Saparua di Bandung adalah saksi bisu sejarah pergerakan musik rock dan metal sejak 1970-an hingga akhir 1990-an. Sejarah itu akan dituangkan ke dalam film dokumenter "Gelora Magnumentary: Saparua". Bandung memang punya tempat istimewa di dunia musik Indonesia karena banyak musisi rock dan metal berkelas nasional dan internasional lahir melalui pergerakan komunitas Kota Bandung.
Rich Music yang jadi penggagas proyek rangkaian program DistorsiKERAS menjadi produser eksekutif, sementara gitaris Teenage Death Star Alvin Yunata bertanggung jawab sebagai sutradara "Gelora Magnumentary: Saparua".
Dokumenter ini akan menghadirkan para pelaku sejarah pergerakan musik Bandung seperti Sam Bimbo, vokalis Seringai Arian13, manajer Burgerkill Dadan Ketu, gitaris Burgerkill Eben hingga mantan vokalis Pure Saturday, Suar, sebagai narasumber.
"Gelora Magnumentary: Saparua" dihadirkan untuk mengapresiasi sejarah scene rock-metal di Indonesia. Program ini didasarkan pada proyek Membakar Batas yang diprakarsai oleh Cerahati sejak 2011. Tujuan dari proyek ini adalah untuk menangkap semua tonggak besar dalam sejarah rock dan metal scene.
"Dokumentasi skena musik keras dan independen kurang banget, mulai dari keterbatasan kemampuan untuk punya alat, padahal menarik, banyak pelajaran yang bisa diambil," tutur Edy Khemod, drummer Seringai dan juga Creative Director dari Cerahati, dalam konferensi pers, Selasa.
Edy menjelaskan, inisiatif ini awalnya untuk merekam sejarah dan jadi inspirasi generasi mendatang untuk belajar dari momen tersebut. Proyek dimulai dari pihak Cerahati, Arian13, dan Roni Pramaditia yang sama-sama berasal dari Bandung serta merasakan pertumbuhan budaya di Kota Kembang pada 90-an di saat gerakan independen mulai bergelora. Dari situ mereka menyadari bahwa belum banyak dokumentasi dari momen sejarah tersebut.
Apa pelajaran yang bisa ditarik dari pergerakan musik independen adalah niat awal mereka semata-mata didorong gairah untuk bermusik, dan dia berharap semangat itu bisa berlanjut di generasi-generasi selanjutnya, kata dia.
Sutradara Alvin Yunata mengungkapkan tantangan yang dihadapi ketika menggarap dokumenter ini adalah menggali arsip dokumentasi yang sulit ditemukan, terutama pada era 80-an dan 90-an. Sementara arsip tahun 60-an dan 70-an ia dapatkan dari dokumentasi media.
"Paling sulit justru arsip, itu pekerjaan rumah yang luar biasa di Indonesia," kata Alvin.
Dia menuturkan, film ini adalah jurnal dari gedung yang sejak berdiri dengan sengaja dialihfungsikan juga jadi sarana panggung seni dan hiburan beberapa generasi. Fenomena menarik di dekade terakhir sebelum gedung tak lagi dipakai adalah kelahiran generasi yang menjunjung tinggi kolektivitas. Sehingga, gedung itu tak cuma jadi gedung pertunjukan seni, tapi tempat berbaur yang melahirkan ideologi baru di kalangan budaya pop serta ruang pertukaran informasi.
"Dan sebuah pergerakan yang mampu membawa gedung ini sebagai salah satu kuil rock n roll dalam sejarah scene musik underground di Indonesia.”
Dari wawancara narasumber yang dia dapatkan, ada banyak fakta dan kisah menarik di balik gedung, termasuk cerita-cerita vulgar yang akhirnya tidak dimasukkan ke dalam film.
"Ada banyak fakta dan cerita, menyenangkan mendengarnya."
Dokumenter ini akan menunjukkan komunitas musik di Bandung tak cuma kumpul tapi saling rangkul hadir dalam momentum 20 tahun penutupan Saparua sebagai ruang pertunjukan musik.
Kehadiran film ini diharapkan dapat menjadi pemantik semangat untuk pencinta musik terutama rock dan metal, sebab kisah kejayaan Saparua berasal dari mereka yang berhasil melawan ketidakpedulian dan mengobarkan gelora untuk menunjukkan siapa mereka sebenarnya. Diharapkan ke depannya akan tercipta lagi bibit-bibit baru yang meneruskan api perjuangan pendahulunya dan bersama sama menjadikan skena rock dan metal menjadi lebih besar.
"Gelora Magnumentary: Saparua" rencananya tayang pada 2021 dan mungkin akan bisa disaksikan lewat platform OTT.
Proyek ini akan jadi awal mula dari tujuan jangka panjang. Saat dokumenter ini diluncurkan, ada banyak program lain yang dikerjakan untuk memperlihatkan semangat berkarya pergerakan musik rock dan metal Indonesia, termasuk film tentang gejolak kehidupan orang di balik dunia musik rock dan metal hingga konser virtual dengan penampil Rocket Rockers, Burgerkill, Teenage Death Star, The Panturas, Koil, Jasad, KILMS dan Avhath. Serta kolaborasi brand fashion bersama Maternal, Lawless, Wellborn dan kolaborasi musisi bersama Buluk Superglad, Otong Koil, Robi Navicula, Aska Rocket Rockers.
