"Kami Tetap Bekerja Untuk Kalian, Kalian Tetap di Rumah Untuk Kami".

Begitulah curahan hati para petugas medis dalam rangka mengajak masyarakat Indonesia membatasi jarak fisik dan tidak keluar rumah untuk mencegah penyebaran potensi COVID-19 melalui ruang publik.

 

Sebagai garda terdepan, mereka bertugas memastikan pasien-pasien dapat tertangani dengan baik namun juga tetap harus memikirkan keselamatan nyawa mereka.
 

Tercatat hingga Selasa (24/3) sebanyak 44 petugas medis di Jakarta terpapar virus usai merawat pasien-pasien COVID-19.
 

Ada banyak hal yang harus dialami petugas medis menangani virus yang menyerang saluran pernafasan itu berlangsung mulai dari kesulitan mendapatkan Alat Pelindung Diri (APD) hingga tidak bisa berkumpul dengan keluarga untuk keselamatan bersama.
 

Hal-hal yang diungkapkan di atas ikut dialami oleh seorang bokter bernama Alexander Randy yang bertugas di salah satu rumah sakit rujukan untuk menangani pasien COVID-19.
 

Suaranya terdengar ramah lewat sambungan telepon dan tak sedikit pun menyiratkan perasaan lelah meski sudah sempat menjalani masa seminggu tanpa perbantuan.
 

Pria yang akrab dipanggil Dokter Randy itu menceritakan ia tergolong baru. Dokter spesialis penyakit dalam itu baru menangani kasus COVID-19 selama dua minggu terakhir usai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menunjuk tempatnya mengabdi sebagai rumah sakit khusus menangani COVID-19.
 

"Fasilitas gedungnya kan masih baru, awalnya memang untuk pengembangan. Tapi berhubung dengan COVID-19 ini akhirnya di buka khusus untuk pasien COVID," katanya.
 

Petugas memarkir mobil ambulans di samping ruang isolasi RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso, Sunter, Jakarta Utara, Kamis (5/3/2020). Kementerian Kesehatan menyatakan hingga Kamis 5 Maret ini ada 156 pasien dalam pengawasan virus corona yang tersebar di 35 rumah sakit di 23 provinsi, 2 diantaranya merupakan pasien positif corona yang masih dirawat di RSPI Prof Dr Sulianti Saroso. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc. (ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN)

Sempat Sendiri
Memang fasilitasnya untuk kegawatdaruratan di rumah sakit itu masih kurang. "Kita pun usahakan meminta bantuan dari Dinkes DKI," ujar Randy.

 

Pada minggu pertamanya, ia menjadi satu- satunya dokter spesialis dalam yang bertugas di rumah sakit itu dengan kondisi beberapa pasien dalam pengawasan (PDP) dan positif COVID-19 sudah dirawat di tempatnya bekerja.
 

Hal itu disebabkan rekan seprofesi yang juga spesialis penyakit dalam justru menjadi Orang Dalam Pengawasan (ODP).
 

Meski demikian ia mengaku bersyukur, respon Dinas Kesehatan DKI Jakarta cukup cepat dalam menangani kondisi itu dengan menambahkan dokter perbantuan.
 

"Kemarin sempat seminggu saya sendiri (menangani pasien COVID-19). Lalu Dinkes DKI kasih perbantuan, jadi yang aktif sekarang dua," ujar Randy.
 

Kisahnya pun berlanjut terkait kendala mendapatkan APD untuk penanganan pasien COVID-19 yang sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) dari Kementerian Kesehatan RI.
 

Dengan jumlah petugas yang cukup banyak baik bagi dokter dan perawat dalam satu hari rumah sakit tempat Dokter Randy bekerja sempat membatasi maksimal hanya 30 pasang APD untuk para petugas.
 

"APD itu berlapis jadi sebetulnya kita (petugas medis) ga nyaman. Karena itu kita batasi perawat lewat jangka waktu kerja dengan shift lebih pendek," katanya.

Padahal dengan shift pendek artinya APD-nya butuh lebih banyak. "Dan kita sempat terkendala itu," kata Randy.

 

Meski bantuan dari Pemprov DKI sudah tiba, namun hingga saat ini APD bagi para petugas belum sepenuhnya terjamin karena langkanya barang-barang medis itu terutama bagi petugas medis yang merawat pasien rawat jalan.
 

Jika ada yang menjual pun, harganya terlalu tinggi. Contohnya masker N95 yang memang diperuntukan untuk menyaring partikel berukuran kecil di udara.
 

"Masker N95 itu, sekarang sudah mahal banget. Kita masih berusaha nyari. Kalau ada yang mau nyumbang dan mau membantu kita berharap yang seperti itu ada," ujar Randy.
 

Untuk rumah sakit rujukan yang menjadi tempat Randy bertugas, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memastikan ada sebanyak 200 tempat tidur yang dikhususkan untuk kasus COVID-19.

