Pada 25 Maret 2020, jam raksasa hitung mundur di depan Stasiun Tokyo itu seketika berhenti menayangkan jam, menit dan detik tersisa hingga pesta pembukaan Olimpiade digelar pada 24 Juli 2020.
Jam yang didominasi warna merah putih yang sempat populer itu tak lagi istimewa setelah Komite Olimpiade Internasional (IOC) dan panitia pelaksana Olimpiade Tokyo sepakat menunda pesta olahraga empat tahunan itu ke tahun 2021 karena kekhawatiran penularan virus corona tak kunjung mereda.
IOC pada awalnya berkomitmen tetap melangsungkan Olimpiade Tokyo sesuai jadwal. Begitu pun dengan pihak penyelenggara yang dalam berbagai kesempatan selalu menyampaikan bahwa penundaan bukanlah opsi, meskipun sudah banyak event olahraga dunia yang dihentikan.
Pilihan tersebut memang berlawanan jika dibandingkan dengan UEFA, misalnya, yang sudah jauh-jauh hari memutuskan menunda Piala Eropa 2020 ke tahun depan.
Namun, pada akhirnya IOC dan pemerintah Jepang menyerah setelah mendapat banyak tekanan hingga kecaman dari kalangan atlet, Komite Olimpiade Nasional (NOC), federasi olahraga hingga masyarakat pada umumnya, yang mendesak agar Olimpiade Tokyo ditunda.
Desakan itu salah satunya muncul dari presiden AS Donald Trump yang menyatakan panitia penyelenggara mesti memutuskan penundaan selama satu tahun.
Desakan selanjutnya datang dari Presiden Komite Olimpiade Spanyol (COE) Alejandro Blanco yang mengaku cenderung ingin agar Olimpiade Tokyo 2020 ditunda karena wabah virus corona makin hari makin mengkhawatirkan.
Seruan penangguhan kian kencang ketika banyak federasi olahraga, para olimpian, dan NOC di berbagai negara juga mendukung penuh penundaan.
Sejumlah NOC, di antaranya Brazil, Norwegia, Slovenia, dan Kanada bahkan sudah resmi meminta IOC menunda Olimpiade sampai tahun depan. Jika tetap bersikeras digelar pada tahun ini, mereka mengancam tak akan mengirimkan atletnya ke Tokyo.
Hingga pada 24 Maret 2020, Perdana Menteri Jepang saat itu, Shinzo Abe, dan Presiden IOC Thomas Bach, melalui pembicaraan lewat telepon, akhirnya sepakat menunda pelaksanaan Olimpiade Tokyo untuk kemudian dijadwal ulang pada 23 Juli-8 Agustus 2021.
“Dalam pembicaraan dengan Perdana Menteri Abe via telepon, kami menyepakati bahwa Olimpiade XXXII di Tokyo dan Paralimpiade 2020 harus dijadwal ulang setelah 2020...demi menjaga kesehatan para atlet dan semua yang terlibat dalam Olimpiade,” kata Bach.
Keputusan bersejarah
Keputusan penangguhan Olimpiade Tokyo 2020 selama satu tahun itu menandai untuk pertama kalinya pesta terakbar sejagad itu ditunda sepanjang sejarah.
Olimpiade sebelumnya juga pernah ditunda, dialihkan, hingga dibatalkan. Namun, penyebabnya berbeda dari saat ini. Ketika Olimpiade Tokyo ditunda akibat pandemi COVID-19, pembatalan dan penundaan yang terjadi di masa lalu diakibatkan karena bergolaknya perang dunia serta boikot politik.
Pembatalan pertama terjadi 10 dasawarsa silam, ketika Berlin yang sudah terpilih menjadi tuan rumah "disibukkan" dengan keterlibatan mereka dalam Perang Dunia I yang berlangsung sejak Juli 1914 hingga November 1918. Hal itu terulang di Olimpiade London 1944 karena Perang Dunia II masih berlangsung pada 1939-1945.
Tokyo dan Sapporo sedianya menjadi saksi penyelenggaraan perdana Olimpiade di Asia pada 1940, tetapi Jepang kala itu tengah berperang melawan China sejak Juli 1937. Pemerintah Jepang akhirnya mengundurkan diri dari tuan rumah sehingga Olimpiade 1940 dipindahkan ke Helsinki, Finlandia.
Sialnya, Helsinki pun batal menggelar Olimpiade 1940 akibat meletusnya Perang Dunia II.
Meski dibatalkan, London, Helsinki, dan Tokyo tetap menjadi tuan rumah pesta olahraga tersebut di masa mendatang. London menyelenggarakan Olimpiade 1948, Helsinki empat tahun kemudian dan Tokyo akhirnya menjadi tuan rumah Olimpiade 1964.
Pada 2013, Tokyo kembali dipercaya menjadi tuan rumah Olimpiade 2020, membuatnya jadi kota Asia pertama yang dua kali mendapat kehormatan itu. Tokyo menyisihkan Istanbul (Turki) dan Madrid (Spanyol) dalam tahap akhir pencalonan diri.
Sayangnya, Tokyo, yang disebut telah menghabiskan 1,35 triliun yen atau sekira Rp178 triliun untuk mempersiapkan Olimpiade, dipaksa menanti setidaknya satu tahun untuk kembali jadi pusat perhatian dunia gegara pandemi COVID-19.
