Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 dan Duta Adaptasi Kebiasaan Baru Reisa Broto Asmoro menjawab sejumlah mitos yang berkembang di masyarakat terkait vaksinasi dan COVID-19.
Reisa, dalam acara bincang-bincang yang digelar virtual, Jumat (27/8) malam mengatakan salah satu mitos yang banyak berkembang di masyarakat adalah keberadaan chip yang disuntikkan ke dalam tubuh melalui vaksin COVID-19.
"Jadi ini mitos yang banyak banget berkembang karena pada tidak paham isi vaksin itu sebenarnya apa. Sebenarnya isi vaksin itu mau itu vaksin buatan Amerika, Eropa, China, itu semuanya punya standar internasional yang sama," ujar Reisa.
Dia menjelaskan bahwa vaksin hanya berisi komponen virus serta bahan-bahan yang membuat vaksin awet di dalam tubuh. "Jadi tidak ada tuh isi chip segala macam," tegas dia.
Berikutnya, mitos tentang merokok dapat menangkal virus corona. Reisa menegaskan hal itu tidak benar. Dia mengatakan bahwa merokok justru memperburuk kondisi tubuh, terlebih terinfeksi COVID-19.
Merokok, kata dia, juga berpotensi menularkan droplet ke lingkungan sekitar, apalagi jika dilakukan di ruangan yang tidak memiliki sirkulasi udara yang bagus. Hal itu membuat virus bertahan di udara dan berpotensi terhirup oleh orang lain.
Reisa juga membantah mitos yang menyebut anak-anak kebal terhadap COVID-19. Dia mengatakan bahwa tingkat kematian anak-anak karena COVID-19 di Indonesia justru tergolong tinggi.
"Jadi jangan salah kaprah, anak-anak ini bukan berarti kebal dan justru malah kita harus bersedih karena di Indonesia ini tingkat kematian anak karena COVID-19 ini tinggi sekali dibanding negara lainnya. Jadi kita harus hati-hati ekstra jaga anak-anak, ajarkan mereka protokol kesehatan 3M," kata Reisa.
Mitos selanjutnya adalah anggapan bahwa protokol kesehatan dapat diabaikan setelah menerima vaksin COVID-19. Reisa menilai hal itu salah kaprah, karena vaksinasi COVID-19 tidak membuat tubuh menjadi kebal 100 persen.
Vaksin, kata dia, merupakan bagian dari ikhtiar membentengi diri dari penularan COVID-19. Selain vaksin, ikhtiar lain yang harus dilakukan adalah menerapkan protokol kesehatan.
"Nantilah suatu saat kalau misalnya semuanya sudah divaksinasi, kita sudah mempunyai herd immunity atau kekebalan imunitas, barulah kita bisa berharap kita bisa melonggarkan si protokol kesehatan ini," kata Reisa.
Dalam kesempatan itu, Reisa turut menjawab mengenai mitos tentang meminum minyak kayu putih dapat menyembuhkan COVID-19. Dia mengatakan mengonsumsi minyak kayu putih justru dapat membahayakan tubuh dan berpotensi menimbulkan penyakit baru.
Terakhir, Reisa menjawab mengenai mitos yang menyebut imunitas orang yang pernah terinfeksi COVID-19 lebih baik dari orang yang divaksin. Dia mengatakan bahwa daya tahan tubuh yang terbentuk dari orang yang terinfeksi COVID-19 berbeda-beda.
"Ada yang bentuknya ringan, ada yang terbentuknya optimal. Jadi yang lebih baik dilakukan adalah perlindungan justru dari vaksin, karena vaksin itu bisa memberikan perlindungan yang memang sudah tertakar, sudah sesuai rekomendasi, jadi optimal," ujar Reisa.
"Apalagi kalau sempat sakitnya gejalanya ringan, biasanya antibodinya justru tidak terlalu optimal seperti yang diharapkan dan biasanya tidak bertahan lama seperti dari vaksin," sambung dia.
