Oleh Diah Novianti
"Seni semata-mata untuk kepentingan seni sudah kuno dan tidak realistis."
Begitulah pendapat Ketua World Islamic Economic Forum (WIEF) Tun Musa Hitam yang dilontarkan dalam konferensi pers usai pembukaan "Market Place of Creative Arts" ke-4 di kawasan Cihampelas Walk, Bandung, pada Sabtu (14/4).

Bagi pria asal Malaysia itu, seni harus berjodoh dengan pasar agar bisa melahirkan nilai tambah. Seni, menurut dia, bisa mendapatkan makna baru setelah mengalami komersialisasi sehingga dapat dicerna dan dinikmati oleh khalayak umum tanpa perlu repot mengerutkan dahi.

Berdasarkan pandangan itu, WIEF mengemas "Market Place of Creative Arts" sebagai pasar yang mempertemukan seniman muda dari kawasan Asia Tenggara dan negara-negara sekitarnya dengan para pelaku bisnis.

Tidak hanya menggelar aneka pertunjukkan musik, tari, dan nyanyian, pasar seni itu juga menyediakan ruang-ruang kelas bagi seniman untuk belajar mengasah naluri wirausaha mereka. Kelas yang dilabeli dengan sesi "ngomong-ngomong" itu membahas beragam materi yang bersentuhan dengan aspek komersil seperti bagaimana cara memulai bisnis seni, menciptakan merk, dan menyulap kreativitas menjadi kegiatan yang menguntungkan.

Pada sesi di dalam ruang itu, para seniman muda dari sebelas negara yang menjadi peserta "Market Place of Creative Arts" ke-4 bisa berdiskusi tanpa mengenal sekat negara untuk saling berbagi pengalaman masing-masing dalam mengeksplorasi kreativitas.

Para seniman muda itu terpilih menjadi peserta karena dinilai mewakili ciri khas budaya masing-masing negara asalnya. Sebagian besar dari mereka adalah kalangan seniman kontemporer yang diterima oleh khalayak luas setelah memadukan unsur tradisional dan modernitas dalam karya-karya mereka.

Sesuai dengan motonya "Bringing Business to the Arts" atau membawa bisnis kepada seni, "Market Place of Creative Arts" hendak membebaskan seni agar bersifat inklusif dan bisa dinikmati oleh siapa pun.

Konsep terbuka itu juga yang diterapkan pada perhelatan ke-4 di Cihampelas Walk. Satu panggung besar dipajang di tengah pusat perbelanjaan itu sebagai pusat perhatian. Atraksi seni ditampilkan di sana berganti-gantian dengan satu lokasi pentas lagi yang hanya berupa lapangan terbuka tak jauh dari panggung.

Pengunjung yang berlalu lalang menikmati akhir pekan di Cihampelas Walk bisa bebas menonton secara gratis. Mereka berkerumun sejenak di depan pertunjukkan, tinggal lebih lama apabila tertarik, atau lekas berjalan-jalan lagi apabila merasa bosan.

Benar-benar mirip pasar. Perilaku penonton persis seperti ketika mereka melihat-lihat aneka benda dipajang di etalase toko. Padahal, pemandangan di depan mata mereka itu adalah makhluk hidup bergerak dan bersuara yang tengah menyajikan sebuah karya seni.


Murni Versus Sepuhan

Di tengah hingar bingar suasana pusat perbelanjaan Cihampelas Walk, sekelompok orang berpakaian hitam berkerumun di balik panggung. Mereka tengah menunggu giliran pentas yang terganggu oleh hujan deras, santai berbincang dan bercanda sambil menghisap rokok kretek. Ada yang berjongkok, duduk di lantai, ada juga yang berdiri menyandar ke tembok.

"Saya sudah terbiasa dengan `standing party'," ujar salah satu dari mereka yang akrab dipanggil Mang Engkus, yang menyantap nasi kotak disediakan panitia sambil berdiri menyandar ke tembok.

Mang Engkus adalah personel dari kelompok musik tradisional sunda Karinding Gas Sagara. Kelompok itu dalam ajang ¿Market Place of Creative Arts¿ ke-4 dijadwalkan tampil sepanggung dengan seniman tradisional sunda lainnya, yaitu Pantun Buhun Mang Ayi asal Subang dan Tarawangsa Pusaka Bangun Jaya asal Sumedang.

