebelumnya termasuk orang tua dan bahkan diri mereka sendiri. Belum lagi, adanya kompetisi atau persaingan, hidup dengan media sosial dengan segala dampak negatifnya.
"Mereka punya tuntutan besar ke diri sendiri, kompetisi, persaingan, mereka harus tumbuh dengan media sosial dengan segala dampak negatifnya, membandingkan diri dengan yang lain, FOMO (fear of missing out, kekhawatiran ketinggalan sesuatu yang sedang tren) dan lainnya. Belum lagi kebutuhan hidup semakin tinggi," kata Tara.
Karena mereka terlahir di dunia serba digital dengan segala kemudahan dan rintangan, plus perbedaan kultur dengan generasi-generasi sebelumnya, tak jarang kondisi itu membuat mereka dipandang sebelah mata.
"Mereka biasanya banyak diistilahkan dengan kata-kata Gen Z itu FOMO-an, cuek, mager (malas gerak), enggak sopan, agresif atau impulsif, banyak banget yang disematkan kepada para Gen Z tetapi oleh generasi sebelumnya," tutur Tara.
Kendati begitu, imbuh dia, Gen Z dikatakan sangat amat spesial karena mempunyai karakter dan visi yang sebetulnya kuat.
Kiat Tarik Gen Z Mau Baca Buku
Pada era digital kebiasaan membaca, terutama Generasi Milenial dan Z, berubah dari bentuk buku secara fisik ke platform digital yang menuntut kalangan penerbit pun harus punya kiat agar bisa mengikuti dan menaklukkan konsumen pembaca buku.
CEO AKAD Group, Andri Agus Fabianto dalam keterangannya di Jakarta, Minggu, mengakui meski milenial dan Gen-Z dikenal sebagai segmen digital savvy atau melek digital, ternyata mereka masih menyukai membaca fiksi atau novel dalam bentuk buku secara fisik.
Hal itu, kata dia, terlihat dari persentase penjualan buku yang diterbitkannya. Pada 2021, porsi penjualan AKAD di online mencapai 95 persen, offline hanya 5 persen. Namun, pada 2022 penjualan online porsinya menurun menjadi 80 persen dan offline naik menjadi 20 persen. Hal itu juga terjadi pada 2023, dimana pada semester pertama 2023, porsi antara online dan offline menjadi 75 persen dan 25 persen.
"Namun, kami memang lebih dulu menjual novel-novel melalui platform online," kata Andri Agus. Kendati demikian, penjualan offline pun tak kalah digarap pihaknya, sehingga sebagian besar novel yang diterbitkan AKAD Group masuk jajaran best seller.
Hal itu setidaknya terlihat dari beberapa penghargaan yang diraih, seperti Penerbit terfavorit ajang penghargaan Bumi Fiksi Choice Award dua tahun beruntun (2021-2022) dan Buku Wattpad Terfavorit (2021 dan 2022) pada ajang yang sama.
Lebih jauh ia mengatakan berdasarkan insight di akun Instagram, Twitter, dan Tiktok AKAD maupun para penulisnya, pengikut akun di platform tersebut berusia 13—17 tahun sebanyak 35 persen dan 18—24 tahun sebanyak 50 persen.
"Artinya, 85 persen pengikut kami adalah anak-anak Gen-Z. Itu sebabnya, sejak awal kami menyasar milenial dan Gen-Z," ujarnya.
Untuk menaklukkan para pembaca di generasi tersebut, sejumlah strategi dan cara dilakukan pihaknya agar bisa terus tumbuh, di antaranya melalui monetisasi novel yang diterbitkan dengan membuat series di platform OTT (over the top) atau film, membuat merchandise karakter pada novel tersebut, hingga membuat lagu dan konser online.
Selain itu, untuk membuat pembaca setia, pihaknya membangun komunitas organik, menggunakan jasa Key Opinion Leader (KOL) dan influencer, serta menggelar kegiatan offline di sekolah hingga toko buku, termasuk menggelar aksi sosial. Tak lupa, kata dia, mendesain cover buku dengan estetik sesuai selera generasi milenial dan Z.
"Buku tidak hanya sebagai bahan bacaan, tapi juga sebagai alat untuk bisa masuk ke komunitas digital (bersosialisasi), kebutuhan konten sosial media, dan FOMO (fear of missing out) atau tidak mau ketinggalan tren," kata Andri.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Psikolog ungkap alasan Gen Z bisa kreatif dan inovatif
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2023
"Mereka sebetulnya kreatif, inovatif, sangat ambisius, mereka open minded (berpikiran terbuka), ingin mencoba hal-hal baru yang sebetulnya tidak ada di generasi-generasi sebelumnya," kata Tara di Jakarta, Sabtu.
Kreativitas Gen Z, sambung Tara berbeda dengan generasi sebelumnya termasuk X dan Boomer yang menjadikan loyalitas dan kerja keras sebagai nilai utama.
Orang-orang yang termasuk kategori Gen Z lahir tahun 1997 sampai 2012 atau berusia sekitar 11 tahun sampai 27 tahun. Mereka terlahir dan tumbuh langsung di dunia digital atau teknologi yang memberikan banyak kemudahan, cepat, instan, sekaligus segala rintangan.
