Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin meminta setiap pihak untuk memperkuat sinergi dan koordinasi dalam membuat angka prevalensi stunting di tahun 2023 turun, setidaknya menjadi 17 persen.

“Kalau sudah stunting, harus segera dikirim ke rumah sakit. Akan ada tata laksananya, sesuai tahapannya, harus dijalani dan diukur dengan antropometri. Jangan biarkan anak sampai terkena stunting. Begitu berat badan tidak naik itu sudah harus diintervensi,” kata Menkes Budi Gunadi Sadikin dalam Sosialisasi Kebijakan Intervensi Percepatan Penurunan Stunting tahun 2023 yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat.

Menke Budi menyatakan pada tahun 2023 pemerintah fokus mengejar prevalensi stunting turun ke angka 17 persen agar terjadi percepatan penurunan stunting yang sesuai target tahun 2024.

Pemerintah menyadari stunting menjadi masalah yang kompleks, karena di pengaruhi oleh faktor sensitif yakni hal-hal di luar bidang kesehatan, seperti lingkungan dan pola asuh. Sementara faktor spesifik yakni hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan seperti kurang gizi dan anemia.
 

Oleh karenanya sesuai dengan penelitian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang mengatakan 70 persen penyebab stunting bisa diatasi dengan intervensi sensitif. Dalam menuntaskan stunting melalui intervensi spesifik, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mempunyai 11 program yang fokus pada dua fase dengan determinan terhadap stunting paling tinggi yakni pada masa ibu hamil dan bayi usia 6-24 bulan.

Menkes Budi menjelaskan salah satu program merupakan pemberian pendidikan, edukasi, dan promosi kesehatan berbagai hal terkait stunting.

Sementara program lain yang disebutkan di antaranya ketika memasuki fase sebelum bayi lahir atau ketika ibu hamil, pihaknya memberikan intervensi kepada remaja putri yang duduk di kelas 7 dan 10 untuk diberikan Tablet Tambah Darah (TTD) guna mencegah terjadinya anemia sejak muda.

Sambil membagikan TTD, puskesmas diminta dapat rutin mengukur kadar hemoglobin (Hb) dalam darah remaja putri dalam Program Aksi Bergizi, supaya mendapat data konkret terkait remaja yang anemia.
 

Kemudian pada ibu hamil, Menkes Budi memastikan intervensi yang diberikan berupa pemberian TTD dan pemberian asupan gizi yang cukup, terutama protein hewani.


Untuk upaya pengukuran pada ibu hamil, Kemenkes mengubah kebijakan agar pemeriksaan kehamilan melalui Antenatal Care (ANC) dilakukan sebanyak enam kali dan dua kali dengan USG agar dapat memantau janin tumbuh normal atau tidak.

Sedangkan pada bayi yang berusia 6-24 bulan, Menkes mengatakan jenis intervensi yang diberikan melalui pemberian vaksin PCV dan rotavirus yang bisa melindungi bayi dari infeksi berulang. Bagi bayi di bawah usia 6 bulan, dipastikan kebutuhan ASI eksklusifnya terpenuhi.

“Infeksi terbesar di bayi adalah pneumonia dan diare, makanya imunisasi penting untuk bayi. Untuk bayi yang teridentifikasi berisiko stunting, harus kita cegah dengan protein hewani. Bisa dari telur, ayam, ikan, daging, susu, dan segera diintervensi untuk diukur dengan timbangan,” ujar Menkes Budi Gunadi Sadikin.

Sebelumnya, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyatakan stunting banyak ditemukan pada anak-anak yang berusia enam hingga 24 bulan atau setelah masa ASI eksklusif selesai diberikan oleh ibu.

“Ada banyak titik-titik waktu lain, tapi yang determinannya paling tinggi, yang risk factor-nya paling tinggi, yang menyebabkan stunting paling tinggi adalah masa-masa ibunya hamil dan bayi pada masa enam sampai 24 bulan,” kata Menkes Budi Gunadi dalam webinar "Cegah Stunting, Cegah Infeksi Pada Anak" yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.

Menkes menyoroti usia enam hingga 24 bulan pada anak tersebut merupakan masa yang sangat rawan, dimana asupan gizi seorang anak harus ditambah dengan pemberian Pendamping Makanan Tambahan (PMT).

Ketika seorang ibu selesai menjalankan perannya dalam memberikan ASI eksklusif selama anak berusia nol hingga enam bulan, kata dia, orang tua perlu menyadari PMT dapat membantu tumbuh kembang anak menjadi lewat optimal, utamanya bagi PMT yang mengandung protein hewani.
 

Protein hewani, kata Menkes, bisa didapati dari telur, ikan, ayam, maupun daging. Mirisnya pengetahuan terkait asupan gizi ini belum banyak dijalankan dengan benar oleh orang tua di rumah.

Menurut Menkes Budi, para ahli gizi menyarankan intervensi gizi mulai dilakukan sejak dari hulu. Intervensi selama 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) bisa mencegah anak terkena stunting atau mengkoreksi kondisi kesehatan anak.

Budi menambahkan hanya ada lima persen anak yang terkena stunting, yang ditemukan bisa sembuh. Dengan catatan pengobatan harus dijalankan di rumah sakit dan membutuhkan biaya hingga jutaan rupiah.

“Kalau kita lihat berdasarkan ahli gizi, dua minggu dikasih intervensi makanan protein hewani yang baik dia bisa kembali normal. Bayangkan itu relatif lebih murah intervensinya. Tidak mungkin sampai Rp500 ribu satu paket sampai selesai. Kita berikan selama dua minggu jadi mungkin Rp30-40 ribu sehari harusnya bisa mencegah (stunting),” kata Menkes.

Selain rawan terjadi pada anak usia enam sampai 24 bulan, kata dia, stunting juga berisiko terjadi sejak ibu memasuki masa kehamilan.
 

Baca juga: Dinkes Cianjur perluas sasaran Cek Kesehatan dukung penurunan stunting

Baca juga: Bupati Garut: Jangan beri laporan data bohong kasus "stunting"

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menkes: Jangan biarkan anak terkena stunting

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti

Editor : Yuniardi Ferdinan


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2023