Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) meminta para organisasi advokat di Tanah Air untuk menentukan sikap terkait kebutuhan mewujudkan suatu dewan kehormatan advokat yang berfungsi mengadili pelanggaran kode etik.
Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Kemenkopolhukam Sugeng Purnomo mengatakan isu tersebut memang perlu dibahas dalam rangka upaya reformulasi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
"Dengan adanya berbagai organisasi dvokat memunculkan pertanyaan mengenai dewan kehormatan yang berfungsi mengadili dugaan pelanggaran atas kode etik advokat Indonesia. Untuk itulah pada kesempatan ini para advokat dapat merumuskan sikap," kata Sugeng Purnomo yang mewakili Menko Polhukam Mahfud MD dalam diskusi daring, di Bandung, Jawa Barat, Jumat.
Menurutnya, para advokat juga diminta untuk menentukan sikap apakah organisasi advokat perlu bersatu dalam satu organisasi atau tetap dalam kondisi seperti saat ini. Karena, kata dia, isu-isu tersebut perlu dirumuskan untuk menjawab tantangan profesi advokat di masa depan untuk memberi sumbangsih kepada Tanah Air.
"Apakah perlu advokat bersatu dalam satu organisasi atau tetap dalam kondisi seperti ini. Dan isu-isu lainnya yang perlu kehadiran advokat yang perlu menjawabnya," kata dia pula.
Adapun Undang-Undang Advokat, menurutnya, hanya menghendaki satu organisasi profesi advokat atau single bar. Namun pada kenyataannya muncul berbagai organisasi advokat di luar Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) yang menimbulkan sistem multibar.
"Hal ini merupakan satu perkembangan atau dinamika yang ada dan beberapa kali dilakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK), namun MK tidak menentukan secara eksplisit sistem mana yang konstitusional," kata dia.
Ketua Umum Peradi-Suara Advokat Indonesia (SAI) Juniver Girsang mengatakan perlu adanya rekonsiliasi antara tiga kubu Peradi yang kini terpecah untuk menuju ke tujuan tersebut.
Berdasarkan catatannya, kini juga ada sebanyak 47 organisasi advokat yang ia rasa semakin carut-marut, sehingga organisasi itu lebih mementingkan kepentingan para pengurusnya daripada memikirkan soal profesi advokat.
"Dan yang sangat menyedihkan lagi, hal itu membuat wibawa advokat yang terhormat jadi menyulitkan kita, menyurutkan cita-cita advokat yang berkualitas, karena kita tidak tahu pendidikannya, latar belakangnya," kata Juniver.
Senada dengan Juniver, Ketua Umum Peradi SOHO Otto Hasibuan mengatakan terpecahnya sejak awal organisasi Peradi menimbulkan para advokat yang tidak berkualitas.
Karena, kata dia, seorang advokat harus memiliki kualitas yang tinggi dan tidak menggiring kepentingan pribadi maupun organisasinya kepada profesinya.
Advokat, kata dia, harus menjadi yang terbaik bagi para pencari keadilan.
"Dikira orang kita selalu berpikir organisasi itu tentang diri kita, seakan-akan organisasi advokat itu untuk advokat, padahal organisasi advokat itu dibuat untuk kepentingan pencari keadilan," kata Otto.
Dengan kualitas yang baik, maka menurutnya, seorang advokat bakal memegang teguh kode etik profesinya. Sehingga, menurutnya, tidak ada klien yang dirugikan atas kualitas rendah advokat.
"Kalau pintar dia punya kode etik yang bagus, maka dia pasti bisa membela keadilan dengan baik, jangan sampai karena kebodohan advokat kepentingan kliennya itu jadi dirugikan," kata Otto pula.