Tara merujuk pada suatu survei mengungkapkan sekitar 46 persen Gen Z memiliki pekerjaan sampingan, berpandangan perlu memiliki uang tambahan dan memiliki koneksi sebagai suatu keharusan. Sikap itu berbeda dengan generasi pendahulunya, termasuk milenial yang tidak seperti ini.
Kemudian, sekitar 62 persen Gen Z juga selalu tertantang hal baru dan berwirausaha. Menurut survei, bukan hanya mereka punya banyak keinginan dan kemauan tetapi, mereka juga punya perhatian pada bisnis.
"Misalnya jadi kreator konten, dan menghasilkan sesuatu dari situ. Gen Z juga sudah mulai menggaungkan work life balanced (keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan) juga penting. Tidak hanya kerja, tetapi, kehidupan personal, kesehatan mental itu penting," kata Tara menjelaskan.
Berbicara tantangan, menurut Tara, Gen Z menghadapi banyak tuntutan dari generasi sebelumnya termasuk orang tua dan bahkan diri mereka sendiri. Belum lagi, adanya kompetisi atau persaingan, hidup dengan media sosial dengan segala dampak negatifnya.
"Mereka punya tuntutan besar ke diri sendiri, kompetisi, persaingan, mereka harus tumbuh dengan media sosial dengan segala dampak negatifnya, membandingkan diri dengan yang lain, FOMO (fear of missing out, kekhawatiran ketinggalan sesuatu yang sedang tren) dan lainnya. Belum lagi kebutuhan hidup semakin tinggi," kata Tara.
Karena mereka terlahir di dunia serba digital dengan segala kemudahan dan rintangan, plus perbedaan kultur dengan generasi-generasi sebelumnya, tak jarang kondisi itu membuat mereka dipandang sebelah mata.
"Mereka biasanya banyak diistilahkan dengan kata-kata Gen Z itu FOMO-an, cuek, mager (malas gerak), enggak sopan, agresif atau impulsif, banyak banget yang disematkan kepada para Gen Z tetapi oleh generasi sebelumnya," tutur Tara.
Kendati begitu, imbuh dia, Gen Z dikatakan sangat amat spesial karena mempunyai karakter dan visi yang sebetulnya kuat.
Kiat Tarik Gen Z Mau Baca Buku
Pada era digital kebiasaan membaca, terutama Generasi Milenial dan Z, berubah dari bentuk buku secara fisik ke platform digital yang menuntut kalangan penerbit pun harus punya kiat agar bisa mengikuti dan menaklukkan konsumen pembaca buku.
CEO AKAD Group, Andri Agus Fabianto dalam keterangannya di Jakarta, Minggu, mengakui meski milenial dan Gen-Z dikenal sebagai segmen digital savvy atau melek digital, ternyata mereka masih menyukai membaca fiksi atau novel dalam bentuk buku secara fisik.
Hal itu, kata dia, terlihat dari persentase penjualan buku yang diterbitkannya. Pada 2021, porsi penjualan AKAD di online mencapai 95 persen, offline hanya 5 persen. Namun, pada 2022 penjualan online porsinya menurun menjadi 80 persen dan offline naik menjadi 20 persen. Hal itu juga terjadi pada 2023, dimana pada semester pertama 2023, porsi antara online dan offline menjadi 75 persen dan 25 persen.
"Namun, kami memang lebih dulu menjual novel-novel melalui platform online," kata Andri Agus. Kendati demikian, penjualan offline pun tak kalah digarap pihaknya, sehingga sebagian besar novel yang diterbitkan AKAD Group masuk jajaran best seller.
Hal itu setidaknya terlihat dari beberapa penghargaan yang diraih, seperti Penerbit terfavorit ajang penghargaan Bumi Fiksi Choice Award dua tahun beruntun (2021-2022) dan Buku Wattpad Terfavorit (2021 dan 2022) pada ajang yang sama.
Lebih jauh ia mengatakan berdasarkan insight di akun Instagram, Twitter, dan Tiktok AKAD maupun para penulisnya, pengikut akun di platform tersebut berusia 13—17 tahun sebanyak 35 persen dan 18—24 tahun sebanyak 50 persen.
"Artinya, 85 persen pengikut kami adalah anak-anak Gen-Z. Itu sebabnya, sejak awal kami menyasar milenial dan Gen-Z," ujarnya.
Untuk menaklukkan para pembaca di generasi tersebut, sejumlah strategi dan cara dilakukan pihaknya agar bisa terus tumbuh, di antaranya melalui monetisasi novel yang diterbitkan dengan membuat series di platform OTT (over the top) atau film, membuat merchandise karakter pada novel tersebut, hingga membuat lagu dan konser online.
Selain itu, untuk membuat pembaca setia, pihaknya membangun komunitas organik, menggunakan jasa Key Opinion Leader (KOL) dan influencer, serta menggelar kegiatan offline di sekolah hingga toko buku, termasuk menggelar aksi sosial. Tak lupa, kata dia, mendesain cover buku dengan estetik sesuai selera generasi milenial dan Z.
"Buku tidak hanya sebagai bahan bacaan, tapi juga sebagai alat untuk bisa masuk ke komunitas digital (bersosialisasi), kebutuhan konten sosial media, dan FOMO (fear of missing out) atau tidak mau ketinggalan tren," kata Andri.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Psikolog ungkap alasan Gen Z bisa kreatif dan inovatif
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2023