Kacaukan agenda olahraga
Olimpiade bukan satu-satunya yang menjadi korban pandemi. Yang ada malahan penundaan Olimpiade ini menimbulkan efek domino terhadap jadwal-jadwal kompetisi olahraga dunia lainnya.
Keputusan penundaan Olimpiade jelas memunculkan kemungkinan jadwal yang berbenturan dengan agenda olahraga yang memang sudah dijadwalkan digelar tahun depan. Tentu ini menjadi persoalan pelik, baik bagi IOC maupun federasi-federasi olahraga.
Sedikit kejuaraan yang menjadi korbannya, antara lain kejuaran dunia akuatik, kejuaraan dunia atletik, kejuaraan dunia bulu tangkis. Belum lagi jadwal kompetisi lain seperti Piala Eropa, Copa America, Tour de France, dan masih banyak lagi.
Kejuaraan-kejuaraan tersebut hanya sebagian saja yang terdampak. Masih ada event olahraga lainnya yang harus menyesuaikan agar tak bentrok dengan jadwal kualifikasi dan pelaksanaan Olimpiade itu sendiri.
Hikmah dan konsekuensi bagi Indonesia
Terlepas dari kemungkinan jadwal yang bentrok serta kemungkinan agenda yang padat pada tahun depan, Indonesia tetap menghargai keputusan penundaan itu.
Presiden Komite Olimpiade Indonesia (KOI) Raja Sapta Oktohari bahkan menilai penundaan Olimpiade Tokyo 2020 justru berdampak positif bagi atlet karena bisa memperpanjang waktu persiapan dan latihan.
Dengan penundaan selama satu tahun, KOI berharap akan ada kesempatan bagi atlet yang belum lolos kualifikasi agar bisa mengejar target lolos Olimpiade.
Hingga saat ini, Indonesia baru meloloskan enam atlet ke Tokyo dari cabang angkat besi, menembak, panahan, dan atletik. Mereka adalah Eko Yuli Irawan, Windy Cantika Aisah, Lalu Muhammad Zohri, Vidya Rafika, dan dua atlet panahan dari nomor recurve putra dan putri.
"Bagi atlet yang belum qualified siapa tahu dengan adanya penundaan ini peluangnya bisa kembali terbuka dan berkesempatan mengikuti proses kualifikasi. Jadi kami lihatnya lebih ke sisi baiknya lah," kata Oktohari.
Pun demikian dengan Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali yang mengatakan bahwa pihaknya menerima keputusan penundaan, meskipun hal itu diakuinya berat bagi Indonesia.
Pasalnya, menurut Zainudin, 2021 bakal menjadi tahun tersibuk bagi olahraga Tanah Air. Selain Olimpiade, akan ada beberapa event olahraga lainnya yang bakal diikuti oleh Indonesia, di antaranya Asian Youth Games, Asia Winter Games, Islamic Solidarity Games, SEA Games Vietnam, dan tentu saja kesibukan mempersiapkan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2021.
Dengan banyaknya kegiatan di tahun depan jelas hal itu akan berimbas sangat besar ke pembengkakan anggaran yang tak dapat dihindari.
“Memang ini berkonsekuensi dengan pembengkakan anggaran kita. Apa yang seharusnya sudah bisa selesai di tahun ini, tapi karena harus ditunda, maka pelatnas berjalan dengan intensitas yang tidak terlalu tinggi. Apalagi kita harus melakukan pelatihan jangka panjang untuk kegiatan yang akan dihadapi ke depan itu," kata Zainudin.
Kemenpora sebetulnya telah menggelontorkan total dana fasilitas pelatnas Olimpiade Tokyo 2020 sebesar Rp161,5 miliar, dengan rincian Rp86,2 miliar untuk biaya pelatnas 10 cabang olahraga, dan Rp75,3 miliar untuk Komite Paralimpiade Indonesia (NPC).
Dengan penundaan Olimpiade, maka Kemenpora dipastikan harus mempersiapkan anggaran lebih besar untuk mempersiapkan atletnya tak hanya menuju Olimpiade Tokyo, tetapi juga SEA Games Vietnam pada November tahun depan.
Meski begitu, Kemenpora juga akan mengalokasikan Rp1,5 triliun dari total anggaran tahun 2021 sebesar Rp2,32 triliun untuk peningkatan prestasi olahraga pada tahun depan.
Tahun 2020 seharusnya menjadi puncak dan momen perayaan atas kerja keras seluruh atlet di belahan dunia untuk membuktikan diri tampil di ajang tertinggi Olimpiade.
Mengecewakan memang. Namun di tengah situasi dunia yang sedang sulit dan berbahaya saat ini, olahraga dan seluruh aspek kehidupan lainnya setara. Tak ada yang lebih penting ketimbang keselamatan dan nyawa manusia.
Olimpiade Tokyo sudah diputuskan ditunda. Jam raksasa hitung mundur di Tokyo itu hanya mampu bertahan hingga angka 112 hari tersisa menjelang pembukaan pesta empat tahunan itu.
Semoga saja pada tahun depan cerita itu tak terulang menambah rentetan catatan sejarah lainnya dalam pelaksanaan pesta olahraga terakbar sejagad itu.
Baca juga: Tokyo bersikukuh laksanakan olimpiade tahun 2021
Baca juga: Panitia: Olimpiade Tokyo dibayangi ancaman serangan siber Rusia
Baca juga: Setengah penduduk Tokyo tolak Olimpiade pada 2021
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020