Bandung, 8/8 (ANTARA) - Sejumlah negara Islam peserta sidang tahunan Ke-6 IDB-SRVP 2010 di kota Bandung menyatakan optimistis dapat mengatasi keterbatasan teknologi pengembangan produksi vaksin untuk mendorong kemandirian vaksin.

Hampir seluruh peserta pertemuan sidang tahunan itu, Sabtu, menyampaikan optimisme mereka dalam pengembangan industri vaksin, meski secara umum masih terhadang kendala baik dari sisi regulasi, teknologi, dana maupun politis.

Mereka berharap program kemandirian poduksi vaksin negara-negara Islam yang digulirkan oleh IDB mampu mendobrak keterbatasan dan kendala yang mereka hadapi selama ini.

"Kami sudah cukup lama mengembangkan vaksin dengan sejarah yang cukup panjang. Kami siap bekerjasama untuk pengembangan dan riset bersama pengembangan vaksin dengan negara-negara Islam lainnya," kata Keivan Shokrae, Bussines Development Center Manager Pasteur of Iran dalam paparannya.

Menurut Keivan, potensi negara dunia Islam untuk mengembangkan potensi produksi vaksin cukup besar dan tahun demi tahun perkembangannya terus meningkat. Ia mencontohkan di negaranya makin banyak ilmuwan muda yang melibatkan diri dalam kegiatan pengembangan dan produksi vaksin.

Iran, menurut Keivan sangat tertarik untuk meningkatkan kerjasama dengan produsen vaksin negara Islam yang sudah mapan, salah satunya dengan Indonesia dimana produsen dan pemegang pengawasan regulasinya telah mendapat pengakuan dari WHO.

Optimisme dan semangat untuk mengatasi keterbatasan teknologi juga diungkapkan oleh Nasreen K Nomani, Chief Biological Production National Institute of Health Islamabad, Pakistan yang menyatakan minatnya untuk membangun kerjasama yang lebih intensif dan belajar lebih banyak dari negara Islam lainnya yang telah memiliki industri vaksin yang lebih maju.

"Produksi vaksin kami didanai pemerintah, dana kami terbatas dan hal itu menjadi kendala khususnya untuk riset dan pengembangan tekonologi. Kami lebih mengarahkan riset vaksin campak dan tetanus ," katanya.

Delegasi dari Pakistan itu menyatakan harapannya untuk bisa mempererat kerjasama pengembangan teknologi dan program pelatihan dengan PT Bio Farma yang menurut Nasreen merupakan industri vaksin terkemuka di antara negara-negara Islam.

Ia menyebutkan, pihaknya akan mengirimkan stafnya untuk mengikuti program pelatihan ke Indonesia, dalam hal ini melalui program yang digelar di Bio Farma.

Hal senada juga diungkapkan oleh Keivan dari Iran, yang menyatakan kerjasama dan rencana riset bersama pengembangan vaksin tersebut perlu dilakukan. Ia membuka diri untuk kerjasama itu atas dasar kebersamaan.

"Kami ingin belajar banyak dari saudara kami di Bio Farma, Indonesia. Dalam hal ini kami patner bukan kompetitor," kata Keivan.

Delegasi Iran maupun Pakistan mengakui, kendala regulasi juga menjadi kendala bagi mereka untuk bisa secepatnya mendapatkan prekualifikasi dari WHO.

Sementara itu Scientific & Director of Bionet Asia Company Ltd. Dr Jean Petre, berpendapat perlunya kerja sama riset dengan memanfaatkan teknologi yang sedang dikembangkan.

"Kerja sama riset diarahkan bukan menggunakan teknologi yang sudah ada. Bila menggunakan teknologi yang sudah ada, maka biayanya menjadi mahal karena harus membayar royalti bagi pemilik teknologi," kata Jean Petre.

Menurut Petre, idealnya negara-negara dunia Islam menggunakan teknologi yang sedang dikembangkan secara bersama-sama melalui melalui program "co-development" atau "join research".*
S033/Y003

Pewarta:

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2010