Baca juga: Taman Dilan akan dibangun di sekitar GOR Saparua Bandung, kata Emil
Baca juga: GOR Saparua dilengkapi Mess Atlet
Baca juga: Voli Duduk Digelar di GOR Saparua
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021
Rich Music yang jadi penggagas proyek rangkaian program DistorsiKERAS menjadi produser eksekutif, sementara gitaris Teenage Death Star Alvin Yunata bertanggung jawab sebagai sutradara "Gelora Magnumentary: Saparua".
Dokumenter ini akan menghadirkan para pelaku sejarah pergerakan musik Bandung seperti Sam Bimbo, vokalis Seringai Arian13, manajer Burgerkill Dadan Ketu, gitaris Burgerkill Eben hingga mantan vokalis Pure Saturday, Suar, sebagai narasumber.
"Gelora Magnumentary: Saparua" dihadirkan untuk mengapresiasi sejarah scene rock-metal di Indonesia. Program ini didasarkan pada proyek Membakar Batas yang diprakarsai oleh Cerahati sejak 2011. Tujuan dari proyek ini adalah untuk menangkap semua tonggak besar dalam sejarah rock dan metal scene.
"Dokumentasi skena musik keras dan independen kurang banget, mulai dari keterbatasan kemampuan untuk punya alat, padahal menarik, banyak pelajaran yang bisa diambil," tutur Edy Khemod, drummer Seringai dan juga Creative Director dari Cerahati, dalam konferensi pers, Selasa.
Edy menjelaskan, inisiatif ini awalnya untuk merekam sejarah dan jadi inspirasi generasi mendatang untuk belajar dari momen tersebut. Proyek dimulai dari pihak Cerahati, Arian13, dan Roni Pramaditia yang sama-sama berasal dari Bandung serta merasakan pertumbuhan budaya di Kota Kembang pada 90-an di saat gerakan independen mulai bergelora. Dari situ mereka menyadari bahwa belum banyak dokumentasi dari momen sejarah tersebut.
Apa pelajaran yang bisa ditarik dari pergerakan musik independen adalah niat awal mereka semata-mata didorong gairah untuk bermusik, dan dia berharap semangat itu bisa berlanjut di generasi-generasi selanjutnya, kata dia.
Sutradara Alvin Yunata mengungkapkan tantangan yang dihadapi ketika menggarap dokumenter ini adalah menggali arsip dokumentasi yang sulit ditemukan, terutama pada era 80-an dan 90-an. Sementara arsip tahun 60-an dan 70-an ia dapatkan dari dokumentasi media.
"Paling sulit justru arsip, itu pekerjaan rumah yang luar biasa di Indonesia," kata Alvin.
Dia menuturkan, film ini adalah jurnal dari gedung yang sejak berdiri dengan sengaja dialihfungsikan juga jadi sarana panggung seni dan hiburan beberapa generasi. Fenomena menarik di dekade terakhir sebelum gedung tak lagi dipakai adalah kelahiran generasi yang menjunjung tinggi kolektivitas. Sehingga, gedung itu tak cuma jadi gedung pertunjukan seni, tapi tempat berbaur yang melahirkan ideologi baru di kalangan budaya pop serta ruang pertukaran informasi.
"Dan sebuah pergerakan yang mampu membawa gedung ini sebagai salah satu kuil rock n roll dalam sejarah scene musik underground di Indonesia.”
Dari wawancara narasumber yang dia dapatkan, ada banyak fakta dan kisah menarik di balik gedung, termasuk cerita-cerita vulgar yang akhirnya tidak dimasukkan ke dalam film.
"Ada banyak fakta dan cerita, menyenangkan mendengarnya."
Dokumenter ini akan menunjukkan komunitas musik di Bandung tak cuma kumpul tapi saling rangkul hadir dalam momentum 20 tahun penutupan Saparua sebagai ruang pertunjukan musik.
Kehadiran film ini diharapkan dapat menjadi pemantik semangat untuk pencinta musik terutama rock dan metal, sebab kisah kejayaan Saparua berasal dari mereka yang berhasil melawan ketidakpedulian dan mengobarkan gelora untuk menunjukkan siapa mereka sebenarnya. Diharapkan ke depannya akan tercipta lagi bibit-bibit baru yang meneruskan api perjuangan pendahulunya dan bersama sama menjadikan skena rock dan metal menjadi lebih besar.
"Gelora Magnumentary: Saparua" rencananya tayang pada 2021 dan mungkin akan bisa disaksikan lewat platform OTT.
Proyek ini akan jadi awal mula dari tujuan jangka panjang. Saat dokumenter ini diluncurkan, ada banyak program lain yang dikerjakan untuk memperlihatkan semangat berkarya pergerakan musik rock dan metal Indonesia, termasuk film tentang gejolak kehidupan orang di balik dunia musik rock dan metal hingga konser virtual dengan penampil Rocket Rockers, Burgerkill, Teenage Death Star, The Panturas, Koil, Jasad, KILMS dan Avhath. Serta kolaborasi brand fashion bersama Maternal, Lawless, Wellborn dan kolaborasi musisi bersama Buluk Superglad, Otong Koil, Robi Navicula, Aska Rocket Rockers.
Baca juga: Taman Dilan akan dibangun di sekitar GOR Saparua Bandung, kata Emil
Baca juga: GOR Saparua dilengkapi Mess Atlet
Baca juga: Voli Duduk Digelar di GOR Saparua
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021