Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menunda sidang gugatan yang diajukan perusahaan Mitora Pte. Ltd.  asal Singapura terhadap Yayasan Purna Bhakti Pertiwi milik keluarga mendiang Presiden Soeharto  karena pihak tergugat tidak hadir atau mangkir di persidangan.

"Iya (ditunda) sampai 4 Mei 2021 karena pihaknya belum lengkap," kata Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Haruno di Jakarta, Rabu.

Perkara yang teregister dengan nomor: 244/Pdt.G/2021/PN JKT.SEL tersebut sudah dua kali digelar proses persidangannya pada hari Senin (5/4) dan Selasa (13/4).

Berdasarkan informasi para tergugat belum pernah menghadiri sidang.

"Sepertinya iya, dua kali para tergugat tidak hadir sidang," ujarnya.

Dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Jakarta Selatan perkara ini diajukan oleh kuasa hukum Mitora, yakni Muhammad Taufan Eprom Hasibuan pada hari Senin, 8 Maret 2021.

Sementara, ada enam tergugat, yakni Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, Siti Hardianti Hastuti Rukmana, Bambang Trihatmojo, Siti Hediati Hariyadi, Sigit Harjojudanto, dan Siti Hutami Endang Adiningsih.

Sementara itu, turut tergugat, yakni Soehardjo Soebardi, pengurus Museum Purna Bhakti Pertiwi, Kantor Pertanahan Jakarta Pusat, dan Kantor Pertanahan Jakarta Timur.

Adapun petitum gugatannya adalah menerima dan mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya, menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum, menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang diletakkan pada sebidang tanah dan bangunan beserta isinya.

Sebidang tanah kurang lebih 20 hektare dan bangunan yang berdiri di atasnya beserta seluruh isinya yang ada dan melekat serta menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan, yakni Museum Purna Bhakti Pertiwi dan Puri Jati Ayu di Jalan Taman Mini No. 1 Jakarta Timur.

Selain itu, sebidang tanah berikut bangunan yang berdiri di atasnya beserta dengan seluruh isinya yang ada dan melekat serta menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan terletak di Jalan Yusuf Adiwinata No 14 Menteng, Jakarta Pusat.

Selanjutnya, menghukum para tergugat secara tanggung renteng untuk membayar kewajiban Rp84 miliar serta kerugian imateriel sebesar Rp500 miliar, dan menghukum para turut tergugat untuk melaksanakan putusan.

Sebelumnya, Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko mengatakan bahwa tim transisi pengambilalihan TMII akan mengkaji gugatan perusahaan asal Singapura, Mitora Pte. Ltd., terhadap Yayasan Harapan Kita.

"Mungkin ada itu, nanti akan dilihat, ya. Tapi dari Perpres yang ada tidak ada pertimbangan itu," kata Moeldoko.

Hal itu disampaikan Moeldoko saat ditanya ihwal kaitan gugatan Mitora kepada keluarga Cendana dan pengambilalihan TMII oleh Pemerintah.

Mitora menggugat Yayasan Harapan Kita dan keluarga presiden ke-2 RI H.M. Soeharto atas konflik pengelolaan TMII.

Perusahaan itu meminta Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyita Museum Purna Bhakti Pertiwi yang berada di dalam TMII dan menggugat anak-anak Soeharto senilai Rp584 miliar.

Dalam gugatan perdata itu, Mitora menyertakan lima pihak tergugat yang merupakan anggota keluarga Soeharto.

Mereka adalah Tutut Soeharto, Bambang Trihatmodjo, Titiek Soeharto, Sigit Harjojudanto, dan Mamiek Soeharto serta Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, lembaga yang didirikan keluarga Cendana pada masa Orde Baru yang juga turut digugat.

Presiden Joko Widodo telah meneken Perpres Nomor 19 Tahun 2021 yang isinya mengambil alih pengelolaan TMII dari Yayasan Harapan Kita.

Pemerintah juga membentuk tim transisi untuk mengkaji pengambilalihan dan rencana pengelolaan kawasan destinasi wisata itu ke depan.

Pengambilalihan dilakukan lantaran TMII terus merugi. Yayasan Harapan Kita perlu menyubsidi pengelolaan kawasan itu sebesar Rp40 miliar hingga Rp50 miliar per tahun.

Baca juga: KPK sejak 2020 dorong pengelolaan TMII diserahkan ke pemerintah

Baca juga: Pemerintah beri Yayasan Harapan Kita waktu tiga bulan laporkan TMII



 

Pewarta: Muhammad Zulfikar

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021