Presiden Jokowi mengesahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 yang salah satunya mengatur soal bentuk perbaikan kesalahan pengetikan dalam penulisan peraturan perundang-undangan.
"Dalam hal Rancangan Undang-Undang (RUU) yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden masih terdapat kesalahan teknis penulisan, dilakukan perbaikan oleh pimpinan alat kelengkapan DPR yang membahas RUU tersebut dan pemerintah yang diwakili oleh kementerian yang membahas RUU tersebut," demikian disebutkan dalam penjelasan undang-undang tersebut yang diakses ANTARA di Jakarta, Senin.
Dalam penjelasan UU juga disebutkan bahwa tujuan pembentukan UU No. 13/2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVII/2020.
Aturan mengenai perbaikan salah ketik itu termuat dalam Pasal 72 dan Pasal 73.
Dalam Pasal 72 disisipkan dua ayat baru, yaitu ayat (1a) dan ayat (lb) yang berbunyi:
Ayat 1a: Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden masih terdapat kesalahan teknis penulisan, dilakukan perbaikan oleh pimpinan alat kelengkapan DPR yang membahas RUU tersebut dan Pemerintah yang diwakili oleh kementerian yang membahas RUU.
Ayat 1b: Hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) harus mendapatkan persetujuan dari pimpinan alat kelengkapan DPR yang membahas RUU tersebut dan wakil dari pemerintah yang membahas RUU tersebut.
Perbaikan dan penyampaian RUU yang mengalami salah ketik sebagaimana ayat (1b) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama (ayat 2).
Kesalahan teknis penulisan di sini, antara lain, adalah huruf yang tidak lengkap, rujukan pasal atau ayat yang tidak tepat, salah ketik, dan/atau judul atau nomor urut bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, atau butir yang tidak sesuai, yang bersifat tidak substansial.
Selanjutnya Pasal 73 mengatur bila RUU yang dimaksud dalam Pasal 72 masih ditemukan kesalahan teknis penulisan, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesekretariatan negara bersama dengan kementerian yang membahas RUU tersebut dapat melakukan perbaikan dengan melibatkan pimpinan alat kelengkapan DPR yang membahas RUU tersebut.
Seperti diketahui, pada tanggal 25 Juni 2021, MK menyatakan pembentukan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkonstitusional) secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan diucapkan".
Alasan MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional adalah karena pertama, pembentukan UU Ciptaker tidak sejalan dengan rumusan baku atau standar dalam UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam membentuk peraturan perundang-undangan.
Alasan kedua, MK menemukan setidaknya 9 fakta hukum berbeda (yaitu adanya salah ketik) antara naskah RUU Ciptaker yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden dengan UU No. 11/2020 setelah disahkan/diundangkan.
Alasan ketiga, MK menyebut UU Ciptaker tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal.
metode omnibus
Sebelumnya Presiden RI Joko Widodo menandatangani Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 yang mengatur soal pembentukan peraturan perundang-undangan menggunakan metode omnibus.
Dalam penjelasan UU No. 13/2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang diakses ANTARA di Jakarta, Senin, disebutkan bahwa tujuan pembentukan UU tersebut adalah sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVII/2020.
UU No. 13/2022 punya tujuh tujuan yaitu:
1. Menambahkan metode omnibus;
2. memperbaiki kesalahan teknis setelah persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam rapat paripurna dan sebelum pengesahan dan pengundangan;
3. Memperkuat keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation);
4. Membentuk peraturan perundang-undangan secara elektronik;
5. Mengubah sistem pendukung dari peneliti menjadi pejabat fungsional lain yang ruang lingkup tugasnya terkait dengan pembentukan peraturan perundang-undangan;
6. Mengubah teknik penyusunan naskah akademik; dan
7. Mengubah teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.
Metode omnibus dalam UU No. 13/2022 diatur dalam Pasal 42 A, Pasal 64, Pasal 97, dan Pasal 98.
