Cirebon, 10/3 (ANTARA) - Enam anggota DPR RI dari komisi VI menyatakan dukungannya terhadap penghapusan Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-DAG/Kep/6/2005 yang membuka ekspor bahan baku rotan.

Dukungan tersebut disampaikan Lili Asdjudiredja bersama lima anggota Komisi VI DPR RI lainnya saat mereka melakukan kunjungan kerja dan menemui pengusaha rotan se-Kabupaten Cirebon, di CV Khalim, salah satu industri rotan di Kabupaten Cirebon, Rabu.

"Pasar rotan di luar negeri sangat potensial, dan 90 persen ketersedian bahan baku rotan ada di Indonesia, sehingga sudah seharusnya kami perjuangkan penghapusan SK Menperindag tentang ekspor bahan baku rotan," kata Lili.

Ketika berdialog dengan para pengusaha rotan tersebut, para anggota dewan menyadari ternyata industri rotan di Kabupaten Cirebon mengalami keterpurukan sejak lima tahun terakhir.

Terungkap pula bahwa penyebab jatuhnya industri rotan bukan karena kesulitan mendapatkan rotan mentah sebagai bahan baku kerajinan, melainkan karena semakin berkurangnya pasar luar negeri penerima furniture rotan, karena direbut China, negara pengimpor rotan terbesar.

"Oleh karena itu, kami akan mengundang para pengusaha industri rotan sekaligus Menteri Perdagangan ke Komisi VI DPR RI untuk membicarakan hal ini. Jangan biarkan kondisi tersebut terus berlarut-larut, hingga akhirnya mematikan industri rotan kita," katanya.

Mengenai kondisi industri rotan di Kabupaten Cirebon, mantan Ketua Asosiasi Pengusaha Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Soenoto mengatakan sejak pemberlakuan SK 12/2005 itu, ekspor furniture rotan menurun drastis, dari sebelumnya 3.000 kontainer per bulan, sekarang hanya 600 kontainer.

"Sejak pemberlakuan SK tersebut perlahan-lahan perusahaan rotan di Kabupaten Cirebon semakin terpuruk. Kondisi ini bisa dilihat dalam satu bulan ada satu perusahaan rotan yang gulung tikar," katanya.

Padahal, kata dia, jika dihitung berdasarkan untung-rugi, negara Indonesia justru dirugikan dengan pemberlakuan SK itu.

"Terbukti, jika kita jual dalam bentuk bahan baku, misalnya dengan omzet satu kali kirim mencapai 77.000 ton dengan harga rata-rata Rp10.000 per kilogram, maka totalnya hanya Rp770 miliar. Berbeda jika kita kirim dalam bentuk barang kerajinan, selain melibatkan banyak tenaga kerja, juga nilainya bisa beberapa kali lipat," katanya.

Menurut Soenoto, belum lagi jika dilihat dari sisi tenaga kerja. Jika dalam pengiriman satu kontainer rotan mentah dengan menggunakan alat berat, cukup dikerjakan dua orang, namun jika sudah berbentuk furniture, sedikitnya 25 tenaga kerja dilibatkan dalam pengiriman tersebut.

"Jadi, tidak ada alasan lagi SK Menteri Perdagangan Nomor 12 Tahun 2005 perlu segera dihapus," katanya.

Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Kadisperindag) Kabupaten Cirebon Haki mengatakan pihaknya sudah beberapa kali mengirim surat ke pemerintah pusat untuk menghapus SK tersebut, namun sampai sekarang tidak mendapat tanggapan.

"Kami sangat mendukung penghapusan SK Nomor 12 Tahun 2005, karena nyata-nyata telah merugikan industri rotan kita. Kami sudah mengajukan permohonan pencabutan SK itu, namun sampai sekarang tidak ada tanggapan," katanya.

Yasad Ali

Pewarta:

Editor : Irawan


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2010