ANTARAJAWABARAT.com, 4/7 - Rendeman gula harus diatas 10 persen agar Indonesia mencapai swasembaga gula dengan produktivitas tebu sekitar 800 kuintal/hektare/tahun, kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (DPN APTRI), Soemitro Samadikoen.

"Rendemen rata-rata saat ini masih berkisar 6,9 persen, sedangkan produktivitas lahan hanya sekitar 600 kuintal tebu/hetare," katanya disela-sela bedah buku 'HM Anwar Asmali: Pendidik Petani Pejuang Merintis dari Ladang Tebu'," di Cirebon, Senin.

Ia membandingkan rendemen gula di Thailand dan Brazil yang sudah diatas 12 persen. Padahal secara fisik tebu di Indonesia tampak lebih baik dibandingkan tebu di dua negara tersebut.

Sementara itu, lahan tebu secara nasioal seluas 430 hektare tahun 2009 dan susut menjadi 430 ribu hektare tahun 2010. Susutnya lahan tersebut antara lain karena petani mengubah ke tanaman lain, katanya.

Kendati luas areal tidak bertambah, jika produktivitas dan rendemen bisa ditingkatkan, ia tetap yakni swasembada gula bisa dicapai.

Khusus menyangkut rendemen gula sangat bergantung pada efisiensi pabrik gula maupun pengolahan pascapanen, sedangkan produktivitas menyangkut ketepatan pengolahan tebu di kebun.

Salah satu unsur ketepatan pengolahan tebu adalah menyangkut biaya, dimana kredit petani tebu di Vitnam hanya dikenakan bunga 1,5 persen, di Thailand 1,3 persen dan di Brazil hanya 1,1 persen, sedangkan di Indonesia masih antara 6 dan 7 persen. "Itupun bagi petani yang menjadi binaan pihak perbankan," katanya,
Dikatakannya, perlunya memperhatikan petani tebu tersebut karena menjadi prasyarat apabila ingin mengejar swasembaga gula.

"Kita ingin swasembada gula mengandalkan petani tebu sendiri, bukan dengan cara mendirikan pabrik gula rafinasi yang mendatangkan gula mentah dari impor," katanya.

Di pihak lain, swasembada gula secara nasional memerlukan ketegasan hukum terutama menyangkut dugaan gula impor illegal dan gula rafinasi disamping lebih mengoptimalkan lahan dan efisiensi pabrik gula, katanya.

"Dugaan gula impor illegal dan pendistribusian gula rafinasi perlu ditertibkan. Intinya ada ketegasan hukum guna mencapai swasembada gula," katanya.

Menurut dia, produksi gula secara nasional sekitar 2,3 juta ton, dan kebutuhan antara 4,5 juta ton sampai 5 juta ton. Karenanya, pemerintah mengimpor sekitar 2,3 juta ton.

"Tetapi kenyataannya, bulan Januari kelebihan gula sekitar 450 ribu ton. Kelebihan tersebut diduga karena ada impor gula illegal," katanya.

Sementara gula Petani yang tergabung dalam APTRI ada yang tidak terserap pasar, antara lain karena ada provinsi yang tidak memiliki pabrik, tetapi telah tersedia gula lebih murah di provinsi tersebut.

Ia menduga di provinsi tersebut beredar gula impor illegal dan gua rafinasi untuk konsumen. Padahal seharusnya, gula rafinasi hanya untuk kebutuhan industri bukan untuk konsumsi masyarakat, sehingga gula yang ada ditangan petani tidak bisa didistribusikan.

Pewarta:

Editor : Sapto HP


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2011