Dalam Pasal 42 A disebutkan bahwa penggunaan metode omnibus dalam penyusunan suatu rancangan undang-undang (RUU) harus ditetapkan dalam dokumen perencanaan.
Selanjutnya pada Pasal 64 disisipkan dua ayat, yakni ayat 1a dan ayat 1b sebagai berikut:
Ayat 1a: Penyusunan RUU sebagaimana dimaksud pada ayat l dapat menggunakan metode omnibus.
Ayat 1b: Metode omnibus merupakan metode penyusunan dengan:
a. memuat materi muatan baru;
b. mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan dan/atau kebutuhan hukum yang diatur dalam berbagai peraturan yang jenis dan hierarkinya sama; dan/atau
c. mencabut UU yang jenis dan hierarkinya sama dengan menggabungkannya ke dalam satu UU untuk mencapai tujuan tertentu.
Selanjutnya di antara Pasal 97 dan Pasal 98 disisipkan empat pasal, yakni Pasal 97A, Pasal 97B, Pasal 97C, dan Pasal 97D sebagai berikut:
Pasal 97A:
Materi muatan yang diatur dalam UU yang menggunakan metode omnibus hanya dapat diubah dan/atau dicabut dengan mengubah dan/atau mencabut UU tersebut.
Kemudian Pasal 97B menyebutkan pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan secara elektronik, termasuk pembubuhan tanda tangan dalam setiap tahapan pembentukan UU dari perencanaan sampai pengundangan dapat menggunakan tanda tangan elektronik. Pasal 97C mengatur soal jenis dan hierarki peraturan dan Pasal 97D mengatur soal harmonisasi dengan rancangan peraturan daerah.
Diatur pula agar UU yang menggunakan metode omnibus dapat menggunakan nama baru yang tidak sama dengan nama UU yang diubah atau dicabut yang dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 kata atau frasa, tetapi secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isi UU yang menggunakan metode omnibus. Contoh: Cipta Kerja
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 disahkan pada tanggal 16 Juni 2022.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2022
"Dalam hal Rancangan Undang-Undang (RUU) yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden masih terdapat kesalahan teknis penulisan, dilakukan perbaikan oleh pimpinan alat kelengkapan DPR yang membahas RUU tersebut dan pemerintah yang diwakili oleh kementerian yang membahas RUU tersebut," demikian disebutkan dalam penjelasan undang-undang tersebut yang diakses ANTARA di Jakarta, Senin.
Dalam penjelasan UU juga disebutkan bahwa tujuan pembentukan UU No. 13/2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVII/2020.
Aturan mengenai perbaikan salah ketik itu termuat dalam Pasal 72 dan Pasal 73.
Dalam Pasal 72 disisipkan dua ayat baru, yaitu ayat (1a) dan ayat (lb) yang berbunyi:
Ayat 1a: Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden masih terdapat kesalahan teknis penulisan, dilakukan perbaikan oleh pimpinan alat kelengkapan DPR yang membahas RUU tersebut dan Pemerintah yang diwakili oleh kementerian yang membahas RUU.
Ayat 1b: Hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) harus mendapatkan persetujuan dari pimpinan alat kelengkapan DPR yang membahas RUU tersebut dan wakil dari pemerintah yang membahas RUU tersebut.
Perbaikan dan penyampaian RUU yang mengalami salah ketik sebagaimana ayat (1b) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama (ayat 2).
Kesalahan teknis penulisan di sini, antara lain, adalah huruf yang tidak lengkap, rujukan pasal atau ayat yang tidak tepat, salah ketik, dan/atau judul atau nomor urut bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, atau butir yang tidak sesuai, yang bersifat tidak substansial.
Selanjutnya Pasal 73 mengatur bila RUU yang dimaksud dalam Pasal 72 masih ditemukan kesalahan teknis penulisan, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesekretariatan negara bersama dengan kementerian yang membahas RUU tersebut dapat melakukan perbaikan dengan melibatkan pimpinan alat kelengkapan DPR yang membahas RUU tersebut.