Randy pun mengatakan kemungkinan pasien dapat terus bertambah. Dia pun sudah mempersiapkan diri untuk skenario terburuk yaitu harus bertahan di Rumah Sakit dan tidak kembali ke rumah.
 

Hal serupa yang pernah dialami oleh para petugas medis di Wuhan pada saat "lockdown'"dilakukan di tempat penyebaran pertama virus corona pada manusia muncul.
 

"Kalau sampai (COVID-19), banyak dan meluas kita (petugas medis) mau ga mau akan tetap tinggal di rumah sakit, kalau misalnya ini menjadi sebuah 'outbreak' yang besar," ujar Randy.


 

Orang Terkasih

Selain mempersiapkan diri untuk skenario terburuk, hal terberat yang harus dijalani para petugas medis merawat pasien COVID-19 adalah sulitnya bertemu dengan orang-orang terkasih terutama keluarga dan sahabat.
 

Tidak sedikit petugas medis yang akhirnya memilih membatasi diri tidak bertemu dengan orang-orang yang dikasihinya. Itu hanya untuk menjaga agar tidak ada potensi penyebaran penyakit.
 

"Karena saya dokter dan kerja di rumah sakit. Saya ga tau apakah di badan saya kumannya ada atau ngga," katanya.

Petugas medis sudah berusaha sudah melindungi diri, tapi di lingkungan rumah sakit siapa yang tahu kuman terbawa atau tidak.

"Jadi kita rata-rata petugas medis termasuk saya, jadi membatasi diri dengan orang lain," kata Randy dengan nada yang terdengar serius.

 

Untungnya di tempat Randy bekerja saat ini, para petugas diberikan waktu berjaga yang tidak beruntun sehingga setidaknya mengurangi potensi para petugas terpapar dari COVID-19.
 

Pria berusia 29 tahun itu pun mengungkapkan dirinya merasa beruntung karena mendapatkan bagian berkontribusi bagi masyarakat di masa-masa sulit akibat COVID-19.
 

"Lewat hal ini peran dokter benar-
benar dirasakan manfaatnya. Bagi saya sendiri, saya bisa bantu menenangkan keluarga, teman-teman saya," kata Randy.

 

Meski saat ini terlihat nampak sudah siap, Randy berharap nantinya tenaga medis tambahan baik dari Dinas Kesehatan maupun tenaga sukarela. Diharapkan adanya sukarelawan untuk berperan mengingat kapasitas sumber daya manusia saat ini belum sebanding dengan kapasitas ruang yang telah disiapkan.


 


Ketakutan

Selama dua minggu menangani pasien COVID-19, satu hal disadari oleh Randy bahwa masyarakat Jakarta masih memiliki ketakutan sosial yang tinggi menghadapi COVID-19.
 

Beberapa pasien yang dirawatnya bahkan tidak ingin keluarga apalagi tetangga mengetahui kondisi kesehatan sang pasien dan terkesan menutupi kondisi itu.
 

"Harusnya tidak hanya memikirkan diri sendiri, karena hal itu (menutup-nutupi riwayat kesehatan) berdampak pada lingkungan sekitar," kata Randy.
 

Karena jika menutupi riwayat kesehatan hal yang ditakuti para petugas medis adalah masyarakat sekitar yang berinteraksi dengan pasien COVID-19 terutama bagi yang berusia tua dan rentan tertular.
 

"Misalnya pasien adalah orang yang muda. Lalu kita tahu orang muda diharapkan manifestasinya ringan," katanya.

"Dia mungkin saja tidak sadar, dia akan membawa virus itu pulang ke rumah. Hal itu yang dapat berbahaya bagi orang tuanya atau tetangganya. Nah itu yang nanti jadi masalah," ujar Randy.

 

Ia pun meminta masyarakat tidak menimbun obat-obatan seperti Chloroquin, Aluvia dan Azithromycin agar kelangkaan barang-barang medis seperti masker tidak terulang kembali.


Selain itu, ketiga jenis obat itu tidak hanya untuk mengobati COVID-19 namun juga berguna bagi para pemilik gangguan autoimun.
 

"Kalau misalnya ada yanh nimbun padahal yang masih perlu ya penderita lupus itu yang nyeri yang mereka rasakan itu tinggi. Ya para penderita lupus lah yang akan merasakan penderitaannya," kata Randy.
 

Randy berharap masyarakat Indonesia dapat menanggapi dengan bijak pandemi COVID-19 ini dengan mengikuti anjuran-anjuran pemerintah seperti :physical distancing"
 

"Kami (petugas medis) sadari mereka (pasien) pasti cemas tapi yah mereka harus mengetahui ini pandemi dan ini adalah masalah bersama," kata Randy.

Pewarta: Livia Kristianti

Editor : Yuniardi Ferdinan


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020