Baca juga: 96 persen peserta ujian profesi advokat dinyatakan lulus termasuk dari Jabar
Baca juga: Peradi Jabar Gelar Aksi Penolakan RUU Advokat
Baca juga: 100 ADVOKAT TOLAK PEMANGGILAN FERDI DAN MUSTAR
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021
Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Kemenkopolhukam Sugeng Purnomo mengatakan isu tersebut memang perlu dibahas dalam rangka upaya reformulasi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
"Dengan adanya berbagai organisasi dvokat memunculkan pertanyaan mengenai dewan kehormatan yang berfungsi mengadili dugaan pelanggaran atas kode etik advokat Indonesia. Untuk itulah pada kesempatan ini para advokat dapat merumuskan sikap," kata Sugeng Purnomo yang mewakili Menko Polhukam Mahfud MD dalam diskusi daring, di Bandung, Jawa Barat, Jumat.
Menurutnya, para advokat juga diminta untuk menentukan sikap apakah organisasi advokat perlu bersatu dalam satu organisasi atau tetap dalam kondisi seperti saat ini. Karena, kata dia, isu-isu tersebut perlu dirumuskan untuk menjawab tantangan profesi advokat di masa depan untuk memberi sumbangsih kepada Tanah Air.
"Apakah perlu advokat bersatu dalam satu organisasi atau tetap dalam kondisi seperti ini. Dan isu-isu lainnya yang perlu kehadiran advokat yang perlu menjawabnya," kata dia pula.
Adapun Undang-Undang Advokat, menurutnya, hanya menghendaki satu organisasi profesi advokat atau single bar. Namun pada kenyataannya muncul berbagai organisasi advokat di luar Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) yang menimbulkan sistem multibar.
"Hal ini merupakan satu perkembangan atau dinamika yang ada dan beberapa kali dilakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK), namun MK tidak menentukan secara eksplisit sistem mana yang konstitusional," kata dia.
Ketua Umum Peradi-Suara Advokat Indonesia (SAI) Juniver Girsang mengatakan perlu adanya rekonsiliasi antara tiga kubu Peradi yang kini terpecah untuk menuju ke tujuan tersebut.
Berdasarkan catatannya, kini juga ada sebanyak 47 organisasi advokat yang ia rasa semakin carut-marut, sehingga organisasi itu lebih mementingkan kepentingan para pengurusnya daripada memikirkan soal profesi advokat.
"Dan yang sangat menyedihkan lagi, hal itu membuat wibawa advokat yang terhormat jadi menyulitkan kita, menyurutkan cita-cita advokat yang berkualitas, karena kita tidak tahu pendidikannya, latar belakangnya," kata Juniver.
Senada dengan Juniver, Ketua Umum Peradi SOHO Otto Hasibuan mengatakan terpecahnya sejak awal organisasi Peradi menimbulkan para advokat yang tidak berkualitas.
Karena, kata dia, seorang advokat harus memiliki kualitas yang tinggi dan tidak menggiring kepentingan pribadi maupun organisasinya kepada profesinya.
Advokat, kata dia, harus menjadi yang terbaik bagi para pencari keadilan.
"Dikira orang kita selalu berpikir organisasi itu tentang diri kita, seakan-akan organisasi advokat itu untuk advokat, padahal organisasi advokat itu dibuat untuk kepentingan pencari keadilan," kata Otto.
Dengan kualitas yang baik, maka menurutnya, seorang advokat bakal memegang teguh kode etik profesinya. Sehingga, menurutnya, tidak ada klien yang dirugikan atas kualitas rendah advokat.
"Kalau pintar dia punya kode etik yang bagus, maka dia pasti bisa membela keadilan dengan baik, jangan sampai karena kebodohan advokat kepentingan kliennya itu jadi dirugikan," kata Otto pula.
Baca juga: 96 persen peserta ujian profesi advokat dinyatakan lulus termasuk dari Jabar
Baca juga: Peradi Jabar Gelar Aksi Penolakan RUU Advokat
Baca juga: 100 ADVOKAT TOLAK PEMANGGILAN FERDI DAN MUSTAR
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021