Tiga kelompok seniman itu adalah penjaga tradisi kesenian Sunda yang hampir punah. Alat-alat musik mereka berbahan bambu tidak bisa dikategorikan sebagai perangkat modern.

"Sebelum ada gendang, alat ini yang dipakai," kata Uu Maman, salah satu personil Karinding Gas Sagara sambil memamerkan celempung, sebuah silinder bambu yang ditepuk seperti gendang dan mengeluarkan bunyi gema yang khas.

Bagi Engkus dan Uu Maman, menyajikan keaslian seni tradisional tanpa dikolaborasi dengan unsur modern adalah sebuah kebanggaan tersendiri.

"Yang murni dan yang sepuhan itu jelas berbeda, kita tetap berpegang pada yang murni, berpatokan pada ciri khas yang asli," ujar Engkus.

Karena, menurut dia, seni bukanlah sebuah komoditi yang mengandalkan kemasan. Tetapi, seni adalah persoalan rasa. Rasa itu pula yang meyakinkannya untuk menggeluti karinding sebagai jalan hidup.

"Sudah bakatnya di sana, memang ini jalannya," ujar Engkus menjelaskan pilihan hidupnya sebagai seniman tradisional Sunda.

Bahkan, kata dia, rasa itu telah mengikat batin para personil Karinding Gas Sagara sehingga mereka selalu berpentas tanpa latihan.

"Ketemu ya langsung main, langsung pentas, soalnya perasaannya sudah menyambung," ujar Engkus.

Sedangkan bagi Uu Maman, melakoni hidup sebagai seniman tradisional Sunda juga memiliki nilai tambah tersendiri.

"Saya punya keyakinan kalau seni ini mendatangkan keuntungan tersendiri, yaitu menjaga silaturahmi. Melalui seni ini saya kenal banyak orang yang akhirnya menjadi seperti saudara sendiri," tuturnya.

Jalinan persaudaraan itu yang menghadirkan undangan pentas bagi Karinding Gas Sagara dan membuka jalan untuk dikenal lebih banyak orang lagi. Keuntungan silaturahmi yang dipercaya oleh Uu Maman itulah yang meneguhkan kelompok musik tradisional tersebut untuk berkiprah dengan jalannya sendiri.

Engkus dan Uu Maman berikrar untuk tetap merawat keaslian musik tradisional Sunda seperti yang diwariskan oleh nenek moyang tanpa tergoda mencampurnya dengan unsur modern agar mudah diterima oleh telinga khalayak luas.

Mereka percaya aliran seni yang diusung, betapa pun kunonya itu, pasti memiliki tempat tersendiri untuk tetap hidup. Mereka pun berkeyakinan musik tradisional Sunda tidak akan menemui kesulitan untuk tetap lestari.

"Tidak ada yang sulit kalau kita melakoninya dengan serius," ujar Engkus.

Keseriusan itu ditunjukkan oleh Engkus dan kawan-kawan ketika berpentas di panggung Market Place of Arts ke-4 usai hujan deras mereda.

Lapangan luas yang terhampar di hadapan mereka belum lagi dipenuhi oleh penonton. Panitia justru bolak-balik menata kursi di sana sehingga mengganggu pandangan segelintir orang yang berdiri untuk menyimak penampilan mereka.

Engkus dan kawan-kawan tetap khusyuk menyajikan sebuah seni agung peninggalan nenek moyang. Tanpa terganggu dengan keributan di bawah panggung. Tanpa pamrih dengan cuma segelintir penonton. Tanpa peduli dengan suasana pasar sebuah pusat perbelanjaan.

Mata mereka pun tidak tergoda untuk melirik ajakan komersialisasi seni yang ditawarkan dalam kelas-kelas "Market Place of Creative Arts". Mereka langsung berkemas dan menghilang dari Cihampelas Walk setelah menyuguhkan sebuah tradisi seni yang dipercaya tetap lestari dengan jalannya sendiri. ***2***
(T.D013/

Pewarta:

Editor : Irawan


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2012