Seperti diketahui, pada tanggal 25 Juni 2021, MK menyatakan pembentukan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkonstitusional) secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan diucapkan".
Alasan MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional adalah karena pertama, pembentukan UU Ciptaker tidak sejalan dengan rumusan baku atau standar dalam UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam membentuk peraturan perundang-undangan.
Alasan kedua, MK menemukan setidaknya 9 fakta hukum berbeda (yaitu adanya salah ketik) antara naskah RUU Ciptaker yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden dengan UU No. 11/2020 setelah disahkan/diundangkan.
Alasan ketiga, MK menyebut UU Ciptaker tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal.
metode omnibus
Sebelumnya Presiden RI Joko Widodo menandatangani Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 yang mengatur soal pembentukan peraturan perundang-undangan menggunakan metode omnibus.
Dalam penjelasan UU No. 13/2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang diakses ANTARA di Jakarta, Senin, disebutkan bahwa tujuan pembentukan UU tersebut adalah sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVII/2020.
UU No. 13/2022 punya tujuh tujuan yaitu:
1. Menambahkan metode omnibus;
2. memperbaiki kesalahan teknis setelah persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam rapat paripurna dan sebelum pengesahan dan pengundangan;
3. Memperkuat keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation);
4. Membentuk peraturan perundang-undangan secara elektronik;
5. Mengubah sistem pendukung dari peneliti menjadi pejabat fungsional lain yang ruang lingkup tugasnya terkait dengan pembentukan peraturan perundang-undangan;
6. Mengubah teknik penyusunan naskah akademik; dan
7. Mengubah teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.
Metode omnibus dalam UU No. 13/2022 diatur dalam Pasal 42 A, Pasal 64, Pasal 97, dan Pasal 98.
Dalam Pasal 42 A disebutkan bahwa penggunaan metode omnibus dalam penyusunan suatu rancangan undang-undang (RUU) harus ditetapkan dalam dokumen perencanaan.
Selanjutnya pada Pasal 64 disisipkan dua ayat, yakni ayat 1a dan ayat 1b sebagai berikut:
Ayat 1a: Penyusunan RUU sebagaimana dimaksud pada ayat l dapat menggunakan metode omnibus.
Ayat 1b: Metode omnibus merupakan metode penyusunan dengan:
a. memuat materi muatan baru;
b. mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan dan/atau kebutuhan hukum yang diatur dalam berbagai peraturan yang jenis dan hierarkinya sama; dan/atau
c. mencabut UU yang jenis dan hierarkinya sama dengan menggabungkannya ke dalam satu UU untuk mencapai tujuan tertentu.
Selanjutnya di antara Pasal 97 dan Pasal 98 disisipkan empat pasal, yakni Pasal 97A, Pasal 97B, Pasal 97C, dan Pasal 97D sebagai berikut:
Pasal 97A:
Materi muatan yang diatur dalam UU yang menggunakan metode omnibus hanya dapat diubah dan/atau dicabut dengan mengubah dan/atau mencabut UU tersebut.
Kemudian Pasal 97B menyebutkan pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan secara elektronik, termasuk pembubuhan tanda tangan dalam setiap tahapan pembentukan UU dari perencanaan sampai pengundangan dapat menggunakan tanda tangan elektronik. Pasal 97C mengatur soal jenis dan hierarki peraturan dan Pasal 97D mengatur soal harmonisasi dengan rancangan peraturan daerah.
Diatur pula agar UU yang menggunakan metode omnibus dapat menggunakan nama baru yang tidak sama dengan nama UU yang diubah atau dicabut yang dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 kata atau frasa, tetapi secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isi UU yang menggunakan metode omnibus. Contoh: Cipta Kerja
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 disahkan pada tanggal 16 Juni 2022.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2022