Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Prof. Dr. Elizabeth Kristi Poerwandari, M.Hum., Psikolog, mengatakan penggunaan media sosial cenderung menyebabkan penggunanya mengalami permasalahan jati diri dan eksistensi.

Hal tersebut dikatakannya dalam pidato pengukuhan guru besarnya yang berjudul “Manusia Dalam Era Industri Ke-empat: Isu Kesehatan Mental, Eksistensi, & Psikologi Sebagai Ilmu”.

"Ini karena pengguna media sosial cenderung membandingkan diri dengan teman sebaya yang tampil lebih cantik, kaya, lebih banyak teman, lebih keren, pandai, atau lebih internasional di media sosial," kata Elizabeth dalam keterangannya, Senin.

Akhirnya, cara manusia mengukur nilai diri menjadi lebih superfisial, permukaan, dan shallow. Penampilan, status sosial, dan kemakmuran menjadi lebih penting daripada spiritualitas, kedamaian diri, ataupun pengetahuan.



"Rasa sepi juga menjadi salah satu dampak sosial tertinggi yang terjadi di kalangan anak muda," katanya.

Hal ini terjadi karena di era ini, komunikasi tidak perlu selalu dilakukan dengan tatap muka, sedangkan ada unsur-unsur komunikasi yang tidak dapat digantikan dari kegiatan bertemu langsung, seperti ikatan emosional, kehangatan, dan kemampuan membaca situasi-kondisi.

Kemampuan-kemampuan ini tidak dilatih dalam interaksi maya, sehingga kemampuan bersosialisasi manusia menjadi berkurang.

Sifat anonimitas (tidak bernama) dalam interaksi maya juga mengakibatkan manusia dapat melepaskan sisi-sisi agresifnya tanpa harus bertanggung jawab terhadap perilakunya tersebut, sehingga fenomena cyber bullying kini kerap terjadi.

Belum lagi kecemasan kolektif yang kini kerap terjadi karena arus informasi yang semakin cepat dan tidak tersaring (hoaks).

"Teknologi menyebabkan saat ini terjadi suatu kondisi dimana kita tidak bisa lagi membedakan antara mana yang real (nyata) dan mana yang merupakan pencitraan semata. Ini menjadi sebuah isu tersendiri di era digital ini. Virtualitas menjadi realitas. Inilah yang kita sebut kondisi hiperrealitas," katanya menjelaskan.

Kondisi ini menyebabkan banyak orang terjebak pada fiksi yang dibangun dirinya sendiri melalui pencitraan diri yang ditampilkan dalam gambar, berita-berita yang tampil di beranda media sosial (yang terfilter karena algoritma), maupun komentar yang muncul dari unggahan. Semua ini menjadikan manusia berpikir sempit, terjebak dalam pemikiran, dan “realita” dirinya sendiri.

Kehidupan yang terisolasi dan egosentris ini terbukti menyebabkan fenomena bunuh diri, dan keinginan menyakiti diri sendiri, yang meningkat dalam 10 tahun terakhir ini.

Dari semua fenomena tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa secara psikologis dan mental, manusia belum siap menerima dampak jangka panjang dari ciptaan yang telah dibuatnya sendiri. Untuk mengatasi hal tersebut, pendidikan menjadi salah satu kunci.

Elizabeth mengatakan bahwa di masa depan, harus diperkenalkan apa yang disebut dengan “pedagogi posthumanisme”, yaitu kurikulum pembelajaran yang diarahkan untuk membantu manusia menangkap dimensi filosofis dan isu kompleks dari hubungan-hubungan dalam ruang daring.

Dalam kurikulum ini, penekanan terjadi pada diskusi mengenai topik-topik khas manusia seperti autonomi, kehendak bebas, relasi antar individu, antar kelompok, dan kaitannya dengan kondisi global.

"Pendidikan tinggi perlu menghasilkan lulusan yang berpikir dengan bijak untuk dapat membangun dunia bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan juga untuk orang lain dan generasi mendatang. Ada sifat altruisme yang harus diajarkan kepada individu, agar mereka tidak terjebak pada dunia dan realitasnya sendiri. Ini berlaku di semua bidang ilmu, termasuk ilmu psikologi," ujarnya.

Baca juga: Menparekraf sebut medsos bisa jadi kontrol lonjakan wisatawan

Baca juga: Wabup Sahrul Gunawan dorong desa wisata di Bandung promosi via medsos

Baca juga: Warga diminta laporkan indikasi gerakan radikal di medsos

Pewarta: Feru Lantara

Editor : Yuniardi Ferdinan


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021