Baca juga: Komnas KIPI jelaskan mitos dan fakta terhadap vaksin
Baca juga: Mitos dan fakta berolahraga saat pandemi, menurut dokter spesialis keolahragaan
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021
Reisa, dalam acara bincang-bincang yang digelar virtual, Jumat (27/8) malam mengatakan salah satu mitos yang banyak berkembang di masyarakat adalah keberadaan chip yang disuntikkan ke dalam tubuh melalui vaksin COVID-19.
"Jadi ini mitos yang banyak banget berkembang karena pada tidak paham isi vaksin itu sebenarnya apa. Sebenarnya isi vaksin itu mau itu vaksin buatan Amerika, Eropa, China, itu semuanya punya standar internasional yang sama," ujar Reisa.
Dia menjelaskan bahwa vaksin hanya berisi komponen virus serta bahan-bahan yang membuat vaksin awet di dalam tubuh. "Jadi tidak ada tuh isi chip segala macam," tegas dia.
Berikutnya, mitos tentang merokok dapat menangkal virus corona. Reisa menegaskan hal itu tidak benar. Dia mengatakan bahwa merokok justru memperburuk kondisi tubuh, terlebih terinfeksi COVID-19.
Merokok, kata dia, juga berpotensi menularkan droplet ke lingkungan sekitar, apalagi jika dilakukan di ruangan yang tidak memiliki sirkulasi udara yang bagus. Hal itu membuat virus bertahan di udara dan berpotensi terhirup oleh orang lain.
Reisa juga membantah mitos yang menyebut anak-anak kebal terhadap COVID-19. Dia mengatakan bahwa tingkat kematian anak-anak karena COVID-19 di Indonesia justru tergolong tinggi.
"Jadi jangan salah kaprah, anak-anak ini bukan berarti kebal dan justru malah kita harus bersedih karena di Indonesia ini tingkat kematian anak karena COVID-19 ini tinggi sekali dibanding negara lainnya. Jadi kita harus hati-hati ekstra jaga anak-anak, ajarkan mereka protokol kesehatan 3M," kata Reisa.
Mitos selanjutnya adalah anggapan bahwa protokol kesehatan dapat diabaikan setelah menerima vaksin COVID-19. Reisa menilai hal itu salah kaprah, karena vaksinasi COVID-19 tidak membuat tubuh menjadi kebal 100 persen.
Vaksin, kata dia, merupakan bagian dari ikhtiar membentengi diri dari penularan COVID-19. Selain vaksin, ikhtiar lain yang harus dilakukan adalah menerapkan protokol kesehatan.
"Nantilah suatu saat kalau misalnya semuanya sudah divaksinasi, kita sudah mempunyai herd immunity atau kekebalan imunitas, barulah kita bisa berharap kita bisa melonggarkan si protokol kesehatan ini," kata Reisa.
Dalam kesempatan itu, Reisa turut menjawab mengenai mitos tentang meminum minyak kayu putih dapat menyembuhkan COVID-19. Dia mengatakan mengonsumsi minyak kayu putih justru dapat membahayakan tubuh dan berpotensi menimbulkan penyakit baru.
Terakhir, Reisa menjawab mengenai mitos yang menyebut imunitas orang yang pernah terinfeksi COVID-19 lebih baik dari orang yang divaksin. Dia mengatakan bahwa daya tahan tubuh yang terbentuk dari orang yang terinfeksi COVID-19 berbeda-beda.
"Ada yang bentuknya ringan, ada yang terbentuknya optimal. Jadi yang lebih baik dilakukan adalah perlindungan justru dari vaksin, karena vaksin itu bisa memberikan perlindungan yang memang sudah tertakar, sudah sesuai rekomendasi, jadi optimal," ujar Reisa.
"Apalagi kalau sempat sakitnya gejalanya ringan, biasanya antibodinya justru tidak terlalu optimal seperti yang diharapkan dan biasanya tidak bertahan lama seperti dari vaksin," sambung dia.
Baca juga: Komnas KIPI jelaskan mitos dan fakta terhadap vaksin
Baca juga: Mitos dan fakta berolahraga saat pandemi, menurut dokter spesialis keolahragaan
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021